Edisi lanjutan KIAI ARGO, KIAI LANGIT YANG MEMBUMI (2)

Dr. H. Moh. Syaeful Bahar, M. Si, Ketua Dewan Pendidikan Kab, Bondowoso (Foto : Tim Kreatif).
Nampak Kiai Argo mulai menyalakan rokok kreteknya. Mulai menikmati diskusi kami pagi ini. Begitu pula dengan Cak Mamat dan Fadlan. Mereka bertiga nampak lebih menikmati hidup dibandingkan kami yang tak merokok hahaha.

“Para kiai kita sebenarnya telah mengajari kita dengan sempurna. Bagaimana seharusnya menerima ketentuan tuhan itu. Misal, para kiai kita, para orang tua-orang tua kita mengajarkan satu kalimat ‘nrima ing pandum’. Kalimat ini sangat sederhana, dan sudah turun temurun kita jaga dan sekaligus kita ajarkan pada anak-anak kita. Memang tidak memakai bahasa Arab, sehingga tak nampak berasal dari ajaran Islam. Dan karena itu pula seringkali disalahpahami oleh kelompok islam syariat. Mereka menuduh ajaran ini terlalu jabariah. Ajaran nriman ing pandum ini dianggap mengajarkan nilai kepasrahan dan membuat manusia menjadi terbelakang karena tak diajarkan tentang usaha dan iktiar,” sambung Kiai Argo.

‘Iya kiai, sayapun melihat seperti itu. Bagaimana sebenarnya?” tanya Pak Edi dengan semangat.

“Sebenarnya tak seperti tuduhan itu, jika kita memahami dengan benar. Ajaran ini sebenarnya menekankan pada beberapa aspek psikologis kita agar selalu tenang menghadapi keadaan. Bukan pasif. Justru ajaran nriman ing pandum ini mengajarkan kita untuk hidup dengan optimis dan realistis. Kita optimis menerima keadaan apapun sehingga kita tak pernah berhenti pada satu keadaan dan terus merencanakan kebaikan-kebaikan dalam kondisi apapun, dan pada saat yang sama kita selalu melihat kondisi yang ada sekarang sebagai realitas yang tak perlu kita kutuk dan caci. Denga konsep ini, tak akan ada kondisi psikologis seseorang dalam keadaan depresi. Padahal depresi ini adalah pintu masuk dari segala penyakit, baik penyakit hati (rohani) maupun penyakit fisik,”  jelas Kiai Argo.

“Maksudnya, jika kita depresi, fisik kita menjadi lemah karena sistem imun kita terganggu, dan juga karena depresi syetan akan semakin leluasa mengaduk-aduk hati kita agar was-was dan akhirnya berprasangka buruk pada ketentuan tuhan, apa begitu kiai?” sambungku.

“Benar Cong… begitulah,” jawab Kiai Argo pendek dan tegas.

“Betapa bahayanya depresi!” simpul pak Salam.

“Apa karena itu juga kiai, sehingga para dokter menyarankan agar kita tetap tenang dalam menghadapi virus corona meskipun tetap wajib waspada?” tanya Cak Mamat.

“Ya benar begitu,” Jawab Kiai Argo pendek.

“Mereka yang telah berhasil mengamalkan ajaran nriman ing pandum akan selalu bahagia. Akan selalu optimis dan selalu lapang dadanya. Mereka akan selalu menghitung setiap langkah dan tingkah lakunya. Ajaran ini juga mengajarkan tentang karma. Bahwa setiap yang kita lakukan akan kembali pada kita kembali. Maka, dengan ajaran ini, kita akan selalu membaca dan meyakini bahwa apapun yang menimpa kita saat ini adalah wujud dari apa-apa yang telah kita lakukan sebelumnya,” sambung Kiai Argo.

“Bukankah dalam Islam tidak ada ajaran karma kiai?” sanggah Kang Parmin.

“Karma yang saya maksud bukan karma sebagaimana yang sampean ketahui Kang. Sampean pasti menganggap karma itu sebagai balas dendam tuhan karena maksiat yang kita lakukan kan,” jelas Kiai Argo,

“Iya kiai, mosok tuhan balas dendam,” jawab Kang Parmin pendek.

“Bukan seperti itu. Tuhan dengan sifat maha adilnya telah mengatur keseimbangan begitu indah dalam kehidupan ini. Karma yang dimaksud saya adalah aturan tuhan yang berupa ketentuan-ketentuan dalam arti kata keseimbangan tersebut. Siapapun yang menanam benih kebaikan, dia akan dapatkan buah kebaikan itu, dan siapapun yang menanam benih keburukan, diapun akan memanen buah keburukan atas keburukannya,” jawab Kiai Argo.

“Mohon maaf kiai, saya ingin bertanya tentang pasrah. Apakah pasrah yang dimaksud adalah kita tak menilai ketentuan tuhan dengan semata-mata hanya memakai ukuran rasionalitas kita?” tanyaku kembali.

“Benar sekali. Jangan pakai akal semata sebagai ukuran akhirnya. Dahulukan prasangka baik pada Allah. Jika memakai akal, memakai rasionalitas kita dalam membaca ketentuan tuhan, pasti anda akan tersiksa. Kenapa begitu? Karena akal kita, rasionalitas kita, indera kita sangatlah terbatas. Bisa menipu. Coba anda ukur, semua indera kita ini ada batasannya. Mata kita hanya dapat menangkap kebenaran dalam bentuk visual, bentuk sesuatu, tapi tak bisa menangkap kebenaran rasa. Rasa hanya bisa diketahui melalui lidah dan mulut kita. Tapi lidah dan mulut tak bisa menangkap kebenaran warna sebagaimana yang bisa ditangkap oleh mata. Namun mata dan lidah tak bisa mengetahui kebenaran suara, hanya telinga yang bisa menangkapnya. Artinya apa, apapun alat indera kita, semuanya punya keterbatasan. Begitu pula dengan akal kita. Lalu buat apa kita menuhankan akal dan indera kita dalam menemukan kebaikan hidup ini?!” jelas Kiai Argo.

Subhanallah…. diskusi pagi yang mencerahkan.

 

Penulis : Dr. H. Moh. Syaeful Bahar, M. Si

Editor : Gufron

 

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN