Kiai Halila, Pengasuh Pesantren Al Was'us Shadri

Kiai Halila, Pengasuh Pesantren Al Was'us Shadri, Bondowoso (Foto : Tim kreatif) 
Gang pesantren. Demikian banyak orang menyebut satu gang di Jalan Letjend Soeprapto Kelurahan Dabasah, Bondowoso.

Tentu, ini bukan gang biasa, seperti kebanyakan gang atau jalan lainnya, yang dipenuhi deretan rumah dan pekarangan saja.

Di gang ini, terdapat satu pesantren. Saya tidak berani menyebutnya pesantren salaf, apalagi modern.

Dalam kamus santri, pesantren salaf (tradisional) dikenal dengan pesantren yang hanya mengajarkan pendidikan keagamaan saja. Seperti baca Al Qur'an dan kitab.

Pesantren modern beda lagi. Di dalamnya, selain urusan keagamaan, seperti dalam pesantren salaf, terdapat pelajaran umum yang diajarkan pada santri.

Kedua sistem ini, meski tidak menyatu dalam pesantren di gang ini --setidaknya bisa dibilang, justru melekat di sini.

Pesantren itu adalah pesantren Al Was'us Shadri. Berjarak sekitar 1 KM dari alun-alun Bondowoso.

Itu artinya, Al Was'us Shadri terdapat di kota. Tepatnya, di pusat kota, pusat pemerintahan. 

Tentu, yang namanya di pusat kota, dekat sekali dengan pusat layanan masyarakat. Baik itu di bidang pendidikan, maupun sosial lainnya.

Bidang pendidikan misalnya, pesantren Al Was'us Shadri dekat dengan Tsanawiyah (MTs) 2. Dekat pula dengan Aliyah (MAN).

Saya menyebut dua lembaga pendidikan ini, karena madrasah 'senafas' dengan sistem pendidikan pesantren.

Selain madrasah ini, MTs maupun MAN, ada pula sekolah umum lainnya. Seperti SMP 4 yang berada di selatan pesantren. SMP 3 keselatannya lagi. Ini yang SMP. 

Tak jauh dari gang ini, ada SMA 2. Lokasinya berada di selatan gang pesantren.

Ada pula SMK 2, yang dulu dikenal dengan SMKK, yang terletak di barat pesantren. Yang lebih jauh, dan menjadi pilihan sejumlah santri, ada SMK 1. Dulu SMEA, dekat pasar. Banyak orang menyebut SMK Denpasar, depan pasar.

Saya menyebutkan sekolah dan madrasah ini, bukan bermaksud promosi. Bukan. Itu lantaran sejumlah santri, selain mondok, juga mengenyam pendidikan formal di lembaga-lembaga ini.

***

Selain berada di pusat kota, pesantren Al Was'us Shadri juga berada di tengah-tengah lingkungan perumahan warga. Kanan kiri langsung berdempetan dengan rumah warga.

Di belakang pesantren, juga terdapat sungai. Nyaris tidak ada lahan kosong, seperti pesantren pada umumnya, yang luas, yang kanan kiri masih ada lahan, baik sawah maupun pekarangan.

Untuk 'ukuran' sebuah pesantren, bisa dibilang, ini pesantren kecil. 

Tapi, sebagaimana kita pahami bersama, besar kecilnya pesantren bukan dilihat dari ukuran lahannya, tapi seberapa luas jangkauan santri dan alumninya, bisa berkhidmat pada masyarakat, bangsa dan agama.

Pada aspek inilah, yang ditanamkan sejak dini oleh pengasuh pesantren Al Was'us Shadri. Khairunnas anfa'uhum linnas. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat pada sesama.

Ya, beliau adalah Kiai Muhammad. Banyak orang menyebut nama beliau dengan panggilan Kiai Halila.

Kiai Muhammad memiliki 7 putra, terdiri dari 3 perempuan dan 4 laki-laki, yaitu Nyai Halila (alm), Nyai Zahra (alm), Nyai Rukayah, Lora Hasan, Lora Hadi (alm), Lora Husen (alm), Lora Hosnan (alm).

Dari urutan nama putra-putri Kiai Muhammad inilah, kita baru tahu kenapa selanjutnya beliau lebih dikenal dengan nama Kiai Halila.

Baca Juga : 

***

Kiai Hasan, putra keempat yang kini melanjutkan kepemimpinan di pesantren Al Was'us Shadri bercerita, kiai Halila merupakan seorang kiai yang 'keras' dalam mendidik santri-santrinya.

'Keras' di sini, bisa juga kita maknai sebagai kiai yang disiplin dalam mendidik santri-santrinya.

Pernah suatu ketika, salah seorang santri di pesantren ini disuapi kotoran ayam. Entah apa penyebabnya. 

Lantaran santri ini ikhlas, tidak membantah atau melawan, santri tersebut kini menjadi tokoh masyarakat di lingkungannya. Beliau tak lain adalah Rais Syuriah MWC NU Bondowoso (Kecamatan Kota), KH Sulaiman.

Tentu tak hanya beliau, tokoh-tokoh masyarakat di lingkungannya yang mendapat 'cobaan' dari sang guru, Kiai Halila.

Pernah suatu ketika, seorang santri langsung ditempeli kastol --alat masak seperti panci, yang panas oleh kiai Halila. Tentu saja wajahnya hitam seketika. 

Tapi aneh, kata si santri, wajahnya tidak panas. Padahal kastol tersebut baru diangkat dari tungku berbahan bakar kayu.

Ada pula santri yang suka olahraga dengan barbel. Tangannya kekar dan kuat. 

Tentu, yang namanya barbel pasti berat sekali. Santri baru dan masih kecil, suka bermain dengan mendorong barbel berat ini.

Lantaran kiai Halila tidak berkenan, barbel super berat ini hanya diambil dengan tangan kiri dan dilempar ke sungai. Padahal, sungai berada di belakang pesantren.

Beda lagi dengan santri satunya. Entah karena telat mengaji atau berjamaah, santri dipukul dengan pelepah kelapa. Patah? Tidak. Santri yang dipukul justru tak merasa sakit.

Subhanallah.

Itu relasi santri Al Was'us Shadri dengan sang guru, Kiai Halila.

Kiai Halila, pengasuh Pesantren Al Was'us Shadri Dabasah, Bondowoso

Bagaimana dengan komunikasi Kiai terhadap pihak luar, seperti dengan pesantren lainnya?

Komunikasi ini, tentu berbeda dengan komunikasi masa kini. Sekarang, sudah ada gadget. Komunikasi jarak jauh cukup tekan tombol, sudah bisa video call, atau sekadar saling berkirim pesan.

Ini tentu berbeda dengan jaman dulu. Perangkat canggih masih jarang, tak sama seperti hari ini. Jika bukan lantaran ketersambungan batin, tentu komunikasi antar guru, kiai, akan sulit terjadi.

Soal ini, kiai Hasan kembali bercerita, jika dulu, sang ayah, Kiai Halila, pernah kedatangan tamu dari jauh.

Rupanya, sang tamu sebelum datang ke gang pesantren sudah sowan ke Nyai Rum di Pesantren Sukorejo. 

Nyai Rum adalah nama panggilan Nyai Mukarromah, putri KHR As’ad Syamsul Arifin dan Nyai Hj Zubaidah.

Singkat cerita, di sana, tamu tersebut menyampaikan keluh kesahnya, bahwa usahanya tidak lancar, dan lain sebagainya.

Tak disangka, nyai Rum bukannya memberikan amalan atau ijazah. Tapi beliau justru mengarahkan agar tamu tersebut menemui seorang kiai di Dabasah, Bondowoso. Kiai dimaksud adalah kiai Halila.

Kata nyai Rum saat itu: "setelah ini jangan ke saya lagi, cukup ke kiai Halila". Kira kira demikian.

Tak hanya mengarahkan dan memberikan ancer-ancer menuju gang pesantren, nyai Rum juga mengembalikan salam tempel si tamu, yang jumlahnya sama persis dengan ongkosan dari pesantren Sukorejo menuju Al Was'us Shadri Dabasah.

Naik bus dari Sukorejo menuju Situbondo sekian ongkosannya. Dari terminal Situbondo ke Bondowoso sekian ongkosnya. Dari terminal Bondowoso naik becak ke gang pesantren sekian ongkosnya. Pas.

Itu yang disampaikan oleh si tamu, ketika menyampaikan salam nyai Rum kepada kiai Halila, yang diceritakan kembali kiai Hasan.

Dari mana nyai Rum tahu kiai Halila, bahkan tahu persis ancer-ancer dan lokasi pesantren 'kecil' Al Was'us Shadri Dabasah Bondowoso ini?

Padahal, saat itu kedua tokoh ini belum pernah saling sowan, tatap muka, apalagi berkomunikasi dengan alat canggih seperti masa kini.

"Itu karena ketersambungan batin", demikian kata kiai Halila, menjawab pertanyaan kiai Hasan.

Untuk beliau-beliau, dan guru kita semua: Alfaaatihah. (*)


Penulis : Andiono Putra, Santri Al Was'us Shadri, Alumni PKP NU I.

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN