Pernak-Pernik Maulid dan Kiprah Ulama di Negeri Piramid

Suasana peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1441 H di Zawiah Tarekat Naqsyabandiah
SASC NU Mesir_Rabiul Awal merupakan salah satu rangkaian bulan dalam sistem penanggalan hijriah. Bukan hanya bagi umat Islam di Nusantara, saya perhatikan hampir seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia akan menyambut kedatangan bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW ini dengan penuh khidmat dan rasa syukur. Tak terkecuali di Mesir yang dijuluki sebagai Bumi Kinanah atau Negeri Piramid. 

Negara yang terletak di kawasan Timur Tengah ini menjadi pilihan penulis untuk mendalami ilmu agama. Alasan penulis melanjutkan jenjang studi pendidikan di negeri ini lantaran selain masyhur dengan kekayaan peradaban kunonya, Mesir juga dikenal memiliki instansi pendidikan Al-Azhar sebagai benteng ajaran Islam Ahlusunah wal Jamaah. 

Konsistensi serta kiprah Al-Azhar dalam menebar wacana moderatisme Islam terbukti ampuh di tengah gempuran doktrin destruktif kalangan ekstremis dan radikalis. Kedua paham yang cenderung merusak citra Islam itu sering kali menggunakan interpretasi yang serampangan demi melegitimasi aksi-aksi kekerasan mereka. 

Al-Azhar pun lantas merespon lewat gagasan Islam Rahmatan lil 'Alamin berdasarkan corak bangunan argumentasi dalil yang kokoh dan otoritatif sekaligus sejalan dengan nafas perkembangan zaman. Pendekatan dakwah melalui aspek budaya pun tak luput dari perhatian utama para ulama Al-Azhar.

Prof. Dr. Zaki Najib Mahmud, tokoh intelektual dan guru besar filsafat Universitas Kairo mengatakan: 

"… Tibalah peradaban Islam, setiap muslim pasti mengetahui peranan Mesir sebagai benteng peradaban Islam. Andaikan tidak ada peranan Al-Azhar (dalam penjagaan warisan intelektual muslim), khususnya di masa abad kedua belas, tiga belas, empat belas dan lima belas, niscaya kita tidak akan menemukan term at-Turats al-Arabi al-Islami. Dari mana kita akan mendapatkannya (at-Turats al-Islami al-Arabi) padahal di waktu itu pasukan Tar-tar (telah menyerang Baghdad sekaligus) membakarnya (berikut seluruh sumber literatur ajaran Islam), sedangkan di Andalusia (warisan intelektual Islam) pun telah sirna di tangan para pemberontak? Akan tetapi (Mesir lewat peranan) Al-Azhar membaktikan diri dalam menghimpun (warisan intelektual ulama salaf) sebelum hilang ditelan masa. Lantas dihimpunnya, (empat abad sebelumya) merupakan kiprah masa-masa pengumpulan, akan tetapi (lagi-lagi) bukan sekadar menghimpun. (Peran Al-Azhar) menghimpun sekaligus di dalamnya terdapat (penjagaan) eksistensi berikut kontekstualisasi (warisan turats umat Islam)." [Sumber : Grand Syekh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad at-Thayyib, al-Manahij al-Azhariah, Saqifat al-Safa Trust, Labuan-Malysia, 2019/1440 H, hal. 19-20]

Sebagai instansi keagamaan dan keilmuan terkemuka, Al-Azhar turut berperan aktif dalam mengakomodir dan melestarikan khazanah lokal masyarakat muslim Mesir. Salah satunya tradisi memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi, seorang pemimpin Dinasti Mamalik Mesir. Shalahuddin merupakan sosok sultan yang memegang teguh ajaran Ahlusunnah wal Jamaah. 

Syahdan, dialah yang pertama kali mengubah dan menyusun kurikulum pendidikan Al-Azhar sebagai benteng utama ajaran Sunni. Ia juga yang kabarnya menginisiasi perayaan maulid secara masif di seluruh pelosok daerah Mesir. Tujuan awal yang diharapkan oleh Shalahuddin dalam peringatan Maulid Nabi kala itu adalah untuk membangkitkan semangat patriotik pasukan muslim saat berada di medan perang Salib.

Tradisi Pembacaan Sirah Nabi, Ekspresi Kecintaan dan Peran Ahlul Bait

Pada dasarnya, tradisi umat Islam di Mesir menyambut kedatangan momen maulid Rasul di setiap tahunnya hampir mirip dengan cara yang dilakukan oleh rata-rata penduduk muslim Nusantara. Kaum muslim di Negeri Piramid merayakan maulid dengan aktivitas pembacaan sekaligus kajian sirah Nabi Muhammad SAW. 

Jika peringatan maulid Nabi di Tanah Air biasanya diisi dengan pembacaan kitab maulid dan shalawat yang beragam, semisal Barzanji, ad-Diba'i, Simtu ad-Durar, atau ad-Dhiya' al-Lami', justru di Mesir kita akan menemukan banyak majelis yang serentak membacakan kitab asy-Syamâil al-Muhammadiyyah. Kitab gubahan Imam at-Turmudzi (wafat tahun 279 H) ini menghimpun keutamaan-keutamaan sifat dan akhlak mulia Rasulullah SAW. 

Tepat tanggal 12 Rabiul Awal, para ulama, pelajar dan masyarakat berbondong-bondong menghadiri majelis peringatan maulid yang bertempat di beberapa masjid, madhiafah (sejenis surau), atau zawiah tarekat tertentu. 

Pusat perayaan Maulid Nabi di Kairo biasanya dilakukan di masjid Al-Azhar. Rentetan acara dalam momen tahunan ini diawali dengan pembacaan sekaligus khataman kitab, ijazahan sanad, dan pembacaan salawat Nabi. Acara perayaan maulid lalu dipungkasi dengan ceramah agama serta pembacaan doa oleh ulama sepuh.   

Di sisi lain, tradisi peringatan Maulid di Mesir memang tidak semeriah yang dilakukan oleh masyarakat muslim Tanah Air. Jika di beberapa daerah di Nusatara perayaan Maulid jamaknya diperingati setiap malam selama bulan Rabiul Awal, di Mesir suasana meriah peringatan Maulid hanya akan kita temukan pada malam kedua belas saja, sebagaimana disinggung di atas. 

Akan tetapi, bukan berarti mereka tidak memiliki kecintaan yang mendalam terhadap sosok Kanjeng Nabi beserta keluarganya. Tradisi mengekspresikan bentuk cinta kepada Nabi akan kita temukan dalam aktivitas keseharian penduduk Mesir. 

Ajakan untuk bersalawat tersebar di beberapa lukisan sudut tembok rumah sampai tempelan stiker kaca mobil. Seringkali kita juga akan mendengar ungkapan, "Shallû 'alâ al-Habîb, Shallû 'alâ Sidnâ Rasûlillah, atau Madad Yâ Sidnâ al-Husein" yang spontan muncul dari lisan penduduk Mesir di tengah-tengah keramaian atau kemacetan lalu lintas. Tujuannya tentu untuk mencairkan situasi dan meredam emosi yang mungkin saja timbul dari dua belah pihak yang tampak sedang bersitegang. 

Di samping itu, ekspresi kecintaan masyarakat Mesir terhadap ajaran Rasulullah SAW beserta keturunan dan para sahabatnya tercermin lewat semangat literasi dalam mengkaji warisan ulama salaf. Minat baca penduduk Mesir dinilai cukup tinggi, hal itu menggambarkan antusias mereka terhadap warisan intelektual ulama sebagai penyambung lisan ajaran Nabi SAW. 

Peringatan maulid yang diisi dengan pembacaan sekaligus khataman kitab asy-Syamâil al-Muhammadiyyah merupakan bukti konkret antusiasme keilmuan dan keagamaan penduduk Mesir. 

Selain kitab sirah gubahan Imam at-Turmudzi, terdapat satu kitab lagi yang biasanya dibacakan dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, yakni kitab asy-Syifâ bita'rîf huqûq al-Mushtafâ. Kitab karya al-Qadhi Iyadh (wafat tahun 544 H) ini juga berisi himpunan riwayat keutamaan sifat-sifat berikut kisah kemulian hidup Kanjeng Nabi SAW. 

Nizam Noor Hadi, Pegiat SASC (Said Aqil Siradj Center) NU Mesir (Foto : Tim Kreatif) 
Penulis berkesempatan menyimak pembacaan kitab ini di bawah bimbingan Prof Dr Fathi Abdullah al-Hijazi, guru besar ilmu gramatika dan sastra Arab Universitas Al-Azhar, Kairo.

Peranan ulama yang masih memiliki garis keturunan Nabi SAW dalam menjaga eksistensi dakwah dan warisan intelektual generasi salaf di Mesir pun tampak cukup dominan. Selain aktif mengajar, mereka juga banyak berkiprah dalam urusan kemaslahatan umat. 

Saya pun turut menyaksikan, kenyataannya banyak dari pengajar di masjid Al-Azhar sejatinya adalah seorang Sayyid atau Habib (gelar yang disematkan kepada keturunan Sayyidina Hasan dan Husein—radliyallahu 'anhum). Akan tetapi mereka seolah tidak fanatik terhadap anugerah nasab yang diperolehnya. Mereka lebih fokus terhadap aktivitas keilmuan sekaligus mendorong kemajuan serta kesejahteraan masyarakat. 

Sebut saja, Grand Syekh Al-Azhar saat ini, Prof Dr Ahmad at-Thayyib yang nasabnya bersambung sampai Sayyidina Hasan. Atau Habib Ali al-Jufri, seorang ulama ensiklopedis dan dai kondang yang merupakan keturunan Sayyidina Husein. 

Demikian pula guru tarekat penulis, Dr Muhammad Najmuddin al-Kurdi. Beliau merupakan cucu dari pengarang kitab Tanwîr al-Qulûb, Imam Muhammad Amin al-Kurdi yang konon nasabnya bertemu sampai Sayyidina Hasan. Kiprah ulama yang masih tergolong ahlulbait ini sangatlah berpengaruh terhadap eksistensi tradisi lokal masyarakat Mesir, seperti halnya perayaan Maulid Nabi SAW. 

Sejatinya, ekspresi kecintaan masyarakat muslim di Mesir ataupun di Nusantara terhadap Nabi SAW lewat tradisi peringatan maulid merupakan implementasi dari QS Yunus ayat 58, yang artinya : "Katakanlah (Muhammad), Dengan karunia Allah beserta rahmat-Nya, hendaknya dengan itu semua mereka bergembira." Wallahu a'lamu bi ash-Shawâb, shallû 'ala Sayyidina Rasulillah. (*)


Penulis : Nizam Noor Hadi, Pegiat SASC (Said Aqil Siradj Center) NU Mesir

Editor : Sholahudin Al Ghazali

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN