MELESET

Abduh, Alumni PKP IV - PC LTN NU Bondowoso. (Foto : Tim Kreatif) 

Meleset. Satu kata, beragam makna. Bisa kontekstual sesuai fungsi dan tempatnya.

Meleset sudah pasti tidak tepat sasaran. Sudah pasti tidak sesuai bidikan. 

Diumpamakan dengan berburu, seorang hunter sejati tahu apa yang harus ia tembak. Sesuai apa yang divisikan sejak di rumah sebelum masuk hutan. 

Ketika ingin berburu kijang, maka sesampainya di hutan ia tidak mungkin berburu yang lain. Kalau pun mendapat buruan semacam babi hutan, itu masuk ketegori meleset, karena tidak sesuai dengan apa yang diniatkan sejak dari rumah.

Soal inspirasi tembak-menembak, barangkali harus belajar dari bintang film Hollywood, Clint Eastwood. Clint adalah Cowboy dengan bidikan tembak ber-skill dewa.

Film-film cowboy yang diperankannya, seperti A Fistful of Dollars (1964), Unforgiven (1992) yang pernah dibintanginya, meraih penghargaan Academy Award, Pale Rider (1985).

Pada konteks yang lain, kita perlu belajar dari Donald Trump. Ia termasuk Presiden Amerika Serikat yang telah menunaikan janji politiknya saat kampanye. Sekalipun tidak sedikit yang membenci dirinya.

Tapi, sekaliber Trump adalah sosok presiden Amerika yang bisa dibilang amanah dalam memimpin AS. Ia tunaikan sebagian besar janji politiknya. Antara lain: membangun tembok dan memotong pajak serta membuat 25 juta lapangan kerja, membatasi orang Islam di AS dan membatalkan Obama Care (Dahlan Iskan, 2020).

Trump selalu tampil gigih dalam menjalankan amanah yang ia pegang. Memaksa membangun tembok perbatasan dengan Meksiko dengan angka keberhasilan 85%. 

Meskipun program tersebut mendapat hambatan dari DPR Amerika, karena dikuasai oleh oposisi, tapi tidak menjadi penghalang bagi Trump untuk menunaikan janjinya. 

Satu demi satu janji-janji Trump terlaksana dengan apik. Epic sekali pemotongan pajak dari 35 persen menjadi 21 persen. Hal itu capaian yang luar biasa dilakukan Trump. 

Masih banyak catatan keberhasilan Trump saat memimpin. Walaupun ia harus penyok menghadapi pandemi Covid-19 dan tercatat tidak maksimal dalam menghadapi Corona itu.

Sekalipun Trump gagal pada Pemilu AS 2020, penting untuk dicatat adalah kesesuaian janji saat kampanye yang tersublim rapi pada kebijakan yang ia keluarkan.

Trump bisa saja, dalam konteks politik, kita sebut dengan konsisten, sesuai dengan visi-misinya. Tapi dalam konteks yang lain, ia benar-benar seperti Rambo, yang mampu membidik tembakannya dengan baik tanpa meleset. Ya, tanpa meleset.

***

Seringkali, manusia kesulitan memetakan fakta dan realita, de facto dan de jure. Padahal, lama sudah Louis O Kattsoff (2004: 49) telah menjelaskannya panjang lebar dalam buku pengantar filsafatnya. Sehingga perlu lagilah kita memahami materi kuliah mahasiswa semester awal itu.

Misal, melihat deskripsi singkat tentang seorang pemburu di atas. Fakta ia berhasil mendapat buruan babi hutan, itu benar walau realitanya ia meleset dari niat awal yang ingin memburu kijang.

Gambaran sederhana ini barangkali membenarkan Donald Trump dengan fakta dibenci sebagian besar dunia Islam, serta nyungsep menghadapi pandemi Covid-19. Namun realitanya, ia berhasil membuktikan janji kampanyenya di AS.

Kadang realita bersifat dhonni dalam kehidupan kita. Tapi, tidak dengan fakta. 

Bahkan sering kali orang lebih tertarik membentuk tim pencari fakta bukan tim pencari realita. Walaupun fakta kerap kali berdiri di atas realita, tapi fakta tak seutuhnya bisa jadi benar. Karena kebenaran fakta bisa saja karena menyembunyikan realita. Dan realita bisa saja menjadi antithesa yang bisa melahirkan fakta- fakta baru.

Saya jadi teringat dengan buku Kolom Demi Kolom-Mahbub Djunaidi (2018: 38), yang di dalamnya mengutip tulisan Catatan Pinggir (Caping)-nya Goenawan Muhammad tentang orang Jerman (Ras Arya).

Faktanya, orang Jerman tergambar kuat di bawah tangan dingin Adolf Hitler. Rupanya, ini mengandung realita yang cukup unik, yaitu seperti serigala yang sukanya main keroyokan. Mereka bukan jenis orang Inggris yang bersimbolkan singa dan terkenal sangar di negera jajahannya.

Ini amsal terakhir. Banyak fakta guru memberi nilai 90 (A) kepada muridnya, dengan realita si murid belum memahami pelajaran dari gurunya tersebut. Lalu mana yang terpenting? Penghargaan? Nilai? Atau pemahaman terhadap pelajarannya?

Disinilah meleset bisa ditemukan dengan realita. 

(Graha Pergerakan Bondowoso, 18 Nov 2020)


Penulis : Abduh, Alumni PKP IV - PC LTN NU Bondowoso

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN