Story Santri; Jihad itu Melawan Hawa Nafsu bukan Mengubah Lafadz Adzan

Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng (Foto : Tim Kreatif) 
“Mau kemana, Kak Las?” kata Rozak.

Beginilah kaum sarungan, selalu mempertanyakan setiap apa yang dilihatnya. Jelas-jelas sudah berpenampilan rapi mau kuliah masih dipertanyakan. Padahal ia tahu bahwa setiap hari Kamis aku kuliah. Tapi, sikap seperti itu harus terus dilakukan oleh siapapun, khususnya kaum sarungan. 

Pertanyaannya memang hanya sekadar basa-basi, namun jangan dilihat dari pertanyaannya, tapi lihatlah dari caranya menyapa. Terkadang seseorang enggan untuk menyapa temannya walau hanya mengatakan salam atau kata ‘hai’.

“Mau lan-jalanan (jalan-jalan_Red), Lek (Dik),” sahutku sambil memasukkan buku dan laptop.

Rozak tidak ikut kegiatan pembacaan surat Yasin yang rutin dilaksanakan setiap pagi oleh pengurus OSIS. Makanya, ia ke kantor untuk menyembunyikan dirinya dari pantauan guru BK. Aku yang tidak terlalu terburu-buru berangkat kuliah masih duduk santai di kantor. Kemudian sambil membuka handphone, sekadar ingin melihat pesan whatsapp. 

Memang tidak baik sebenarnya terburu-buru itu, karena terburu-buru adalah perilaku setan. Dijelaskan juga dalam kitab al-Muntakhobat fii al-Mahfudlat bahwa orang yang bersabar dan tidak tergesa-gesa (buru-buru) akan mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.

Mata dan jemariku masih fokus mengotak-atik handphone, berbagai pesan kuluncurkan. Ada suatu hal yang menarik ketika aku asyik bercengkerama dengan pesan whatsapp. Sebuah isu tentang perubahan lafadz adzan menjadi pemikiranku seketika. Memang sebelumnya sudah ketahui isu ini, namun hari ini aku melihat isu itu lagi tampil di layar handphone.

Kuberitahu Rozak yang masih duduk tak jauh dariku. Kukatakan bahwa umat Islam hari ini diporak-porandakan kembali dengan isu perubahan lafadz adzan yang semula adalah ‘Hayya alas Shalat’ diubah menjadi ‘Hayya alal Jihad’.

Rozak yang tak pernah tahu menahu soal ini pun tidak percaya. Karena baginya, lafadz adzan memanglah demikian, tidak ada yang pernah mengubahnya. Lah, kenapa sekarang ada yang mau mengubah? Memangnya tahu, bagaimana asal muasal adzan itu? Kok sangat gampang sekali mau mengubah tatanan yang ada.

“Seharusnya, adzan itu dilakukan bukan dipermasalahkan, Lek. Orang Islam yang mengubah lafadz adzan itu atau orang yang mengikuti pendapat itu sangat aneh sekali. Adzan yang lafadznya sudah ditentukan mau diubah segala, dari ‘Hayya alas Shalat’ menjadi ‘Hayya alal Jihad’. Bukankah itu sangat aneh, Lek?” kataku.

“Dan,” gertakku pada Rozak yang mulutnya sampai menganga mendengarkan perkataanku. Ia kaget, badannya sampai bergetar saat kugertak. Matanya mulai memerah, mungkin rasa kantuknya sedang menyerbu. Semalam ia memang tidak tidur sama sekali sampai pagi ini. Tapi entahlah, apa yang ia lakukan selama begadang di malam hari. Yang jelas, semoga saja tidak mengambil kenikmatan antara pusar dan lutut, sebagaimana santri yang kadangkala melakukan itu karena saking tidak kuatnya menahan nafsu.

“Sama halnya dengan seragam, Lek. Seragam di pesantren sudah ditentukan oleh pengasuh bagaimana warna dan modelnya. Ketika seragam itu sudah ditentukan, maka kita tidak mempunyai hak untuk mengubah model dan warna itu, karena itu sudah ketetapan. Dan, ketetapan itu tidak bisa diganggu gugat,” tambahku.

Baca juga :

Rozak masih mengantuk walau sudah kugertak. Kukatakan padanya bahwa dahulu pada masa KH. Ahmad Bahruji, ketika beliau merasa mengantuk maka beliau menggesekkan kedua telapak tangannya sampai hangat kemudian diusapkan pada matanya.

Rozak menuruti saranku, ia mulai menggesekkan kedua telapak tangannya sampai terasa hangat kemudian ia usapkan pada matanya. Seketika, ia mempunyai energi kembali untuk semangat mengikuti kegiatan-kegiatan pesantren di pagi ini.

Setelah tidak mengantuk lagi, Rozak pun bertanya, “Kalau memang ada seruan untuk melakukan jihad, yang dimaksud itu jihad yang bagaimana, Kak Las? Karena setahuku, jihad itu, iya perang melawan orang kafir, Kak Las.”

“Jihad yang bagaimana maksudnya, Kak Las? Karena aneh loh, baru kali ini aku mendengar isu itu,” imbuhnya

“Jihad yang dimaksud itu sama halnya dengan teror-teror beberapa tahun sebelumnya, Lek. Jadi, ketika seseorang melakukan dosa besar, maka bagi mereka adalah kafir. Dan orang kafir, darahnya itu halal, Lek. Artinya, tidak masalah dibunuh. Tapi, ini menurut mereka, Lek. Menurut Islam kita yakni Ahlussunnah, tidaklah demikian, Lek.”

“Duh, kejam sekali, Kak Las,”

“Loh, iya jelaslah kejam, Lek. Seakan ampunan Allah Swt itu tidak berlaku pada mereka yang melakukan dosa besar, Lek,” cetusku.

“Kau tahu peristiwa pengeboman di Bali dulu? Itu ulahnya orang yang mengajak jihad ini, lek. Agar lebih keren dan banyak yang mengikuti mereka, maka mereka mengubah lafadz adzan yang awalnya ‘Hayya alas Shalat’ yang artinya marilah kita shalat, diubah menjadi ‘Hayya alal Jihad’ yang artinya marilah kita berjihad,” imbuhku.

“Kau pernah tahu film yang berjudul Alif Lam Mim, Lek?” tanyaku. 

Rozak tidak menjawab, ia berdiri kemudian melihat situasi di luar kantor pengurus. Penyembunyian dirinya dari guru BK berhasil. Buktinya, ia masih santai-santai saja di dalam kantor ini. Ia bertanya pada salah satu santri lewat celah jendela yang terbuka separuh. Ia menanyakan tentang kelasnya, apakah ada guru atau tidak. Alhasil, santri itu tidak tahu apa-apa walau kelasnya berdempetan dengan kelas Rozak.

Rozak kembali duduk dengan tenang, rileks, dan santai, seakan tidak mempunyai beban apa pun, bahkan merasa tidak punya hutang walau sebenarnya banyak, hehehe.

“Aku pernah nonton film itu, Kak Las. Emm, kapan tapi yaa? Lupa wes, pokoknya pernah,” kata Rozak sambil menghidupkan kehidupannya. Baginya, rokok adalah kehidupan. Tanpa rokok, ia merasa kehilangan jiwanya untuk hidup. Maklumlah, orang kalau sudah kecanduan memang seperti itu, beda halnya denganku yang sama sekali tidak merokok. Tapi, para wanita yang kukenal banyak mengatakan bahwa lelaki yang tidak merokok adalah lelaki idaman, hehehe.

“Dalam film Alif Lam Mim itu, Lek. Ketika Alif mengunjungi sebuah cafe tempat Laras bekerja, ada 3 orang datang untuk makan di tempat itu. Mereka menggunakan gamis lengkap dengan sorban diikatkan di kepalanya, Lek. Kemudian, pelayan memberitahu orang itu bahwa di dalam cafe tersebut tidak diperkenankan menggunakan baju religi. Orang itu tidak terima, Lek. Menurut mereka, mau makan saja kok diatur-atur segala pakaiannya.”

Baca juga : 

Rozak mengiyakan ceritaku, memang sebelumnya ia pernah menonton film itu denganku. Tapi, ia tidak paham betul maksud film itu. Baginya, film itu seru, keren dan bagus. Tapi sesungguhnya, banyak hal yang kita dapatkan setelah menonton film itu. Salah satunya adalah kita bisa mengetahui bagaimana pola pikir Islam liberal di negara kita.

“Zak, kok dak masuk?” Jailani masuk mengagetkan Rozak. Ia menyangka bahwa Jailani adalah guru BK karena memang suaranya agak mirip sedikit, tapi beda.

“Lanjutkan, Kak Las,” kata Rozak.

“Kemudian, Lek. Setelah Alif memohon pada orang itu untuk meninggalkan cafe agar suasana dan kondisi cafe tetap kondusif, mereka akhirnya pergi dan meninggalkan sebuah tas yang berisi bom. Setelah Alif tahu bahwa tas orang tadi itu ketinggalan, Alif kembali lagi ke halaman depan hendak mengejar mereka untuk memberitahukan tasnya yang ketinggalan. Tapi, sebelum Alif balik kanan bom di tas itu meledak, Lek.”

“Nah, iya betul, Kak Las. Nanti Alif itu diberi tahu tentang pengeboman itu.”

“Oh, film Alif Lam Mim itu yang kalian bicarakan?” Jailani menyela.

“Tapi sebetulnya bukan orang yang pakai gamis itu yang melakukan pengeboman, Lek. Tasnya itu memang milik mereka, namun mereka tidak tahu kalau di dalamnya ada yang memasukkan bom. Pun yang menjadi korban seharusnya 3 orang yang memakai gamis itu lagi, Lek. Tapi, karena mereka pergi akhirnya mereka tidak menjadi korban ledakan bom itu,” paparku sambil menatap Rozak dan Jailani lekat-lekat.

“Nah, jihad yang mereka maksud iya seperti itu, Lek. Mereka salah memaknai jihad dengan cara pengeboman seperti itu. Padahal, jihad yang sebenarnya adalah melawan hawa nafsu ini, Lek. Lah wong kita saja belum mampu mengendalikan nafsu untuk menjauhi larang Allah Swt, moro-moro dengan bangganya, dengan gagahnya bilang kita harus berjihad. Sampai mengubah lafadz adzan segala lagi. Padahal lafadz adzan itu sudah dari dulu ditetapkan dan tidak pernah ada yang mengubahnya,” jelasku sambil menatap mereka dan menepuk-nepuk kaki.

“Apa tujuan mereka melakukan itu, Kak Las?” tanya Jailani yang fokus mendengarkan perkataanku. Ia sebenarnya tidak tahu juga bahwa hari ini ada isu tentang lafadz adzan yang diubah.

“Tentu ada tujuan besar dibalik isu ini, Lek. Apalagi tujuannya kalau bukan merongrong kedamaian umat Islam dan mencekoki pemikiran umat Islam. Orang yang mengubah lafadz adzan itu tentu bukanlah golongan kita, golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, Lek. Atau mungkin mengaku Ahlussunnah tapi tidak mencerminkan sikap Ahlussunnah, Lek,” sahutku.

“Karena banyak hari ini yang mengaku Ahlussunnah, tapi sikap dan perilakunya sama sekali tidak mencerminkan Ahlussunnah. Salah satunya adalah orang yang mengubah lafadz adzan ini, Lek,” tambahku.

Jailani mangguk-mangguk seakan paham tentang apa yang kubicarakan. Paham atau tidak, biarlah. Karena itu tidak terlalu penting, yang terpenting ia belum pernah dicekoki oleh pemikir Islam kiri maupun Islam kanan. Lebih-lebih tidak terpengaruh atau percaya pada isu perubahan lafadz adzan itu.

“Mengubah lafadz adzan bagaimana maksudnya, Kak Las?” kata Jailani yang memang tidak paham dengan apa yang kubahas dengan Rozak sejak awal. Rozak hanya tertawa melihat ekspresi Jailani yang kebingungan. Ia tertawa terbahak-bahak, sampai seluruh ruangan kantor disesaki oleh suara tawa Rozak.

Jailani yang ditertawakan seperti itu merasa tidak terima, karena baginya tidak ada hal yang harus ditertawakan dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, Jailani memukul Rozak pelan sambil ikut tertawa.

Entahlah, aku sendiri ikut tertawa dengan sikap mereka. Dan bagiku, mereka itu bagus, mereka itu cerdas karena bisa membuatku tertawa. Seperti apa yang pernah kudengar dari salah satu video Gus Baha’ yang beliau mengatakan bahwa orang alim itu tidak disebut alim kalau tidak bisa membuat orang tertawa, hehehe.

“Jadi, Lek Jai yang terhormat dan yang baru datang, hehehe. Sekarang itu, umat Islam dihebohkan dengan isu lafadz adzan yang diubah, Lek,” jawabku simpel karena sebentar lagi harus berangkat ke kampus.

“Loh, apanya yang diubah, Kak Las?” Jailani memperpanjang.

“Itu, Lek. Lafadz ‘Hayya alas Shalat’ diganti menjadi ‘Hayya alal Jihad’. Nah, umat Islam dihebohkan isu itu sekarang, Lek,” kata Rozak menjelaskan apa yang ia bahas denganku.

Sama seperti Rozak. Jailani tercengang mendengar isu itu. Tapi bedanya, Jailani tidak sampai menganga mulutnya, hehehe. Ia hanya mengerutkan dahinya saja sebagai tanda bahwa ia memang benar-benar tidak paham.

“Aku tidak paham, Kak Las. Maksudnya bagaimana itu?” Jailani lagi-lagi memperpanjang.

“Kamu tahu bagaimana lafadz adzan, Lek? Ada salah satu lafadz adzan yang oleh orang non-Ahlussunnah diubah, Lek. Di lafadz adzan itu, ada kata ‘Hayya alas Shalat’ yang artinya marilah kita shalat. Nah, lafadz inilah yang diubah, Lek. Diubah menjadi ‘Hayya alal Jihad’ yang artinya adalah marilah kita berjihad. Pertanyaannya, jihad yang bagaimana yang dimaksud?” jawabku sambil menatap Jailani yang sangat serius mendengarkanku bicara.

“Kalau secara pemahamanku, Kak Las. Jihad itu, iya perang melawan orang kafir itu,” tukas Jailani.

“Jawabanmu sama dengan Rozak, Lek. Tapi kalau menurutku, Lek. Jihad itu memerangi hawa nafsu. Karena perang melawan hawa nafsu kata Rasulullah adalah perang yang paling besar diantara perang yang lain seperti perang badar, perang khondak dan perang lainnya.”

“Nah, orang yang bukan Ahlussunah, Lek. Mereka itu memaknai jihad dengan memberantas semua orang kafir, Lek. Pokoknya, orang kafir itu adalah halal darahnya. Nah, ketika mereka mendapati seseorang yang melakukan dosa besar, maka dianggaplah orang itu kafir. Kemudian setelah dianggap kafir, maka darahnya halal untuk dibunuh. Itu kata mereka, bukan kata kita yang Ahlussunnah, Lek.”

Sekali lagi, entah Rozak dan Jailani paham atau tidak, aku tidak mengetahuinya secara pasti. Tapi nampaknya, mereka paham dengan apa yang kukatakan. Karena perkataanku bukan termasuk Kalam Naqish (kalam yang tidak sempurna) yang masih menimbulkan sebuah pertanyaan lantaran tidak bisa dipahami maknanya, tapi perkataanku termasuk dalam Kalam Tam (kalam yang sempurna) yang secara langsung bisa dipahami maknanya tanpa harus muluk-muluk.

Tidak ada tanda-tanda mereka yang menggambarkan dirinya paham terhadap apa yang kusampaikan tadi. Mereka berdua hanya diam saja sambil memeluk erat lututnya. Aneh bagiku, karena pagi ini suasananya tidak dingin. Justru tengah-tengah antara dingin dan panas.

Jam menunjukkan pukul 08.45 Wib. Artinya, sudah waktunya aku berangkat kuliah untuk menambah wawasan baru disertai dengan diskusi-diskusi kecil dengan para sahabat-sahabat pergerakan. Diskusi itu biasanya dikala pemakalah membuka sesi tanya jawab dan dilanjutkan di teras mushalla seusai kuliah.

Kutinggalkan mereka berdua di dalam kantor, aku berlalu begitu saja karena tidak ada tanggapan lagi dari mereka. Di halaman sekolah, Febri menanyakan tujuan kepergianku dan aku pun langsung menjawab mau lan-jalanan (jalan-jalan_Red). 



Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN