Saat Kita Berada di Fase Itu

Elok Riskiyah, S.Ag., M.Pd, Kepala SMPN 2 Maesan Bondowoso. (Tim : Kreatif) 
Hampir tiap hari aku melihatnya. Kulitnya keriput, berjalan tertatih-tatih. Tatapannya kosong. Bajunya sudah tak selaras. Berkerudung tapi bawahannya memakai rok pendek. Terkadang bajunya robek dan baunya tak sedap. Tas kumal selalu ia bawa kemana-mana. Saat lelah, ia duduk begitu saja di teras depan toko. Setelah beristirahat sejenak ia melanjutkan perjalanannya lagi. 

Pernah aku melihat menyeberang jalan tanpa melihat, apakah ada kendaraan atau tidak. Ia terus saja melangkahkan kakinya. Untunglah kendaraan tidak terlalu ramai saat itu. Sehingga bisa selamat sampai di seberang jalan.Tapi bagaimana saat kendaraan sedang ramai, dan ia melangkah begitu saja di jalan raya? aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. 

Ia selalu mampir di sebuah rumah yang tak jauh dari rumahku. Tapi ia tak masuk ke dalamnya, hanya memandangnya sebentar, kemudian pergi lagi. Aku tak tahu mengapa ia selalu mampir dan melihat rumah itu. Seperti pagi ini, kulihatnya berdiri lama memandang rumah yang selalu dikunjungi. 

Sambil bergumam tak jelas. Saat itu si pemilik rumah sedang berdiri di depan pintunya. Biasanya rumah itu sepi seperti tak berpenghuni. Tapi berbeda kala itu di pagi hari pemilik rumah tidak ada agenda untuk bepergian. Dengan wajah yang tak bersahabat si pemilik rumah mengusirnya. Dari perkataannya, jelas terdengar bahwa si pemilik rumah mengenalnya. Dengan kepala menunduk ia pun pergi seraya mengeluarkan kata-kata yang lagi-lagi tak bisa kudengar dengan jelas. 

Iseng, ku bertanya pada tetanggaku yang juga melihat kejadian itu. “Siapa ibu tua itu Pak?” tanyaku pada tetanggaku yang kerap melihat kejadian itu. 

“Ibu tua itu adalah bibinya, yang mengusirnya adalah keponakannya. Ibu itu punya anak tapi anaknya tinggal di luar kota dan tidak ada yang mau merawatnya." jawab tetanggaku dengan jelas.

“Berarti ibu itu hidup sebatang kara pak?” tanyaku kembali. 

“Ya betul, ia sering ke sini walaupun hanya memandang rumah tersebut, karena saat muda ia tinggal bersama ayah, ibu dan saudara-saudaranya” jawabnya. Maklumlah aku baru mutasi, sehingga aku masih belum mengenal dengan baik para tetanggaku. Aku hanya diam tatkala tetanggaku melanjutkan penjelasannya,

"Kasihan ibu itu, ia sudah mulai pikun, tapi tak ada satupun anak atau saudara yang mau merawatnya, seperti yang kita lihat tadi, ia diusir begitu saja oleh keponakannya, padahal ibu tua itu wajahnya sudah pucat bisa jadi ia haus atau lapar.” Aku hanya menghela nafas dan terharu mendengar penjelasan tetanggaku, agar tidak semakin berlarut-larut pada pembicaraan yang nantinya jatuh ke ranah ghibah. Aku pamit untuk melanjutkan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Setelah semua dianggap usai. Aku duduk di taman samping rumahku. Sambil memandang beberapa tanaman dengan berbagai bunga yang bermacam-macam, ada Bunga Anggrek, Mawar, Melati dan Anyelir. Pikiranku melayang kepada ibu tua itu lagi. Nafasku terasa berat saat mengingatnya, ada sedikit rasa perih di dadaku. Mengapa aku terobsesi untuk memikirkannya?. Karena aku teringat andai itu terjadi pada diriku sendiri. 

Seandainya aku diberi umur panjang, dan sampai di fase itu. Bagaimanakah nasibku nanti?. Di saat mata sudah mulai rabun, telinga sudah mulai kurang jelas pendengarannya, Jalan pun terseok-seok. Bahkan bisa jadi tak bisa lagi menahan kencing, sehingga harus tercecer kemana-mana yang tentunya mengundang bau tak sedap. 

Apakah disaat itu anak-anakku tak akan memarahiku? Apakah disaat itu anak-anakku akan bersedia merawatku? Apakah disaat itu anak-anakku berada bersamaku? Ataukah mereka semuanya akan pergi meninggalkanku, bahkan mungkin mereka sibuk karena sudah punya keluarga dan pekerjaan di luar kota? Karena tak ada yang merawat akhirnya aku dititipkan di panti jompo?. Belum lagi disaat aku sakit, pasti akan sangat merepotkan mereka. Aku termangu saat pikiran tersebut melintas di benakku. 

Renungan terus memikirkan bagaimana jika kita berada di masa tua, melangkahkan kaki ke ruang tengah dan menghidupkan televisi. Ternyata acara di TV terkait dengan masa tua. Entah ini karena kebetulan atau tidak, aku tak tahu. 

Dikisahkan di televisi tersebut, seorang nenek yang umurnya sekitar 80 tahun berjualan makanan ringan di pinggir jalan raya yang sangat ramai. Setelah ditanya oleh seorang reporter yang menyamar sebagai pembeli. 

"Nek, kemana anak dan cucunya?" sepintas pertanyaan. Ternyata ibu itu hidup seorang diri, anaknya 3, yang nomor 2 telah meninggal dunia, anak yang pertama dan yang ketiga hidup di kota lain. 

Bahkan saat ini sangat jarang sekali menengoknya bahkan bisa dikatakan tidak pernah memberikan kabar. Suaminya telah meninggal dunia setahun yang lalu. Nada bicara dengan bibir tergetar dan meneteskan air mata kala menceritakan hidupnya yang sebatang kara. 

“Saya hidup sendiri, hanya saya dan Allah.” sembari ia arahkan jari telunjuknya ke atas.

Reporter yang menyamar sebagai pembeli itu pun berkaca-kaca saat mendengar nenek itu bercerita tentang hidupnya. Akupun ikut menangis tatkala mendengarnya, wajah nenek itu bersih bersinar, menandakan bahwa nenek itu ahli ibadah. Di kejauhan sayup-sayup suara adzan terdengar keras di gendang telinga, menandakan waktu dzuhur telah tiba. 

Kumatikan televisi dan menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Ku gelar sajadah, Setelah itu laksanakan sholat, kemudian kutengadahkan tangan ke atas langit sambil berdoa. 

“Ya Allah aku hanya bisa memasrahkan diri kepada-Mu, semuanya bisa meninggalkanku, Tapi hanya Engkau Ya Rabb... tak akan pernah meninggalkan aku, Engkau akan selalu menyayangiku, dan Engkau tak akan pernah membiarkan aku hidup seorang diri. Karena, Engkau akan selalu melindungi dan menemani hambamu." Hatiku terenyuh menyentuh lubuk hati yang paling dalam. 


Penulis : Elok Riskiyah

Editor : Haris

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN