ZoyaPatel

Feodalisme Pesantren? Antara Adab, Ilmu, dan Tradisi

Mumbai
Hamdun, PC LAKPESDAM NU Bondowoso
(Foto : Istimewa) 

WARTA NU - Pertama-tama, perlu kita sadari bahwa dalam setiap komunitas sosial, nilai-nilai feodal selalu ada—meski dalam bentuk yang halus dan tersirat.

Feodalisme tidak hanya hidup dalam kerajaan atau sistem bangsawan masa lalu, tetapi juga hadir dalam bentuk penghormatan hierarkis yang melekat di berbagai lapisan masyarakat modern.

Di dunia akademis, misalnya, seorang profesor seringkali diposisikan sebagai sosok paling tinggi dalam tangga keilmuan.

Tidak jarang, pendapatnya diterima begitu saja, bahkan dikultuskan, meskipun seorang sarjana muda bisa jadi memiliki gagasan yang lebih segar.

Begitu pula dalam dunia pemerintahan, seorang kepala desa akan tunduk patuh kepada camat, bupati, hingga presiden. Apa pun yang dikatakan oleh atasan sering dianggap benar dan diamini tanpa banyak pertimbangan.  

Dari dua contoh tersebut, kita bisa melihat bahwa nilai-nilai feodal dalam arti sosial bukan hanya soal kelas atau kasta, tetapi lebih kepada cara masyarakat menempatkan figur tertentu dalam posisi yang dihormati.

Dalam konteks ini, penghormatan terhadap otoritas adalah bagian dari budaya sosial manusia di mana pun, bukan hanya di dunia pesantren.  

Namun, tuduhan bahwa pesantren bersifat feodal seringkali muncul dari cara pandang luar yang tidak memahami nilai-nilai internal pesantren itu sendiri. 

Pesantren, yang telah menjadi bagian penting dari sejarah pendidikan di Indonesia, justru merupakan bentuk akulturasi antara ajaran Islam dan budaya lokal Nusantara.

Sejak awal berdirinya, pesantren bukanlah lembaga kekuasaan, melainkan lembaga pendidikan dan pembentukan karakter.

Tradisi hormat kepada kiai bukanlah bentuk tunduk buta seperti bawahan kepada tuannya, melainkan wujud dari nilai ta’dzim, yaitu penghormatan terhadap guru yang menjadi perantara ilmu dan keberkahan.  

Dalam Islam, menghormati guru merupakan bagian dari adab menuntut ilmu. Para ulama klasik menegaskan bahwa ilmu tidak akan bermanfaat tanpa adab kepada guru.

Namun, penghormatan tidak berarti menutup ruang berpikir kritis. Di pesantren, para santri justru diajarkan untuk berpikir, menganalisis, dan berdiskusi.

Bahkan ada ungkapan yang sangat sering terdengar dari para guru di pesantren: “As-su’ālu nisful ‘ilmi” — bertanya adalah separuh dari ilmu.  

Ungkapan ini menunjukkan bahwa bertanya dan berdialog merupakan bagian tak terpisahkan dari proses belajar di pesantren.

Karena itu, di banyak pesantren ada tradisi bahtsul masāil, yaitu forum diskusi untuk membahas persoalan hukum dan kehidupan masyarakat berdasarkan kitab-kitab klasik.

Jika disaksikan oleh orang luar, forum ini bisa tampak seperti ajang debat panas di mana para santri “menantang” ustaznya.

Namun, sesungguhnya itulah ruang ilmiah di mana santri belajar berpikir kritis, menyampaikan dalil, dan melatih nalar keilmuan mereka dengan tetap menjaga adab.  

Dalam suasana ilmiah seperti itu, terkadang diskusi bahkan bisa “kebablasan” secara emosi, tetapi itulah dinamika pencarian ilmu.

Jika tidak ada semangat bertanya dan berdebat, maka sangat tidak mungkin lahir berbagai mazhab pemikiran dalam dunia Islam.

Dari perbedaan pendapat yang sehat itulah muncul kekayaan khazanah keilmuan Islam yang kita kenal hingga kini.  

Karena itu, sangat tidak tepat jika pesantren dituduh sebagai lembaga feodal yang mengekang kebebasan berpikir.

Justru sebaliknya, pesantren telah lama mempraktikkan budaya ilmiah berbasis adab—di mana berpikir kritis berjalan berdampingan dengan sikap hormat dan rendah hati.  

Pesantren memiliki struktur sosial bukan karena kekuasaan, melainkan karena keilmuan dan keteladanan moral.

Seorang kiai dihormati bukan karena status sosial atau kekayaan, melainkan karena ilmunya, kesederhanaannya, dan keikhlasannya mendidik.

Dalam banyak kasus, kiai hidup dalam kesahajaan, bahkan tak jarang lebih miskin dari santrinya. Apakah pantas disebut feodal seseorang yang mengabdikan hidupnya untuk ilmu dan umat tanpa pamrih?

Secara historis, pesantren muncul jauh sebelum sistem pendidikan modern diperkenalkan oleh kolonial Belanda. Ia tumbuh dari masyarakat, dikelola oleh masyarakat, dan kembali untuk masyarakat.

Kiai bukan penguasa, melainkan pelayan umat — tempat orang bertanya, meminta doa, dan mencari bimbingan moral.

Tradisi seperti ini justru menunjukkan egalitarianisme khas pesantren, di mana siapa pun boleh belajar tanpa memandang status sosial.  

Di pesantren, mencium tangan guru bukan tanda tunduk buta, melainkan simbol cinta dan penghormatan. Ini bagian dari pendidikan karakter yang di zaman modern disebut discipline-based learning — belajar melalui ketertiban dan keteladanan.  

Lebih jauh lagi, pesantren memiliki kontribusi besar terhadap bangsa. Banyak kiai dan santri yang ikut berjuang melawan penjajah dan menggerakkan masyarakat menuju kemerdekaan.

Mereka bukan kelompok yang memelihara kekuasaan, tetapi yang berjuang melawan penindasan. Maka, menuduh pesantren feodal sama saja dengan mengabaikan fakta sejarah dan jasa besar mereka.  

Akhirnya, mari kita berpikir lebih jernih: feodalisme sejati adalah ketika kekuasaan dipuja tanpa moralitas, sedangkan pesantren mengajarkan ketaatan yang disertai ilmu, adab, dan kesadaran spiritual.

Pesantren bukan simbol feodalisme, melainkan benteng nilai dan etika di tengah masyarakat yang kian kehilangan rasa hormat.*


Penulis : Hamdun, PC LAKPESDAM NU Bondowoso

Editor : Muhlas

Ahmedabad