Rokok dan Iqra’ Sang Ustadz

Dr (cand). Moh. Dasuki, S.Pd.l., M.Pd.I. salah satu dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Jember
Terdengar cerita dari kakak kelas ketika saya menduduki bangku kelas 3 MI Bustanul Ulum Padasan-Pujer. Mereka mengatakan, kalau sudah kelas 3 akan diajar oleh salah satu Pengasuh Pesantren yang oleh para santri dipanggil Ustadz Bakir. 

Saya membayangkan ustadz yang satu ini pasti pemukul dan suka marah-marah ketika mengajar. Namun, nyatanya tidak demikian.

Semua santri diam tak mengeluarkan sepatah kata apa pun ketika Ustadz Bakir memasuki kelas. Ternyata, dugaan saya tentang Ustadz Bakir ini sedikit benar karena selama mengajar, beliau membuat suasana kelas menjadi tegang. 

Namun diakhir pelajaran, ketegangan itu mulai memudar setelah beliau mengeluarkan sebongkah tembakau dan mengajak santrinya untuk merokok.

Ayo, arokok kadek, kanak. Ayo, se aroko’ah, mesel dhibik, (ayo, merokok dulu nak. Ayo yang mau merokok, ngelinting sendiri_Red)” kata beliau.

Seusia saya masih senang-senangnya merokok secara sembunyi waktu itu. Apalagi Samawi yang tidak pernah absen menyimpan rokok di dalam celananya. 

Menurut saya, ustadz ini aneh karena menyuruh santrinya merokok sedangkan ustadz yang lain tidak demikian. Apalagi para ustadz di mushalla yang sering melakukan penggeledahan bagi santri yang merokok dan tak jarang ustadz itu mengancam jika melihat santrinya tertangkap membawa rokok.

Lambat laun, ketegangan ketika Ustadz Bakir mengajar di kelas saya memudar. Ustadz Bakir mampu membuat suasana menjadi santai dan penuh canda tawa. 

Berawal dari tawaran merokok itu, para santri menyukai cara mengajar Ustadz Bakir, bahkan pelajaran beliau sangat dinanti oleh para santri. Tidak ada istilah pengajar dan yang diajar bagi beliau, justru beliau menganggap para santri seperti orangtua dan anak yang tidak ada batasan atau sekat di antara keduanya.

Di Madrasah, saya melihat rokok dari sosok Ustadz Bakir, tetapi ketika di pesantren saya melihat hal yang berbeda dengan beliau. 

Baca juga :

Sering kali saya mengintip dhalem (Rumah) beliau, setiap saya mengintip pasti kitab kuning yang selalu berada di tangan beliau, dengan khusyuknya beliau membaca kitab itu. 

Tradisi dan etos baca itu tetap beliau lakukan secara konsisten, baik pagi, siang maupun malam. Beliau adalah sosok petani, kepala rumah tangga dan kiyai, tetapi beliau tetap meluangkan waktu untuk iqra’ (membaca) karya-karya klasik Islam.

Budaya iqra’ yang menjadi rutinitas beliau sangat dilestarikan oleh bangsa Barat. Makanya, bangsa Barat itu mampu membuat dan mengendalikan peradaban dunia. 

Semangat eksperimen dan observasi bangsa Barat itu sebenarnya meneladani ulama Islam seperti al-Farabi, al-Thusi, al-Razi, Ibn Tufail, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, al-Ghazali, Ibn Khaldun, Jabir bin Hayyan, Ibn Rusyd dan ulama lainnya, sehingga mereka (bangsa Barat) mampu mengendalikan peradaban dunia.

Banyak pelajaran yang dapat diambil dan diteladani dari sosok Ustadz Bakir yang sederhana, humoris, dan selalu membudayakan iqra’ ini. 

Dengan membudayakan iqra’, generasi muda Islam akan mampu bereksperimen dan melakukan observasi agar mampu bersaing dengan bangsa Barat yang sudah menguasai peradaban dunia. 

Semoga sosok Ustadz Bakir ini melekat pada generasi-generasi Islam selanjutnya. Semangat dalam belajar, membudayakan iqra’, dan membangun peradaban Islam.



Penulis : Dr (cand). Moh. Dasuki, S.Pd.l., M.Pd.I. salah satu dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Jember

Editor : Muhlas

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN