SANTRI, PERADABAN, DAN REKONSTRUKSI DAKWAH

Ketua Gusdurian Bondowoso, Moh Afifi, Juara 2 Lomba Karya Tulis Ilmiah yang diadakan SBA Institute Jember. Kiri, Gus Aab (KH Abdullah Syamsul Arifin), Ketua PCNU Jember

Ketidakpercayaan dalam menjalankan relasi hidup dalam perbedaan agama sering melahirkan kecurigaan-kecurigaan. Akibatnya relasi agama bertabiat ekspansif. Kecurigaan berakibat pada keringnya rasa tulus dalam membangun hubungan baik. Implikasinya lahir sikap membatasi dan cenderung tak memberikan kesempatan yang sama. Baik dalam prihal pengungkapan iman, keyakinan, ide, dan sebagainya.

Barangkali pengantar singkat ini dapat dijadikan rujukan dalam upaya meluaskan paradigma dalam men-counter faham radikalisme. Sebagai pengawal, perlu kiranya kita pahami bahwa suatu "paham" lahir dari literatur, baik tampilan, bacaan, mapun lingkungan dimana kita tinggal.

Baiklah, jika berbicara perihal elemen penting dalam upaya pelestarian nilai-nilai, konsep keberagamaan, dan relasi sosial yang terpondasi oleh nilai-nilai nasionalisme kebangsaan - Indonesia. ingat! Kita tidak bisa melepaskan kiprah elemen yang namanya santri

Santri merupakan suatu primordial yang unik dan ditempa dengan sangat elegan oleh para kiai-kiai dalam rangka menciptakan output yang mampu hidup-menghidupi ruang-ruang apapun. Maka, inilah yang mesti disadari dan dipahami diawal oleh para santri. Semua mungkin dapat ditempuh lewat pesantren-pesantren. Baik pesantren salaf, maupun pesantren modern.

Sebagai sosok santri, dalam perjalanannya, ruang dan ekspresi hidup berkebangsaan dan keberagamaan kerap kali dihadapkan dengan suatu fenomena-fenomena yang itu niscaya lahir oleh perjalan peradaban. Perkembangan tekhnologi, kebebasan berekspresi, serta psikologi para generasi yang dibawa oleh situasi untuk berpola efesien dan instan, inilah generasi Millenial. 

Hal ini rupanya berbanding terbalik dengan keberadaan kuat dan luasnya literatur keberagamaan yang mestinya mapan. Tapi bagaimanapun, inilah fakta. Kita tidak mesti harus mempersalahkan. Semuanya tinggal meramu pola-pola sinergis untuk terus mengawinkan ilmu dan tumbuh-kembangnya budaya di tengah peradaban yang serba efesien ini.

Demikian pula, tidak jarang, realitas publik kita jumpai ujaran-ujaran lewat postingan maya yang cenderung mempersalahkan suatu kelompok maupun elemen-elemen tertentu. Baik berupa narasi-narasi negatif, ujaran kebencian, bahkan diskriminasi. Seolah-olah, hanya lewat dunia maya dianggapnya sebagai jalan satu-satunya mengekspresikan rasa yang memuaskan. Sementara budaya perjumpaan mulai kering dan tandus. Sekali lagi, inilah fakta.

Oleh karenanya, tandusnya perjumpaan yang mestinya diperkuat antara budaya dan agama berimplikasi pada suatu model identitas dan definisi diri. Orisinalitas budaya hampir tidak ada. Dan agama pun selalu dimaknai dari satu sisi tanpa akulturasi yang universal. Boleh jadi, inilah bagian dasar dari beberapa faktor penyebabnya. Dari ruang-ruang dan fakta realitas inilah kemudian betapa pentingnya suatu dakwah (ajakan) yang bersifat holistik. Sosok santri-lah yang mesti menjadi elemen terpenting dalan menyajikan (dakwah) sekreatif mungkin. Harus mampu memberi ruang bagi tiap kalangan, tak sekedar sesama santrinya, tapi juga pada siapapun yang sedang belajar keislaman. Sehingga keberagamaan (Islam) mampu dibawa ke ruang-ruang yang mudah dan menggembirakan.

Tak cukup di situ, di tengah banyaknya pola dan model dakwah, sebagai kaum beragama, dalam hal ini santri, mestinya sajian dakwah dengan tujuan konversi, baik di dunia maya maupun nyata mestinya diganti dengan dakwah untuk melayani dan memuliakan umat manusia, sarana pemberi informasi yang sehat, pendampingan, dan menumbuhkembangkan sekitar dengan kuat dan sebaik-baiknya.

Dakwah dengan cara pandang berlebihan, misal dengan menganggap terbaik agamanya harusnya tak lagi dijadikan tujuan, melainkan mengajak manusia untuk mengontrol perilaku, memperhatikan yang lemah, dan memelihara kedamaian antar sesama masyarakat yang berbangsa. Demikian pula, ruang publik semestinya menjadi tanggung jawab bersama oleh setiap yang ada di dalamnya. Apapun agama dan keyakinannya. Utamanya kaum santri. 

Sebab, ruang publik merupakan tempat bagi semuanya. Tidak sekedar diperuntukkan bagi sekelompok orang saja. Oleh karenanya, simbol-simbol, ornamen, budaya, tradisi, dan lain-lain mestinya dapat diterima dan dijaga dalam frame milik bersama sebagai wujud saling menghargai dan saling menjaga. Di sinilah aspek yang mestinya menjadi tanggung jawab dasar seorang santri.

Lewat pola membiasakan cara pandang positif terhadap sesama (termasuk agama lain), inilah merupakan pintu utama mengeleminir prasangka dalam berbagai perjumpaan. Serta menempatkan sesama sebagai ciptaan Tuhan yang indah dan sempurna, yang tak boleh dihakimi apalagi disakiti. Demikian akan melahirkan kedamaian batin. 

Panggilan ini lah merupakan ajakan dan pembiasaan kepada diri sendiri dalam kiprah yang penuh kasih dan mendamaikan sekitar. Sebab bagaimanapun, sekitar adalah akibat dari bagaimana didalam diri kita. Inilah mengapa kemudian sebuah literatur itu menjadi sangat penting. Sosok santri lah yang mesti memerankan diri dan berperan atas sekitar.

Dalam khazanah sastranya, Syekh Nazim Adil al-Haqqani yang merupakan Syekh Tarekat Naqsabandiyah Nazamiyah pernah menyeru begini:

"Saat ini aku duduk bersamamu. Aku melihatmu sebagai ciptaan-ciptaan Tuhan yang dapat diibaratkan seperti buah-buah ciptaan yang sempurna dan unik. Pun sebagaimana aku sedang melihat bunga mawar yang indah di taman. Saat aku duduk dan menikmati taman surgawi itu, aku merasakan semua itu membawa kedamaian yang sejati dalam hati. Jika kita saling berjumpa dan memandang satu sama lain dengan cara yang demikian, maka kita tak sekedar mencapai penerimaan dan toleransi, melainkan lahir sebuah keakraban yang berujung cinta dan kedamaian."

Demikian, Syekh Nazim nyatanya menjelaskan sebuah ajakan untuk merekonstruksi paradigma keberagamaan yang non dialogis, asumtif, dan penuh dengan kecurigaan menuju sudut pandang yang akulturatif dan moderat.

Soal pemahaman akulturatif, analogi agama dan budaya tak seperti minyak dan air. Ia sejatinya seperti "ragi" dan "singkong" yang sudah menjadi "tape". Maka menyatunya agama dan budaya ibarat "tape". Elemen-elemennya dapat dianalisis secara objektif asal usulnya, tapi tak bisa dipisahkan (melting pot).

Semua sisi pandang terhadap realitas harus terkoneksi secara ideal, supaya tak berakibat konflik horizontal yang tak berkesudahan. Pun pemahaman yang benar antara pemeluk agama menjadi syarat pokok guna tercapainya relasi yang baik dan diharapkan. Maka tuntutan untuk memahami, bersikap terbuka, dan menghormati keyakinan (agama) orang lain adalah merupakan keharusan bagi semua. Dalam hal ini pula, sosok santri harus menjadi pioner. Harus menjadi subjek.

Dalam perjalanannya pun butuh proses dan komitmen kuat, semua harus dijalankan dengan penuh riang gembira. Sebab sekali lagi, kelangsungan hidup damai bersama bukan sekedar tanggung jawab kelompok.

Apakah iya, relasi hidup damai dalam perbedaan bakal terus tumbuh membaik jika potret hidup selalu dalam kecurigaan, ketegangan dan selalu digenting-gentingkan?

Semakin kuatnya peran santri dalam kehidupan sehari-hari, semoga menjadikan Indonesia yang kita cintai ini mampu tumbuh dan berkembang menjadi "Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur". Tentu, semua hanya bisa ditempuh dengan terus membuka diri, saling mengingatkan, dan bekerja sama dengan sebaik-baiknya. Amin...

Salam Santri.

Selamat Hari Santri Nasional 2020.

SANTRI SEHAT, INDONESIA KUAT.


Penulis : Mohammad Afifi (Juara 2 Lomba Karya Tulis Ilmiah yang diadakan SBA Institut Jember)

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN