Ramzan Akhmadovich Kadrov, Kiai Selang dan Negeri Para Pecinta Rasulullah SAW

Syaeful Bahar, Dosen FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

Pagi ini Mak Yam tak menyuguhkan kopi arabika seperti biasanya.

“Ini bukan kopi, ini jamu ya?” kata Fadlan dengan wajah kecewa.

Hehehe. Diantara para jamaah, Fadlan adalah sosok yang paling fanatik ke kopi arabika. Semua inderanya, terutama saraf penciumannya sangat sensitif pada aroma kopi. Kopi dan rokok adalah kenikmatan utama bagi Fadlan, tak ada yang lain. Hanya dua itu, kopi dan rokok. Pada suatu kesempatan, Fadlan menyatakan dengan jujur, bahwa bergabungnya dia dalam jamaah diskusi ba’da subuh tak ada motif apa-apa selain memburu kopi Mak Yam dan ngampung rokoknya Cak Mamat hahaha. Pengakuan jujur yang sekarang menjadi barang langka di negeri ini.

Fadlan bukan orang yang beruntung. Dia tidak pernah mengenyam pendidikan dengan baik. Begitu juga dengan pendidikan agama, dia juga tak memiliki kesempatan yang baik. Keterbatasan pada fisiknya membuat dia pernah diperlakukan tak adil. Kehidupan Fadlan sangat rentan, dia pernah salah memilih teman sehingga terjebak pada kehidupan yang gelap.

Beruntung, di masa dewasanya Fadlan sadar. Hubungan dengan dunia gelap dia tutup rapat-rapat. Pergaulannya berubah, dia lebih senang bersosialisasi dengan anak-anak muda di kampung. Termasuk salah satunya di jamaah diskusi ba’da subuh kami.

Bahkan, berbagai persoalan yang terkait kenalan remaja seringkali diselesaikan oleh ide cerdas Fadlan. Fadlan seringkali tampil sebagai pahlawan. Fadlan menjadi pemecah kebuntuan. “Yang lain gak usah ikut campur, biar saya yang tangani, kenakalan mereka tak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang pernah saya lakukan, saya tahu cara menyelesaikannya. Mereka hanya butuh diakui eksistensinya, mereka hanya butuh diperhatikan, tak lebih dari itu. Cukup bekali saya dengan rokok, pasti saya selesaikan,” begiru kira-kira bahasa yang sering Fadlan ucapkan setiap ada permasalah kenakalan remaja di kampung kami.

Secara teoritik apa yang disampaikan oleh Fadlan benar. Setiap individu pada hakikatnya selalu berusaha menuntut diperlakukan sama. Ini yang dinamakan Thymos, yaitu perasaan akan diri yang bermartabat dan sehingganya, sebuah pengakuan atas posisi diri senantiasa muncul dari setiap individu. Tuntutan untuk diposisikan sejajar dengan orang lain dan serta juga dihormati dinamakan Isothymia. Sedangkan perasaan dan keinginan untuk diakui dan diperlakukan lebih unggul dari orang lain dinamakan Megalothymia. Megalothymia ini yang sangat berbahaya. Menurut Francis Fukuyama, manusia modern adalah contoh sempurna dari praktik dan perilaku Megalothymia. Mereka saling terkam, saling menghancurkan dan saling memposisikan diri sebagai kelas yang “ter” dibanding kelas lain. Inilah potret “manusia tanpa dada”, manusia tanpa nurani, sebagaimana tuduhan Nietzsche.

Lihat saja Donald Trump, lihat saja Xi Jinping di Tiongkok maupun Putin di Rusia. Semua menebar idiologi kebencian hanya untuk sekadar mempertahankan diri sebagai kelompok yang superior atau merebut superioritas kelompok lain, dan tak peduli, bahwa konflik memperebutkan posisi superior itu telah merusak tatanan kehidupan global. Lihat saja, bagaimana Negara-negara besar tersebut mensponsori perang-perang saudara dibeberapa negara berkembang. Sungguh biadab dan mengerikan.

Kembali ke kopi Mak Yam yang bukan kopi arabika.

“Ini namanya pokak, ini memang paduan dari berbagai rempah dapur, ada jahe, serih, kayu manis, sedikit daun sirih dan gula jawa. Biasanya memang disuguhkan di keluarga Arab di Kampung Arab. Rasanya memang pedas Fad, tapi ini menyehatkan,” jelas Pak Edi.

“Jih, saya boleh membuka diskusi pagi ini?” lanjut Pak Edi.

“Silahkan Pak,” jawab saya pendek.

“Saya sangat mengidolakan presiden Chechnya, Ramzan Akhmadovich Kadrov. Selain tegas, pandai, soleh dan dia juga sangat mencintai Rasulullah SAW. Banyak sekali acara Maulidirrasul yang dia hadiri di negerinya. Acaranya tak kalah dengan acara Maulid kita di Indonesia, meriah dan megah. Luar Biasa. Saya beberapa kali menonton video dia sedang menyelenggarakan acara maulid nabi, benar-benar menggetarkan jiwa,” sambung Pak Edi.

“Benar, Presiden Republik Chechnya memang sosok yang sangat eksentrik, namun sangat berkharisma dan berwibawa. Tak heran jika rakyat Chechnya sangat mencintainya, seperti mereka mencintai ayahnya, Akhmad Kadyrov, yang tewas dan menjadi syuhada setelah dibunuh kelompok radikal,” sahutku singkat.

“Dibunuh?” tanya Pak Edi dengan serius.

“Iya, ayahnya, pemimpin Chechnya yang dibunuh oleh kelompok Islam Garis keras. Kelompok Islam yang tak ingin Chechnya damai dan terus berhubungan dengan Rusia. Kelompok ini ditengarai berhubungan dengan kelompok-kelompok garis keras lain di Timur Tengah. Sebagian pengamat mengatakan bahwa kelompok garis keras ini dibiayai oleh musuh-musuh Rusia. Tuduhan itu tertuju ke dunia Barat, Amerika dan Eropa. Persis sama dengan modus yang dilakukan oleh Amerika dalam membiayai ISIS atau Al Qaedah di awal-awal kelahiran Al Qaeda dan ISIS. Dengan memanfaatkan konflik yang ada di Timur Tengah, dan memanfaatkan ideology serta aqidah Wahabi yang keras, Amerika dan Eropa membakar perang saudara di Timur Tengah. Tapi ini hanya sekadar kata pengamat ya, kejadian sebenarnya wallahu a’lam,” jelas saya panjang lebar.

“Wah mengerikan ya? Konflik politik hingga saling bunuh,” sela Mas David.

“Iya, ketika konflik politik itu dibungkus dengan agama, apalagi ideologi dan aqidah yang dipakai sebagai manhajnya adalah ideologi dan aqidah keras seperti Wahabi-Salafi, maka hukum takfiri, saling mengkafirkan, menjadi alat legitimasi untuk saling serang dan bahkan saling bunuh. Ini cara membunuh yang sangat berbahaya, kenapa? Karena mereka tak merasa bersalah dan berdosa. Mereka membunuh dengan suka cita dan bangga. Mereka meyakini membunuh adalah panggilan agama, membunuh dengan maksud melakukan ibadah membela agama. Sangat mengerikan,” jelas saya lebih lanjut.

“Kita harus merasa beruntung hidup di Indonesia bukan di Chechnya atau di Timur Tengah. Kenapa? Karena kita diajarkan oleh para kiai kita untuk hidup damai. Para kiai kita mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan dan berpegang pada satu prinsip bahwa perbedaan adalah qadratullah. Perbedaan adalah kehendak Allah. Kewajiban kita sebagai umat Islam adalah mengajak dan memperkenalkan Islam, bukan memaksa orang lain beragama Islam. Agama itu wilayah prerogatif Allah, itu urusan Allah, namanya hidayah. Karena keyakinan ini, akhirnya para kiai kita mudah saja berdampingan dengan siapapun meskipun ada perbedaan yang sangat mendasar di antara mereka, misal berbeda agama, tak masalah,” sambung saya.

“Apa karena itu juga para kiai kita kadang berteman dengan anak-anak nakal, orang-orang pinggiran, bahkan dengan para ahli maksiat Ji? Semisal Gus Mik Kediri yang dulu dikenal sering keluar masuk diskotik?” tanya Mas David Penasaran.

“Ya betul,” jawab saya.

“Begitu juga Kiai As’adSyamsul Arifin dan Kiai Sofyan Miftahul Arifin. Beliau berdua tanpa lelah terus mengajak masyarakat untuk cinta pada Rasulullah saw. Tanpa harus melalui seleksi, apakah yang diajak tersebut telah benar melaksanakan syariah atau tidak. Tak jarang loh, di antara santri beliau berdua awalnya adalah pelaku kejahatan kelas kakap. Pernah dengar namanya Kiai Selang di daerah Prajekan?

Dia perampok kelas kakap. Penjahat berdarah dingin. Tapi dengan metode dakwah Kiai Sofyan akhirnya dia bertaubat dan akhirnya menjadi santri kesayangan Kiai Sofyan. Apa yang dilakukan kiai, terus mengajak Kiai Selang untuk mencintai Rasulullah saw. Diajak dibaan dan sholawatan. Itu saja. Mungkin hanya di Indonesia, orang-orang yang gak sholat, gak puasa, orang bertato, orang suka mabuk, orang-orang yang berlumuran maksiat tetap senang sholawatan. Lihat saja, panitia maulid yang di desa-desa itu, selalu didukung oleh semua lapisan masyarakat, bahkan oleh kelompok maling sekalipun hehehe, kenapa? Karena mereka tak ingin disebut sebagai umat Nabi Muhammad hehehe,” jelas saya lebih lanjut.

“Apa ini yang diceritakan oleh Al Habib Sayyid Alawi al Maliki Mekkah Ji? Ketika beliau bermimpi bertemu Rasulullah saw. Lalu Rasulullah menceritakan kebanggaannya pada ummat Islam Indonesia yang sangat mencintai Rasulullah saw?” tanya Kang Parmin.

“Benar Kang! Dalam mimpi tersebut Rasulullah menyebut kita, muslim Indoensia yang sangat mencintai beliau dalam jumah terbesar di dunia.” jawab saya singkat.


Penulis : Syaeful Bahar, Dosen FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya 

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN