Rukyatul Hilal dan Kesunnahan Makan di Hari Raya Idul Fitri

Ilustrasi, Melalui Rukyatul Hilal PBNU atau Lembaga Falakiyah PBNU menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari kamis tanggal 13 Mei 2021
Ramadan akan meninggalkan umat Islam sejak esok hari. Hal ini berdasarkan surat ketetapan yang dikeluarkan oleh PBNU tentang Ikhbar atau Pemberitahuan Rukyatul Hilal bil fi’li Awal Syawal 1442 H. Dalam surat keputusan tersebut, PBNU menetapkan sekaligus memberitahukan kepada warga nahdliyyin bahwa 1 Syawal 1442 H atau Hari Raya Idul Fitri jatuh pada Kamis 13 Mei 2021.

Keputusan tersebut bukan tanpa dasar. Tim Rukyatul Hilal PBNU atau Lembaga Falakiyah PBNU sejak Selasa 11 Mei 2021 M atau 29 Ramadan 1442 H sudah melaksanakan rukyatul hilal bil fi’li di beberapa lokasi yang telah ditentukan. Namun, Lembaga Falakiyah PBNU tidak berhasil melihat hilal.

Berdasarkan hal tersebut, akhirnya PBNU mengeluarkan surat ketetapan bahwa Hari Raya Idul Fitri atau 1 Syawal jatuh pada Kamis 13 Mei 2021.

Penetapan 1 Syawal atau Hari Raya Idul Fitri pada Kamis 13 Mei 2021 ini juga diputuskan oleh Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia melalui Sidang Itsbat yang disiarkan langsung di televisi Indosiar. 

Ketetapan tersebut membuat bulan Ramadan tahun sekarang genap umurnya menjadi 30 hari (istikmal). Yaitu, apabila hilal tidak terlihat maka menggenapkan bilangan bulan Ramadan menjadi 30 hari. Hal ini sesuai dengan sebuah sabda Nabi Muhammad SAW:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما
Artinya: “Berpuasalah kalian semua setelah melihat (hilal) dan berbukalah setelah melihat (hilal). Apabila penglihatan kalian semua tertutup mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah R.A).

Baca Juga : 

Dalam menentukan awal bulan Ramadan atau awal bulan Syawal—sabda Nabi Muhammad SAW, kita diperintahkan untuk melihat hilal secara langsung dengan mata kepala. Apabila penglihatan kita terhalangi oleh awan, maka kita diperintahkan untuk menggenapkan bilangan bulan Sya’ban ketika menentukan awal bulan Ramadan dan menggenapkan bilangan bulan Ramadan ketika menentukan awal bulan Syawal menjadi 30 hari.

Hal senada juga dijelaskan oleh Syaikh Muhammad ‘Ali as-Shabuni dalam kitabnya, Rawaai’ul Bayaan Tafsir Ayat al-Ahkaam Minal-Qur’an Juz 1 halaman 210-211. Dalam kitabnya itu beliau menjelaskan bahwa ditetapkannya awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal setelah melihat (dengan mata kepala) hilal walaupun hanya dilihat oleh satu orang yang adil atau bisa juga dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban atau Ramadan menjadi 30 hari.

Apabila menggunakan cara menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban atau Ramadan menjadi 30 hari, maka hal tersebut tidak perlu berdasarkan hisab dan ilmu nujuum (astrologi).

Menurut Syaikh as-Shabuni, dengan media hilal kita dapat mengetahui waktu-waktu berpuasa dan haji. Sebagaimana firman Allah SWT:

يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج...الآية

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah: Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji…” (QS. al-Baqarah: 189).

Oleh karena itu, kita harus bersandar pada rukyatul hilal dalam menentukan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal. Kemudian menurut jumhur, rukyatul hilal ini dikatakan cukup untuk menentukan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal walaupun hanya satu orang yang adil yang menyaksikan atau melihat (dengan mata kepala) hilal.

Tahun ini, sesuai dengan hasil ketetapan PBNU dan sidang itsbat umur Ramadan digenapkan menjadi 30 hari dan dalam hitungan jam, Ramadan akan melambaikan tangan pada kita. Ia akan pergi meninggalkan kita dan sebagai penggantinya adalah hari kemenangan.

Hari kemenangan ini merupakan hari dimana umat Islam menunaikan dengan tuntas seluruh ibadahnya di bulan Ramadan secara penuh. Hari dimana Allah SWT mengembalikan amal kebaikan, rasa bahagia pada hamba-Nya. Pun hari dimana Allah SWT mengampuni dosa-dosa hamba-Nya.

Disebut hari kemenangan karena memang pada awal bulan Syawal semua umat Islam tidak akan lagi bersusah payah menahan lapar dan dahaga (puasa); mulai dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Umat Islam pada awal Syawal ini bebas sebebas-bebasnya mengeksplorasi segala keinginannya, seperti bebas makan di waktu apa pun dan berapa pun porsinya.

Padahal, di bulan Ramadan umat Islam diatur ketat kapan ia harus makan dan minum dan kapan ia harus menahannya. Tidak seperti pada awal Syawal yang dengan bebas ingin makan dan minum kapan saja sesuai keinginan.

Namun, berbicara Ramadan tidak hanya persoalan menahan lapar dan dahaga saja, melainkan juga berbicara pendidikan karakter kepada seluruh umat Islam. Tapi, penulis tidak akan membahas hal ini lebih lanjut karena bukan ini yang ingin penulis tuangkan dalam tulisan kali ini.

Idul Fitri, ya Idul Fitri. Hari kemenangan itu disebut dengan Idul Fitri. Hari dimana seluruh sanak famili berkumpul dan menuntaskan rasa rindunya yang obesitas. Pada Hari Raya Idul Fitri ini pula, semua umat Islam saling bermaaf-maafan baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Ucapan minal ‘aaidiin wal faaiziin selalu diumbar dari lisan umat Islam pada Hari Raya Idul Fitri ini. Tak bisa secara langsung, umat Islam bisa mengucapkannya melalui media sosial, baik facebook, instagram, twitter, whatsapp, dan masih banyak lagi. Sehingga cara begitu itu dikenal dengan bermaaf-maafan secara online.

Bukan hanya talkshow dan seminar saja yang bisa dilaksanakan secara online, mengucapkan ‘Selamat Hari Raya Idul Fitri’ juga bisa dilakukan secara online dan ini bukan hanya terjadi di masa sekarang. Jauh sebelum internet bisa diakses seluruh manusia, cara begitu itu sudah dilakukan. Kalau sekarang menggunakan whatsapp, maka dulu menggunakan SMS.

Namun, dibalik kebahagiaan itu semua kita harus mengetahui dan melaksanakan apa saja perbuatan yang disunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW pada hari kemenangan atau Hari Raya Idul Fitri ini. Setidak-tidaknya mengetahui dan melaksanakan salah satu dari sekian banyaknya perbuatan yang disunnahkan.

Ilustrasi, merupakan kesunnahan bagi orang islam untuk menyantab makanan pada hari raya idul fitri
Pada Hari Raya Idul Fitri, umat Islam dihalalkan untuk menikmati makanan pada waktu yang diinginkannya. Selain itu, umat Islam juga diharamkan pada Hari Raya Idul Fitri ini untuk berpuasa.

Namanya juga hari kemenangan, hari yang perlu dirayakan atas puncak dari segala ibadah yang dilaksanakan selama bulan Ramadan. Oleh karena harus dirayakan, umat Islam tidak diperbolehkan untuk berpuasa. Bahkan haram hukumnya bagi umat Islam apabila berpuasa di Hari Raya Idul Fitri ini.

Sebagaimana bacaan yang dibaca oleh bilal setelah pelaksanaan Salat Idul Fitri bahwa pada Hari Raya Idul Fitri ini diharamkan bagi umat Islam untuk berpuasa. Justru pada hari kemenangan ini umat Islam dihalalkan untuk menikmati makanan.

..... إن يومكم هذا يوم عظيم وعيد كريم. أحل الله لكم فيه الطعام وحرم عليكم فيه الصيام

Artinya: “…… Sesungguhnya hari kalian semua ini adalah hari yang agung dan hari kembali yang mulia. Maka, Allah SWT menghalalkan bagi kalian semua untuk makan di hari ini dan Allah SWT mengharamkan atas kalian semua untuk berpuasa di hari ini.”

Jika pada Hari Raya Idul Fitri umat Islam diharamkan untuk berpuasa dan dihalalkan untuk makan, lalu kapankah waktu makan yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW pada hari kemenangan ini?

Dalam sebuah kitab Bulughul Maraam karya Ibn Hajar al-‘Asqalani halaman 105 hadits no. 4 dalam bab Salat Idaini dijelaskan bahwa Rasulullah SAW tidak keluar pada Hari Raya Idul Fitri sampai beliau makan dan beliau tidak makan di Hari Raya Idul Adha sampai beliau selesai melaksanakan Salat Idul Adha. 

وعن ابن بريدة عن أبيه قال: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يخرج يوم الفطر حتى يطعم ولا يطعم يوم الأضحى حتى يصلي) رواه أحمد والترمذي وصححه ابن حبان.

Artinya: “Dari Ibn Buraidah dari Abinya, ia berkata: Rasulullah SAW tidak keluar di hari Idul Fitri sampai beliau makan dan beliau tidak makan di hari Idul Adha sampai beliau selesai melaksanakan Salat Idul Adha.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dan shahih menurut Ibn Hibban).

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW sebelum melaksanakan Salat Idul Fitri, beliau makan terlebih dahulu. Namun, yang dimakan oleh Rasulullah SAW ini bukanlah makanan pokok, seperti gandum atau nasi jika di Indonesia, melainkan kurma.

Orang Indonesia apabila tidak mempunyai kurma untuk dimakan sebelum melaksanakan Salat Idul Fitri, maka bisa makan yang lainnya. Intinya, sebelum melaksanakan Salat Idul Fitri umat Islam disunnahkan untuk makan terlebih dahulu.

Beda halnya ketika Idul Adha. Pada Hari Raya Idul Adha, umat Islam tidak disunnahkan untuk makan terlebih dahulu sebelum melaksanakan Salat Idul Adha, justru umat Islam disunnahkan untuk makan setelah selesai melaksanakan Salat Idul Adha.

Jadi, waktu yang disunnahkan untuk makan pada Hari Raya Idul Fitri adalah sebelum melaksanakan Salat Idul Fitri. Apabila Idul Adha, waktu yang disunnahkan untuk makan adalah setelah selesai melaksanakan Salat Idul Adha.

Jangan sampai tertukar ataupun terbalik. Ingat baik-baik, ya. Hehehe.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 H. Taqabbalallaahu minnaa waminkum taqabbal yaa kariim. Minal ‘aaidiin wal faaiziiin. Mohon maaf lahir dan batin.



Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN