Santri dan Pemburu Subscribe

Dr (cand). Moh. Dasuki, S.Pd.I., M.Pd.I., salah satu dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Jember (Foto : Tim kreatif)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren (selanjutnya, UU Pesantren) telah disahkan DPR RI, 24 September 2019 lalu. Ini merupakan kado terindah bagi Pesantren menjelang hari santri 22 Oktober kala itu.

Disahkannya UU Pesantren bukan bermotif untuk mendukung kekuasaan, bukan pula bermotif agar pesantren bisa bertahan dengan gempuran zaman, mampu berkompetisi, terutama tuntutan legal formal pendidikannya dan tuntutan masyarakat yang sedang asik-asiknya mabuk dengan pragmatisme kehidupan.

Meski UU Pesantren tidak ada, Pesantren tetap mampu bertahan dengan gaya akomodatif dan asimilatifnya dalam Mengayomi umat dan pemenuhan kebutuhan zaman.

Sejarah telah mencatat prestasi Pesantren dalam mengantarkan rakyat ini bebas dan merdeka. Hanya saja keberadaannya kadang masih dianggap sebelah mata oleh politik kebijakan penguasa, seakan-akan pesantren itu milik swasta bukan milik Bangsa, sementara lembaga pendidikan umum itu satu-satunya milik negara. Makanya perlakuannyapun sangat berbeda.

Negara harus segera mengakhiri problem dikotomis dan fragmentasi ini. Indonesia punya sistem pendidikan pesantren yang unik, tinggal bagaimana pengelolaannya agar memiliki basis-basis unggulan, misalnya pesantren pertanian, peternakan, teknologi, bisnis dan sebagainya, dengan tidak meninggalkan jati dirinya sebagai wadah tafaqquh fiddin.

Kiai selaku nahkoda utama Pesantren terus bertransformasi mengikuti orkestra zaman dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip asasi Pesantren, yaitu kekuatan transedental, intelektual dan emosional. Pesantren akan dibawa mengikuti gelombang kehidupan, bertahan dan berkontribusi untuk umat meski tanpa kehadiran dan embel-embel negara. 

Para kiai sebagai arsitek pesantren yang selalu sensitif dengan dinamika zaman, termasuk revolusi 4.0 yang sudah sering diseminarkan. Menghadapi revolusi 4.0 bukanlah hal yang baru bagi Pesantren, karena 4.0 hanya jasadnya saja, sementara ruhnya adalah ajaran dan nilai-nilai agama yang tetap dijungjung tinggi. 

Pesantren tidak ingin 4.0 justru akan menjadi monster untuk membuat kalangan Pesantren teralienasi atau bahkan menggerus tradisi Pesantren. Sebaliknya, para santri harus berpacu dengan 4.0, menjadikannya sebagai ladang dalam menyebar kebaikan dan ibadah. 

Revolusi 4.0 menjadi peluang besar bagi para santri untuk melakukan apa saja termasuk dakwah virtual. Namun masih amat disayangkan, situs-situs informasi dikuasai oleh kelompok-kelompok coboy yang datang hanya untuk iklan-iklan terorisme, atau mereka melakukan editing vidio hanya untuk membenturkan ulama satu dengan yang lainnya.

Para santri harus merebut ruang virtual tersebut agar orang-orang yang hanya memburu subscribe dengan modus adu domba ulama itu segera hengkang dari dunia digital.

Kelompok subscribe ini dapat mendulang rupiah di tengah panggung trend yang sedang berkembang dan kontroversial, apalagi saat momentum peralihan kekuasaan yang didukung oleh banyak kalangan ulama, membuat mereka semakin rajin untuk mendulang rupiah dengan cara fitnah dan adu domba.

Santri harus merebut panggung bangsa dan negara, tampa harus berteriak takbir tapi menunjukkan prestasi, kemuliaan akhlak dan ikut membantu membangun SDM bangsa Indonesia. Saatnya para santri turun untuk merebut ruang-ruang strategis kehidupan.

Bila ada Presiden sampai Kepala Desa seorang santri, maka juga harus ada dokter dari santri tulen, pengusaha dari santri dan seluruhnya adalah santri. Ini tidak lain untuk merubah dinamika Indonesia dengan cara mensantrikan Indonesia tampa harus dengan khilafah.

Indonesia akan lebih aman, sejuk dan damai bila negeri ini dihuni oleh banyak Santri. UU Pesantren sebagai ruang yang luas untuk santri agar lebih banyak berbuat untuk negeri. Santri yes, khilafah no. (*)


Penulis : Dasuki

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN