Renungan Maulid (1) : Memaknai Keindonesian Kita

Luthfi Khoiron Djauhari, Alumni PP Al- Ustmani Beddian, Jambesari (Foto : Kreatif)

Bumi dan langit. Konon keduanya adalah satu, dipisahkan, hingga menjadi dua entitas berbeda. Bumi berhubungan dengan hal-hal horizontal, kemanusiaan, konkret dan profane. Sedangkan langit bersifat vertikal, ketuhanan, abstrak dan suci

Sebelum dipisahkan, tak ada hujan dari langit, pun tak ada tumbuhan di bumi. Pemisahan itu melahirkan sinergi dan harmoni. Lalu Allah swt memberi kehidupan pada keduanya, kehidupan langit dan bumi. Kemudian beraneka rupa makhluk hidup diciptakan.

Setiap ciptaan dibekali chips dan software yang mencirikan dari selainnya. Begitu pula manusia. Allah swt menanamkan sebuah piranti khusus (disebut fitrah), yang menjadikannya makhluk paling istimewa, serta memuliakannya dengan tugas ganda. Selain memiliki tugas kemakhlukan, sebagaimana makhluk lain, manusia juga mengemban tugas kehambaan. Oleh karena itu, ia terikat oleh norma dan aturan, yang disebut syariat.

Fitrah manusia, sering disebut akal sehat, berfungsi mengenali norma-norma dan aturan-aturan, memandu, juga memberi rambu-rambu. Ini menunjukkan, syariat Tuhan telah ditanamankan dalam fitrah manusia, meski tidak seluruhnya. 

Ada pula aturan yang disampaikan melalui sistem mediasi ketuhanan, yang kita sebut risalah. Pesan-pesan langit dan wahyu Tuhan disampaikan melalui utusan-utusan-Nya. Oleh karena itu, para nabi adalah sosok-sosok manusia suci, sebab mewakili dimensi langit dan bumi. 

Itu berarti aturan Tuhan ada yang ditanamkan dalam fitrah manusia, ada juga yang diwahyukan melalui para nabi yang suci. Dengan demikian, akal sehat harus diterima sebagai sumber wahyu relatif, seperti halnya para nabi sebagai manusia-manusia suci pemegang wahyu mutlak. Faktanya, agama memang diperuntukkan bagi orang-orang berakal. 

Akal yang dimaksud bukanlah ‘pikiran’. Sebab kata العقل (akal pikiran) tidak akan pernah kita jumpai di dalam al-Quran. Narasi yang digunakan untuk menyebut kata ‘akal, atau pikiran’ selalu dalam bentuk fi’il, kata kerja. Tidak ada dalam bentuk isim, kata benda. Sehingga ‘akal’ harus dimaknai sebagai sebuah aktivitas berpikir, mengikuti fitrah. Bukan bendawi. Bukan sebentuk otak.

“Akal adalah sesuatu yang dengannya Tuhan disembah dan surga diperoleh,” demikian definisi akal dalam sebuah riwayat.

Definisi ini memberi kesimpulan, bahwa kesadaran tentang wujud Tuhan dan kewajiban menaati aturan-aturan yang ditetapkan oleh-Nya telah tertanam dalam diri manusia. Akal sehat menerima itu sebagai sesuatu yang rasional. Tidak ada manusia yang mengingkari wujud-Nya nan Mahamutlak, kendati pun ia seorang atheis. 

Menolak akal sebagai pedoman, dengan dalih mencukupkan diri pada Kitab Suci semata, justru menodai anugerah akal sehat. Begitu pula, menolak kesucian mutlak para nabi, berarti menganggap manusia sebagai produk gagal seluruhnya. Sebab jika tidak ada manusia sempurna, berarti teladan agama tidak pernah ada. Karena tidak mungkin, Allah swt menjadikan manusia tidak sempurna dan tidak suci sebagai model teladan bagi umat manusia. 

Keyakinan tentang konsep kesucian ini menancapkan kesadaran dalam diri kita, bahwa agama tidak akan pernah ternoda, oleh penganutnya atau bukan. Keyakinan ini, juga membuat kita tidak akan pernah kecewa terhadap prilaku agamawan, yang tidak bisa menjadi contoh teladan.

Kesucian mutlak nabi-nabi meniscayakan kesucian agama yang dibawa. Faktanya, Nabi Muhammad SAW adalah manusia sempurna secara fisik dan ruhani, suci dalam seluruh dimensi, juga menjadi teladan abadi. 

Kesempurnaan dan kesucian itu menempel kepadanya sejak awal penciptaan, bukan sejak penetapan kerasulan. Kesempurnaanya bersifat permanen, tidak temporal. Kesuciannya juga universal, tidak partikular. Kata, sikap, tindakan dan segala yang memancar darinya adalah bimbingan wahyu. Karena kesempurnaan dan kesucian inilah, ia dinobatkan sebagai uswah hasanah, suri teladan yang baik.

Al-Qunduzi menuturkan sebuah riwayat indah dalam bukunya, Yanabi’ al-Mawaddah. Jabir bin Abdillah al-Anshari ra. berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw perihal makhluk pertama yang Allah swt ciptakan.” 

“Cahaya Nabimu, wahai Jabir. Setelah Allah swt menciptakannya, Dia menciptakan darinya segala bentuk kebaikan. Sesudah itu, Dia menciptakan segala sesuatu.” Jawab Baginda Nabi.

Cahaya. Demikian Nabi saw mengenalkan dirinya. Kesaksian ini juga bertebar di buku-buku Maulid yang sering kita lantunkan. Seakan-akan menegaskan, bahwa kata kunci untuk mendedah Sang Nabi adalah ‘cahaya’, sesuatu yang paling istimewa dan memesona di alam semesta, juga sumber segala keindahan. 

Cahaya adalah sesuatu yang paling cepat, 300.000 km perdetik. Dengan kecepatan itu, kita bisa mengelilingi bumi sebanyak 7 kali, dengan waktu tak lebih dari dua detik! Cahaya adalah sumber segala energi, berperan penting dalam tumbuhnya tetumbuhan, bunga-bunga dan kontinuitas kehidupan. Allah swt pun memilih kata ‘cahaya’ dalam mengenalkan Diri dan Nabi-Nya.

Konsepsi ‘cahaya’ bagi Dzat Allah swt adalah faktual, bukan kiasan. Cahaya adalah sesuatu yang nyata dan membuat selainnya menjadi nyata. Tiada realitas yang lebih nyata tinimbang Allah, sementara segala entitas hanyalah jelmaan dari berkah wujud-Nya. 

Pada gilirannya, prinsip cahaya ini menetapkan, segala sesuatu berhubungan dengan Allah swt dalam gradasi cahaya. Al-Quran adalah cahaya, sebab ia adalah kalam-Nya. Islam adalah cahaya, karena ia agama-Nya. Iman adalah cahaya, sebab menjadi simbol koherensi dengan-Nya. Para nabi adalah cahaya, sebab mereka adalah utusan-Nya. Para ulama pewaris adalah cahaya, sebab menjadi pelestari agama-Nya. Bahkan ilmu adalah cahaya, karena merupakan jalan mengenal-Nya.

Riwayat indah sebagaimana dituturkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari di atas memberi kita kesimpulan, bahwa Nabi Muhammad saw adalah manifestasi dari cahaya Allah swt, yang darinya tercipta beraneka rupa cahaya-cahaya dan segala penciptaan alam semesta.

Sejarah mencatat, kelahiran Nabi Muhammad saw memang ditunggu oleh seluruh umat manusia, khususnya umat Nabi Musa dan Nabi Isa as. Sehingga menjadi maklum, di Madinah kala itu telah bermukim orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Sementara di Mekkah, 420 km ke arah selatan sesosok bayi suci bernama Muhammad dilahirkan. Tak ada yang mengetahui identitas kenabiannya, hingga Bahira, seorang pendeta di Kuil Bostra menyuruh kafilah dagang Abu Thalib kembali ke Mekkah demi keselamatan keponakannya itu. 

Bersambung....


Penulis : Luthfi Khoiron Djauhari

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN