Jejak Santri dalam Sejarah Peradaban Bangsa

Data perjalanan Hari Santri Nasioal dari Tahun 2015 hingga tahun 2019, sedangkan pada tahun 2020 ini tema perayaan HSN adalah "Santri Sehat, Indonesia Kuat". (Sumber : kemenag) 

Pernahkah terlintas dalam benak seorang Santri, bahwa dirinya adalah bagian dari benteng keutuhan NKRI…? 

Yaaach! Harusnya demikian. Santri yang terlahir dari pondok pesantren adalah seorang yang tangguh dalam bernegara, terlebih beragama. Dalam sejarah peradaban Bangsa, santri memiliki peran penting untuk kemerdekan negeri ini. Rejam jejak yang ditorehkan santri dalam sejarah peradaban Bangsa sangat panjang.

Sejenak bernostalgia sebelum terbentuknya NKRI, pada zaman kerajaan di Nusantara, santri di pesantren-pesantren banyak memberikan sumbangsih. Salah satu di antaranya adalah santri dan pesantren menjadi pusat dakwah Islam pada masa kerajaan di Indonesia. 

Dakwah islamiah pada waktu itu begitu sejuk. Parameter kesejukan dakwah islamiah yang dilakukan kaum santri terdahulu dapat dilihat pada tatanan tradisi dan kebudayaan yang menjadi jati diri bangsa tidak pernah dirusak. Eksistensi tradisi dan kebudayaan yang ada hingga hari ini menunjukkan bahwa dakwah islamiah yang dilakukan benar-benar mencerminkan Islam rahmatan lil alamin. 

Waktu terus bergerak memasuki masa penjajahan Belanda. Ketika seluruh isi negeri ini diporak-porandakan oleh kolonialisme Belanda, kaum santri tidak tinggal diam. Kaum santri memberontak dan melakukan perlawanan. Pesantren yang menjadi tempat bermukim para santri, menjadi medan heroik sekaligus menjadi pelaku heroik pergerakan dan perlawanan terhadap kolonialisme. 

Kita bisa mencontohkan Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa. Perang yang terjadi selama lima tahun (1825-1830) ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara. Menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro, Belanda mengalami kerugian finansial 43 juta Gulden serta korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi.

Wakil Ketua Umum PBNU KH As’ad Said Ali mengatakan, spirit utama perlawanan Pangeran Diponegoro dan dilanjutkan dengan berbagai perlawanan kaum santri terhadap penjajah sampai dikeluarkannya Resolusi Jihad 1945 adalah melawan ketidakadilan. Gerakan ini pula yang kemudian melahirkan jaringan ulama NU. Sejarawan NU Agus Sunyoto bahkan menyebutkan, perlawanan Diponegoro dimulai dari pesantren. Melihat kesengsaraan rakyatnya, Pangeran Diponegoro bangkit dan menimba ilmu di pesantren-pesantren untuk memperkuat batin, olah pikir, dan olah kanuragan (nu.or.id).

Potret sejarah tersebut menunjukkan peran kaum santri di Nusantara. Perlawanan-perlawanan tersebut terus dilakukan sampai Indonesia menjemput kemerdekaannya sendiri. Bahkan, pasca proklamasi, kaum santri menyambut kedatangan Belanda bersama tentara Sekutu dengan semangat jihad.

Puncak heroik kaum santri dan para ulama terjadi setelah Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Hal ini memicu jihad suci sebagai bentuk perlawanan kaum santri terhadap ketidakadilan kolonialisme, hingga meledak-lah pertempuran 10 November di Surabaya, Jawa Timur, yang kemudian dikenang dengan Hari Pahlawan. 

Ilustrasi Jihad Suci para santri melawan kolonialisme Belanda (sumber : NU online) 

Tidak hanya sampai di situ. Peran santri terus terlihat seiring berjalannya waktu. Mulai dari Orde Lama hingga Orde Baru, santri terus berkiprah untuk Bangsa, hingga naiknya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI ke-4 memimpin negara serta menunjukkan kepada dunia, bahwa putra Bangsa yang terlahir dari pesantren mampu tampil memimpin sebuah negara.

Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4 merupakan salah satu pencapaian besar kaum santri dalam peranannya membangun peradaban Bangsa. Lagi-lagi, kaum santrilah yang mampu memimpin negara yang pada waktu itu berstatus peralihan otoriter-meliter kearah demokrasi yang lebih baik. 

Hingga hari ini, peranan kaum santri tetap terasa. Hal tersebut juga terlihat dari penolakan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj terhadap disahkannya  Omnibus Law UU Cipta Kerja. Tentu saja, bukan sekadar menolak, tapi Kiai Said juga memberikan solusi dengan catatan kritis terhadap UU tersebut.

Selain peranan dalam membangun sebuah peradaban yang mapan, kaum santri juga progresif dalam bidang pemikiran intelektual (perang ideologi). Berbekal literasi kitab klasik (kitab gundul atau kitab kuning), menjadikan santri berwawasan luas dan lugas dengan intelektual dan spritualitas yang berimbang. 

Karenanya, peranan santri yang sangat besar terhadap peradaban Bangsa ini sangat patut jika Presiden Joko Widodo melalui Kepres Nomor 22 Tahun 2015 menetapkan setiap 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Ini juga sebagai bentuk penghormatan kepada kaum santri dan ulama yang sudah banyak berkiprah untuk bangsa. 

So, selamat Hari Santri Nasional 2020, "Santri Sehat Indonesia Kuat". (*)


Penulis : Gufron

Editor : Andiono


Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN