Keringanan Dalam Beragama Islam

Salman Akif Faylasuf, Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam Universitas Nurul Jadid Probolinggo
Islam adalah agama yang mudah dan sejalan dengan fitrah manusia. Allah SWT banyak menjelaskan dalam al-Qur’an tentang adanya kemudahan dan tidak ada pemaksaan untuk mengerjakan suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah fiqh mengatakan, “al-Musyaqqatu tajlibut taisiiri—Kesulitan akan mendatangkan kemudahan.”

Kehidupan manusia tidak akan lepas dari keadaan yang mengharuskannya melakukan pilihan-pilihan yang serba sulit dan dilematis. Hal ini pasti akan terjadi dalam dinamika kehidupan sehari-hari.

Hukum Islam bukanlah hukum yang ekstrem, ia memiliki elastisitas hukum yang disesuaikan dengan konteks permasalahan yang terjadi. Contohnya, ketika turun hujan. Biasanya percikan air akan bercampur dengan najis dan hal ini sangat sulit untuk dihindarkan. Namun, karena percikan ini timbul dari keadaan yang sulit untuk dihindari maka hukumnya dimaafkan.

Demikian juga dengan hal lain seperti darah bisul, lalat, jerawat adalah hal yang sangat sulit untuk dihindari karena kadarnya sedikit sehingga kondisi ini masuk kategori yang dimaafkan.

Kemudahan (at-Takhfif) dalam Islam yang diberikan oleh Allah SWT secara garis besar dimaksudkan dalam dua hal, yaitu: 

اَلْأَصْلُ (al-Ashl)

Pada asalnya Islam adalah agama yang mudah dan memang agama yang mudah. Salah satu contoh kemudahannya adalah salat wajib. Awalnya, umat Islam dibebani salat wajib sampai 50 waktu. Akan tetapi, akhirnya dimudahkan menjadi 5 waktu saja.

Kemudahan salat hanya 5 waktu nilai pahalanya sama dengan salat 50 waktu. Sebagaimana dalam sebuah hadits riwayat Bukhari no. 342 dan Muslim no. 163. Nabi Muhammad SAW bersabda:  

ففرض الله عز وجل على أمتي خمسين صلاة فرجعت بذلك حتى مررت على موسى فقال: ما فرض الله لك على أمتك؟ قلت: فرض خمسين صلاة، قال: فارجع إلى ربك فإن أمتك لا تطيق ذلك، فراجعت فوضع شطرها، فرجعت إلى موسى، قلت: وضع شطرها، فقال: راجع ربك فإن أمتك لا تطيق، فراجعت فوضع شطرها، فرجعت إليه، فقال: ارجع إلى ربك فإن أمتك لا تطيق ذلك، فراجعته، فقال: هي خمس، وهي خمسون، لا يبدل القول لدي، فرجعت إلى موسى، فقال: راجع ربك، فقلت: استحييت من ربي 

اَلطَّارِئُ (at-Thari’)

Keringanan yang datang karena suatu sebab. Selain keringanan yang secara asal telah melekat pada Islam, Allah SWT juga memberikan keringanan tambahan pada syariat-syariat tertentu karena adanya sebab-sebab tertentu.

Baca Juga :

Diantara bentuk keringanan tersebut adalah keringanan dalam menggugurkan suatu kewajiban Salat Jum’at bagi orang sakit, orang yang bepergian (musafir), dan budak. Kemudian ada orang miskin atau tidak mampu, mereka tidak diwajibkan menunaikan ibadah haji tapi wajib menunaikan Salat Jum’at.

Dalam perspektif fiqh sering ditegaskan bahwa setiap ada musyaqqah (kesulitan) akan mendapatkan rukhshah (keringanan), tetapi tidak semua orang bisa mendapatkan hal tersebut.

Salah satu kategori yang bisa mendapat rukhshah adalah ikrah (pemaksaan). Artinya, terpaksa yang dimaksud disini adalah menghendaki orang lain melakukan tindakan yang bertentangan dengan keinginannya, atau dalam defenisi lain menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan tertentu, sekaligus memberikan ancaman yang sangat mungkin untuk dijatuhkan sehingga orang yang dipaksa mengalami ketakutan.

Oleh karena itu, ulama ushul memberikan beberapa syarat tentang suatu pekerjaan yang dapat dikategorikan terpaksa. Pertama, pemaksa mampu merealisasikan ancamannya, baik melalui sarana kekuasaan atau intimidasi. Kedua, orang yang dipaksa tidak mampu menolak dengan cara apa pun. Ketiga, orang yang dipaksa menduga kuat jika dia menolak maka ia akan melaksanakan ancamannya. Keempat, objek paksaan adalah sesuatu yang diharamkan dan mengakibatkan kerusakan. 

Sementara kalangan Ulama Hanafiyah secara kualitatif membagi jenis paksaan dalam dua bentuk yaitu ikrah mulja’ dan ikrah ghairu mulja’.

Ikhrah Mulja’ adalah suatu paksaan yang tidak mungkin melepaskan diri dari ancaman. Jenis ancamannya berupa pembunuhan dan pemotongan tubuh. Sedangkan ikrah ghairu mulja’ adalah suatu paksaan yang seseorang dapat menghindarkan diri dari paksaan tersebut, dalam artian bukan paksaan dengan ancaman pembunuhan atau pemotongan anggota tubuh. Barangkali hanya dalam bentuk pemukulan, pemenjaraan, perampasan harta benda.

Kalangan Ulama Syafi’iyah lebih sederhana membagi ikrah kepada dua jenis yang mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda.

Pertama, ikrah bi al-haq (paksaan yang dibenarkan). Contohnya pemaksaan terhadap orang yang berhutang untuk menjual barang-barangnya agar dapat melunasi hutangnya.

Kedua, ikrah bi ghair al-haq (paksaan tanpa alasan yang benar). Dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu ikrah yang haram seperti membunuh dan berzina, kemudian ikrah yang mubah memaksa seorang merusak harta orang lain. 

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa objek paksaan dalam bentuk membunuh dan berzina tetap diharamkan apa pun kondisinya. Karena ini sangat terkait dengan memelihara jiwa dan keturunan. Berbeda dengan paksaan seperti merusak harta orang lain, meminum khamar dan memakan bangkai. Dalam hal ini keterpaksaan tersebut masih mendapat rukhshah. 

Tentunya, pelaksanaan rukhshah dalam kondisi tertentu memiliki batasan-batasan yang tidak boleh dilampaui. Ibaratkan kebolehan memakan bangkai dalam kondisi darurat, maka kebolehan itu hanya sekadarnya saja bukan sepuasnya. Sekadarnya hanya sampai bisa menanggulangi sedikit rasa lapar untuk bisa bertahan mencari makanan yang halal. Demikian juga dengan kasus-kasus yang lainnya. Ini senada dengan kaidah fiqh yang mengatakan “ad-Dharuuraatu tuqaddaru biqadarihaa—Keadaan darurat harus diambil seperlunya saja.”

Dalam QS. al-Baqarah ayat 185 Allah SWT berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ...الآية

Artinya: “Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. al-Baqarah: 185).

Contoh lain misalnya, bepergian atau melakukan perjalanan yang memang sudah merupakan suatu kebutuhan bagi manusia. Dalam keadaan tertentu terkadang perjalanan tersebut mengakibatkan kesulitan untuk melaksanakan kewajiban agama.

Pada dasarnya, kesulitan dalam perjalanan tidak menghilangkan kecakapan untuk berbuat hukum. Tetapi, syariat yang mulia ini memberikan kemudahan (rukhshah) dalam perjalanan.

Diantara kemudahan (rukhshah) dalam perjalanan adalah bolehnya mengqasar salat yang empat rakaat, boleh berbuka puasa (bagi yang berpuasa), boleh meninggalkan Salat Jum’at dan mengganti dengan Salat Dluhur, boleh memakan bangkai dan sesuatu yang diharamkan (apabila darurat), dan lain sebagainya.

Rukhshah adalah pembebasan seorang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum dalam keadaan darurat. Dengan sendiri hukumnya boleh. Baik mengerjakan yang dilarang maupun meninggalkan yang diperintah. Namun, dalam hal menggunakan rukhshah ulama berbeda pendapat.

Menurut jumhur ulama, hukum rukhshah tergantung kepada bentuk udzur yang menyebabkan adanya rukhshah. Dengan demikian, adakalanya rukhshah itu wajib, sunnah, makruh dan mubah, sesuai dengan kondisi seseorang pada saat mengalami kesulitan. 

Imam al-Syatibi menyatakan bahwa hukum rukhshah adalah ibahah (kebolehan) secara mutlak. Menurut Imam Syatibi, rukhshah adalah keringanan dan kelapangan yang diberikan dalam kesulitan, sehingga ada pilihan antara menggunakan atau tidak, sehingga ini adalah mubah.

Lanjut Baca : 

Kemudian, kalau menggunakan rukhshah tersebut diperintahkan, baik dalam bentuk wajib atau sunnah maka hukumnya akan berubah menjadi azimah; kehendak untuk mengokohkan, bukan lagi rukhshah. Karena hukum wajib itu merupakan keharusan yang tidak mengandung pilihan lain. Dengan demikian, berarti menghimpun perintah dan rukhshah dalam satu tempat ini tidak mungkin karena keduanya adalah dua hal yang berlawanan.

Jika dicermati adanya azimah dan rukhshah dalam hukum Islam sesungguhya adalah untuk memberikan kemaslahatan dan menghindarkan manusia dari kemudharatan yang merupakan tujuan pembentukan hukum Islam.

Pada kondisi normal bagi setiap mukallaf berlaku hukum azimah, tetapi pada kondisi-kondisi tertentu hukum azimah tidak menyampaikan manusia kepada tujuan hukum sehingga mukallaf harus menggunakan rukhshah sesuai dengan tingkat kesulitan yang dihadapinya. Dalam artian, rukhshah terhadap satu orang tidak bisa diberlakukan sama terhadap orang yang lain.

Pada prinsipnya, adanya rukhshah dalam setiap udzur yang ditemui bertujuan untuk mewujudkan maqasid al-syariah, dimana bertujuan untuk memelihara lima aspek pokok dalam kehidupan manusia yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. 

Jadi, azimah dan rukhshah memberikan kesimpulan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘aalamiin. Karena Allah SWT selalu memberikan kemudahan-kemudahan bagi hambanya dalam melaksanakan perintah-Nya apabila menemukan sebuah kesulitan.

Semua ini bermuara untuk mewujudkan maqasid al-syariah. Adanya rukhshah bagi yang kesulitan melaksanakan hukum dalam bentuk azimah merupakan wujud dari fleksibelnya hukum Islam, sehingga hukum Islam bukanlah hukum yang statis tetapi dinamis, sesuai dengan kondisi dan keadaan seseorang. Sehingga sesuai kaidah bahwa hukum dapat berubah dengan berubahnya waktu, tempat, keadaan dan niat.


Penulis: Salman Akif Faylasuf, Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam Universitas Nurul Jadid Probolinggo

Editor: Muhlas


Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN