Menakar Kualitas Perkataan Kita

Dr. Suheri, Dosen STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) At Taqwa Bondowoso
Dalam kehidupan yang pasti dilakukan manusia adalah berinteraksi, berbicara, dan ngobrol dengan orang lain. Apalagi di era teknologi seperti saat ini, komunikasi tidak hanya secara verbal namun sudah merambah dalam bentuk komunikasi digital dalam bingkai literasi. 
Namun, apapun bentuk dan medianya, komunikasi tetaplah sebuah interaksi yang bertujuan menyampaikan pesan kepada orang lain. Hanya saja, ketika kita berbicara pastinya “makan kuota waktu”. Maka kita harus mempertangung jawabkan waktu hidup yang telah digunakan, untuk apa dan kita isi apa waktu tersebut. 
Tulisan ini bukan untuk merendahkan martabat manusia, atau ditujukan untuk menilai seseorang atau kelompok tertentu, tetapi lebih sebagai bahan koreksi diri untuk melangkah lebih baik. Ciri dari kemuliaan seseorang yaitu senantiasa menjaga akhlaknya. Salah satu akhlak seseorang bisa dilihat dari perkataannya. Berapa banyak orang dimuliakan karena ucapannya. Namun sebaliknya tidak sedikit yang justru rendah bahkan dipenjara karena kata-katanya pula. 
Kata-kata orang berakhlak tentu membuat orang lain selamat dan menyelamatkan, berisi rangkaian kata yang senantiasa menarik orang lain semakin mendekat kepada Allah dan mengandung mutiara hikmah, berisi motivasi dan solusi bagi orang lain menjadi lebih baik.
Level dibawahnya, yaitu pembicaraan biasa-biasa saja. Orang yang biasa-biasa, intinya lebih menceritakan peristiwa dan kejadian. Misalnya, dia melihat kucing maka dia ceritakan peristiwa yang dialami kucing, ketika melihat artis dia cerita banyak tentangnya dan sibuk sekali mengomentari seakan dia keluarganya. Saudaranya naik pangkat dia sibuk memberitakan kemana-mana seolah dia sekantor dengan saudaranya. Makin banyak komentarnya cenderung lebih banyak bumbu daripada kenyataannya. 
Orang biasa-biasa umumnya senang ketika ceritanya bisa membuat orang lain kagum, heboh, dan tertarik untuk mendengarkan kisah lanjutannya. Karena orientasinya sekedar “di-cap” sebagai orang yang serba tahu dan update dengan infotaiment. Namun, yang dilakukan dirinya sebenarnya hanya kesia-siaan. 
Sebenarnya dalam hidup ini, semakin banyak kesia-siaan maka semakin berpotensi menjadi orang rugi, semakin berpeluang berbuat salah serta semakin berpeluang banyak masalah bahkan menjadi pribadi yang hina. Oleh karena itu, bila tidak ingin demikian, setiap masalah dan peristiwa “naikan” kepada Allah swt. 
Misalnya kita melihat kucing tertabrak tidak hanya sekedar menceritakan kronologisnya semata, tetapi dikembalikan kepada Allah. Misalnya, dengan ungkapan “innalillahi wa inna ilaihi raji’un, kasian kucing itu terlindas mobil. Kalau Allah sudah berkehendak mudah saja bagi Allah merancang makhluknya sampai pada takdir kematiannya. Memang syariatnya dia tertabrak tetapi hakikatnya memang sudah waktunya dia mati, tetapi yang menabrak boleh jadi kurang sedekah, kurang munajah dan doanya saat diperjalanan. 
Kalau ditanya, “Lho kalau nabrak kucing katanya bisa sial seumur hidup?”. Orang beriman tentu tidak akan mengamini ungkapan tersebut. Dia yakin bahwa kucing tidak bisa membawa sial atau menimbulkan kualat, tidak ada kaitan menabrak kucing dengan kualat karena kucing tidak bisa balas dendam. Tetapi, Kesalahan yang tidak segera ditaubati saat menabrak  kucing itulah yang  dikhawatirkan mengundang murka Allah, apalagi sudah menabrak masih maki-maki pada si kucing, karena kucing juga makhluk Allah dan kita tidak bisa mengembalikan nyawanya kecuali Allah.
Jangan malah “merendahkan” kualitas pembicaraan kita yang justru terjerumus pada persoalan mistik dan lebih takut kepada kucing. Justru yang perlu ditakuti yaitu kesalahan dan dosa yang tidak diampuni Allah dengan menabrak kucing. 
Jadi, saat ngobrol kucing yang ditabrak mestinya menambah semangat untuk bertaubat kepada Allah. Semakin berdzikir (ingat) kepada Allah dan menambah kualitas ibadah kita kepada-Nya, atau setidaknya semakin sayang dan perhatian kepada binatang-binatang ciptaan Allah, bukan malah semakin menyeramkan dan dihantui oleh kucing. Artinya, setiap kejadian yang dihadirkan dalam kehidupan kita seharusnya bisa menambah iman, menambah ilmu, hikmah bahkan solusi. 
Diharapkan, kalau kita ngobrol, maka obrolan kita berkembang menjadi ilmu, menambah semangat ingat dan ibadah kepada Allah. Insyallah kualitas pembicaraan kita akan semakin “naik” derajatnya disisi Allah dan semakin menambah hikmah dan kebaikan untuk diri kita dan orang lain. 
Namun bila sebaliknya, saat obrolan sekedar biasa-biasa saja, bisa menyeret kita menjadi insan yang hina. “Waaah celaka...celaka...apes sekali si penabrak kucing, nanti arwah kucing bisa minta tumbal bahkan bisa menjadi malapetaka bagi dirinya, kalau tidak ingin celaka seumur hidup harus numpeng dan mengubur kepala kambing”, misalnya. 
Bila ungkapan demikian yang disampaikan, maka derajat perkataan kita tambah turun, dari biasa-biasa menjadi rendahan, dangkal bahkan bisa terjerumus dalam jurang kemusyrikan. Mengapa? karena tidak berhasil mengaitkan peristiwa kepada Allah SWT. Mungkin kita juga sering mengalami hal serupa, di media sosial beberapa kali masuk ke inbox kita yang akhir kalimatnya, kurang lebih demikian “bila anda tidak menyebarkan tulisan ini maka dalam waktu dekat anda akan tertimpa bencana, dst”. 
Bagi orang yang tauhidnya kokoh, sudah mantep dan ajeg bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan mudhorat dan manfaat kecuali atas izin Allah swt, semua bencana yang menimpa kita sudah tentu hak mutlak dan murni dari Allah bukan karena lainnya. Setiap perjalanan kehidupan kita pasti ada musibah, sakit, kecelakaan, berselisih, tetapi jangan dikaitkan karena menyebarkan isi artikel tertentu. Bisa jadi momentumnya saja bersamaan atau hampir bersamaan. 
Tetapi mengaitkan peristiwa tertentu dari Allah dengan karena tidak menyebarkan tulisan sepertinya terlalu jauh, bisa jadi Allah murka bukan karena berbeda dengan karma, karena memang hukum Allah menyatakan demikian. Bila kita berbuat kebaikan maka akan kembali kepada kita, bila keburukan yang kita tanam maka yang kita tuai kelak adalah keburukan. Oleh karena itu, dalam setiap obrolan mari kita belajar menaikan derajatnya dan mengaitkan kepada Allah SWT. Insyaallah, yang demikian akan lebih berkah dan bermanfaat. (*)

Penulis : Dr. Suheri 
Editor : Andiono

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN