Perang Terbuka Kelompok Khilafahis Palsu

Dokumentasi Penulis, Luthfi Khoiron Djauhari (kiri) ketika mengikuti Standarisasi Kompetensi Dai yang diadakan Lembaga Dakwah PBNU

Beberapa tahun sebelumnya, perang antara NU dan kelompok khilafahis palsu berada di zona abu-abu. Petanya sulit dibaca, karena kelompok transnasional itu menggunakan
'Home Agent' (agen rumahan) untuk menggempur NU secara halus, nyaris tak terasa.

Pertama, mereka tampil seperti organisme di dalam tubuh Islam, menyusup ke berbagai kekuatan dan pergerakan, tanpa identitas.

Dari priode ini, lahirlah kajian-kajian keislaman berbasis sekolah, kampus dan perkantoran. Sementara NU terkonsentrasi di pesantren dan pengajian. Mereka berhasil membentuk militansi kader melalui mukhayyam (kepanduan) dan brainwashing melalui Liqa. Semua gerakan ini dilakukan Underground, tak terbaca, bahkan oleh pemerintah.

Kedua, memanfaatkan momentum kebebasan pasca reformasi. Kran demokrasi yang dibuka Gus Dur dijadikan entry point oleh mereka, sehingga partai berbasis kader yang sudah mereka bentuk sebelumnya, kian berkembang pesat. Agen yang mereka tanam di tubuh NU bekerja sebagai vote getter yang cukup lihai, banyak suara Nahdliyin diberikan kepada partai berafiliasi kepada Ikhwanul Muslimin itu.

Sejatinya, partai hanya satu orbit dari kekuatan kelompok ini. Bukan satu-satunya. Sebab mereka terderivasi dalam banyak nama, dengan semangat sama. Khilafah. sepintas antara satu dengan yang lain seperti berbeda dalam pola dan gerakan, tapi si mbok-nya sama, Induknya satu.

Ketiga, mereka menggunakan kader NU untuk dijadikan misionaris gratisan kelak. Mereka menjaring banyak potensi dan mengembangkannya di seberang sungai. Bahkan, Al-Azhar pun tak aman, sebelum akhirnya beberapa tahun lalu gerakan itu dibersihkan dari universitas Islam tertua tersebut.

Beberapa tahun terakhir, hampir satu dasawarsa, mereka sudah memanen hasil kerja di bidang ini. Mereka hanya perlu menggelontorkan program, jebolan-jebolan universitas luar negeri itu sudah tinggal ditombol. Klik, dan mereka seperti barisan yang terkomando. Memang, tidak semua alumni Timur Tengah dapat direkrut, sehingga tulisan ini tidak bersifat general.

Minimal dari lini ini, ada pergeseran nilai yang sangat kuat. Islam Nusantara sudah kearab-araban.

"Kan, tak semuanya negatif?"

Justru mereka mencari cara paling positif agar Nahdliyin terpedaya.

Jumlah mereka tak sebanyak warga Nahdliyin. Namun di tubuh organisasi para ulama ini sudah ada agen mereka. Petanya terlihat ketika kelompok ini menentang konsensus NU, seperti menganggap adanya penyimpangan di tubuh NU, bahkan mencacat tetua yang dipilih oleh para ulama.

Mereka mengaku mempedomani NU seperti diajarkan oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari, serta menganggap organisasi NU yang ada sudah keluar dari rel.

Tugas agen-agen ini adalah memecah NU dari dalam. Kenali beberapa istilah berikut ini, kita akan tahu, bahwa NU sedang diobok-obok...

"NU struktural dan kultural"

"NU garis-garis"

"NU-nya Mbah Hasyim..."

Jargon-jargon ini digunakan oleh mereka sebagai kelompok 'paling lurus' dan mendapat lisensi untuk memorakporandakan warisan para ulama ini dengan modal teks-teks kitab.

Orangnya ya itu-itu juga. Aksinya ya itu-itu juga. Mereka menderita sindrom falasi stadium akhir, wal iyadzu billah.

Keempat, mereka mempunyai sumber dana yang kuat. Suplai anggaran yang tak menggunakan transfer bank, karena ada pembatasan.

Siapa penerima dana mereka? Selain beredar di internal mereka, yang memiliki kedekatan dengan kelompok ini juga kecipratan. Kemampuan pendanaan mereka juga tampak saat beberapa slot acara televisi diborong oleh mereka. Umumnya acara televisi itu berbau religi, mulai tahfidz hingga dakwah monolog.

Kelima, pertempuran jarak dekat. Hal itu ditandai dengan penguasaan masjid-masjid NU. Bahkan di Jakarta, hanya di masjid Hasyim Asy'ari yang selamat. Itupun karena Kiai Said Aqil Siradj benar-benar pasang badan. Di daerah juga terjadi dan seperti gurita.

Indikasi lain adalah munculnya kader-kader NU rasa-rasa. Rasa Wahabi, rasa liberal, kanan, kiri, juga berbagai varian lain. Originalitas khas NU tereduksi dalam multitafsir yang beragam namun saling menegasikan.

Keenam, teori belah atom. Mereka menyadari, tak mungkin menghancurkan garda Islam Indonesia (baca: NU) ini dengan satu serangan. Oleh karena itu, semua lini digunakan serentak, terkomando dan tentu saja, licik!

Tradisi figurisme khas warga Nahdliyin dipakai oleh mereka untuk memunculkan penceramah al-Youtubiyah, diviralkan, dipakaikan baju-baju Nahdliyah, sehingga kiai-kiai tradisional yang tak terlalu paham teknologi, tenggelam.

Ala kulli hal, semua tanaman mereka sudah dipanen.

Dan… kita, masih ternganga. (*)


Penulis : Luthfi Khoiron Djauhari

Editor : Gufron 

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN