Komedi Dunia yang Terbalik

Firmansyah Muhammad, Aktifis PMII, Alumni PKP IV PC LTN NU Bondowoso. (Foto : Tim Kreatif) 
Akhir abad ke-20, nama Rowan Atkinson mungkin menjadi nama yang sering diperbincangkan dalam kamus harian media sosial, seandainya ada waktu itu. Namun sayang sekali, media sosial masih belum menjamur keberadaannya, bahkan embrionya pun masih sulit ditemukan saat itu.

Sebelum terkenalnya nama Rowan Atkinson dengan peran Mr Bean, yang kelak nama itu melekat pada dirinya, ada nama Charlie Chaplin yang memerankan seni gerakan tubuh yang dapat membuat penonton yang menyaksikannya terpingkal-pingkal tertawa atau merekahkan senyuman di bibir mereka.

Arus dunia hiburan berkembang dengan begitu cepat, senipun demikian. Chaplin memerankan mimik wajah ditambah gerakan tanpa suara yang mampu menyihir pandangan mata dan seolah-olah kitapun terbawa ke dalamnya. Lain lagi dengan Mr Bean yang mampu menghibur pemirsanya dengan tingkah lakunya yang konyol.

Karena kekonyolan itulah, penontonnya pun terhibur dengan baik. Mereka tertawa lepas bahagia melihat bagaimana super konyolnya Mr Bean melalui siaran sitkom (sinema televisi komedi) di negeri Britania, negerinya Ratu Elizabeth itu. 

Di Indonesia, ada nama Dono, Kasino dan Indro yang dikenal sebagai Warkop DKI. Lelucon yang mereka sajikan dalam bentuk serial film yang berseri-seri, bukan berjilid-jilid, mendapatkan tempat di hati para pemirsanya.

Bahkan setiap lebaran atau liburan nasional, acara impor dari Britania dan ngelawak ala rombongan legenda warkop itu yang ditunggu-tunggu penayangannya. Seandainya bisa meminta kepada pemilik stasiun televisi, mungkin ia pun akan meminta sitkom dan film komedi itu ditayangkan penuh selama liburan.

Komedi selalu mendapatkan tempat di negeri ini. Komedi menjadi obat dari aktivitas yang menjenuhkan. Buktinya, setiap liburan serial komedi ditunggu-tunggu oleh pemirsanya.

Seni dan dunia hiburan terus berkembang dengan cepat, bersamaan dengan menjamurnya dunia industri yang juga merambah dunia seni dan hiburan. Karena dunia industri telah menanamkan akarnya di dunia hiburan, kualitas grafis, audio dan lain-lainnya pun bertambah baik pula.

Seiring bertambah baiknya kualitas grafis atau teknologi, tapi tidak dibarengi dengan kualitas komedi di dalamnya, membuat orang-orang lebih memilih hiburan yang jauh daripada hiburan itu sendiri, walaupun orang itu merasa terhibur dengan yang bukan hiburan itu.

Mudahnya arus komunikasi dan informasi yang begitu masif, membuat masyarakat kehilangan hiburannya seperti pada akhir abad ke 20. Televisi sudah tidak berimbang dengan arus komunikasi dan informasi lainnya. Ia jauh kalah telak dengan media sosial yang kian hari; kian besar dan kian lebih cepat daripada televisi.

Medsos adalah hiburan masyarakat masa kini. Dari medsos pula masyarakat dapat terhibur, bahkan terpuaskan hasrat hatinya. Karena bermain media sosial sama seperti Student Center dalam dunia pendidikan. Lebih atraktif, lebih interaktif dan lebih komunikatif. Jauh meninggalkan televisi yang hanya sebagai objek.

Televisi yang digerus perannya oleh media sosial, pun demikian pula dengan hiburan dan kepuasan hati seseorang. Komedi sudah tidak lagi menjadi trend dunia hiburan sejak kalahnya Ahok di pilkada 2017 lalu. 

Saling serang ternyata lebih mendapatkan hati di masyarakat maya. Bela dan membela lebih daripada sekadar terhibur, melainkan kepuasan hatinya pun dapat termanifestasikan di media yang lebih interaktif ini.

Komedi sudah tak mendapatkan tempat, sedangkan hiburan adalah kebencian itu. Mungkin suatu hari nanti, kebahagian tidak digambarkan lagi dengan tertawa, kebesaran hati tidak lagi tergambarkan sebagai orang yang menerima.

Bisa saja suatu hari nanti kebahagiaan adalah mereka yang mengerutkan dahinya, sedangkan kebesaran hati adalah mereka yang tak berbangga hati bersama orang yang berbeda dengan dirinya.

Yuk, kita bersama-sama tertawa sebelum tertawa itu dilarang dimana-mana.


Penulis : Firmansyah Muhammad

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN