Jendral Covid vs Sopir Truck

Dr (cand). Moh. Dasuki, S.Pd.I., M.Pd.I., salah satu dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Jember (Foto : Tim kreatif)
Hampir setahun sudah, dunia diinovasi oleh empirium virus Corona yang telah menundukkan seluruh negara-negara adikuasa. Militer bahkan presiden terhebat pun dibuat melongo dengan pembantaian masyarakat sipil tak berdosa oleh virus ini. 

Di banyak Negara, darurat sipil dengan berbagai pola, baik itu namanya lockdown, ada PSBB, Social dintancing dan physikal dintancing sudah diberlakukan. 

Blokade dunia besar-besaran yang terjadi tahun ini menyebabkan negara harus menanggung beban pembiayaan masyarakatnya. Tidak hanya itu, beberapa tempat dan ritual sakral pun harus ditutup dan dihentikan sementara karena ancaman serius dari invasi imprium Corona. 

Sepertinya, kendali Global saat ini sudah berada di tangan Jenderal Covid yang banyak memukul telak para pemimpin Dunia. Kabarnya, Jenderal Covid yang kejam itu tidak bisa dihadapi oleh pasukan Aliansi NATO sekalipun, tapi hanya mampu dihadapi oleh strategi perang gerilya para Sopir Truck Gandeng Indonesia, strategi itu terkenal dengan AJJ (Awas Jaga Jarak). Strategi inilah, salah satunya, yang diadopsi Presiden Jokowi untuk menyelamatkan rakyat sipil dari kebengisan agresi Jenderal Covid.

Untuk sementara waktu, taktik perang jaga jarak dari para supir truck itu bisa dioptimalkan dengan baik untuk mumutus rantai pergerakan bala tentara Covid. Karena sampai detik ini, masih belum ditemukan strategi baru dan baju anti peluru untuk menghadang laju Jendral Covid.

Dulu, saat Hiroshima dan Nagasaki di BOM atom Amerika dan sekutunya, Jepang mengalami kehancuran hebat. Konon saat itu, Kaisar Hirohito menyuruh untuk mencari para guru yang tersisa. 

Namun hari ini, tidak ada yang bisa dipanggil kemana-mana. Mereka, para guru, banyak yang dirumahkan untuk sementara waktu. Sungguh, betapa berat tugas para guru yang dipanggil Kaisar untuk bangkit dari kehancuran kala itu. Bila dibandingkan dengan guru mengajar dari rumah, ini tentu tidak ada apa-apanya. 

Begitu pula masa-masa pahit yang dihadapi oleh rakyat Jepang ketika negaranya luluh lantak oleh bom atom, yang mungkin tidak setara dengan kendala belajar Daring (dalam jaringan) karena sinyal, paketan dan sarana lainnya. 

Tapi setidaknya, bom atom yang menghancurkan Jepang, menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwa meski fisik hancur rata dengan tanah, tapi mentalitas harus tetap terbangun untuk esok yang lebih baik.

Demikian pula dalam menghadapi pasukan Jendral Covid yang tidak berprikemanusiaan ini. Pasukan Covid ini akan kalah hanya dengan mentalitas yang kuat. Kuat tidak keluar dari rumah, kuat tidak mudik, kuat tidak berkerumun, yang kesemuanya harus dibarengi dengan kuat untuk berbagi pada mereka yang terkena embargo ekonomi oleh Jenderal Covid. 

Hanya dengan mentalitas kuat itulah, bala tentara Covid tidak akan mampu berdiaspora. Dan pada gilirannya, pasukan Covid ini akan terbunuh dengan sendirinya.

Perang Vietnam 1962 juga memberi pelajaran berharga, bahwa secangih apapun peralatan perang Amerika jika tidak diikuti oleh penguasan medan yang baik, maka akan sia-sia juga. Anggap saat ini yang menguasai medan perang adalah kita, tinggal bagaimana memikirkan suplai pangan tetap stabil, sehingga musuh tidak bisa bergerak kemana-mana. 

Tentu, diperlukan kerjasama yang baik antar semua pihak. Baik yang mangatur strategi perang maupun yang mengatur suplai pangan.Tidak ada langkah yang jitu selain menguasai medan, cukup pembekalan dan kuat mental. (*)


Penulis : Dasuki

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN