“JIMAT” Rahasia, Agar Hidup Mulia?

Dr. Suheri, M.Pd.I, Tenaga Pengajar Pesantren Kunuuzul Imam Kauman dan Dosen STAI At Taqwa Bondowoso (Foto : Tim Kreatif) 
Ada seorang anak yang datang pada sang Kiai mengeluhkan kekurangan orang tuanya. Ia mengatakan kalau ibunya itu orangnya kuno dan tidak berpendidikan, sehingga membuat si anak tersebut merasa teraniaya oleh ibunya

Sang Kiai dengan tenang mendengarkan semua apa yang diucapkan oleh si anak itu. Kemudian, sang Kiai menyuruh anak itu untuk menulis semua keburukan ibunya. Anak itu menulis kalau ibunya pemarah, kurang perhatian, suka mengatur-atur, pelit, suka menyalahkan, pendendam, pilih kasih, tidak adil dan lain sebagainya. 

Sang Kiai tetap tenang ketika anak itu menyerahkan tulisan yang berisi kekurangan ibunya sendiri. Kemudian, sang Kiai menyuruh anak itu lagi untuk menulis secara jujur tentang jasa dan pengorbanan ibunya.

Si anak merenung seketika mendengar sang Kiai menyuruhnya menulis jasa dan pengorbanan ibunya secara jujur. Segudang pengorbanan dan kebaikan terlintas dalam benak si anak, hatinya merasakan energi pengorbanan yang sangat besar dari ibunya.

Si anak menulis kalau ia menyiksa ibunya sejak berada di perut sang ibu. Ibunya sampai kesulitan untuk tidur, berdiri, berjalan, bahkan berbaring ketika mengandung si anak. Ketika si anak hendak lahir ke dunia, yang ibu pikirkan adalah anaknya bukan dirinya sendiri. 

Seorang ibu lebih memilih keselamatan anaknya daripada dirinya sendiri, bahkan nyawanya seakan tak berharga.

Setelah lahir, tangisan anak adalah senyumnya, kebahagiaan anak adalah penyambung darah dagingnya.

Sang anak terus menulis pengorbanan ibunya, linangan air mata tak mampu ia bendung sampai membasahi catatannya. Ia semakin sadar bahwa untaian pengorbanan ibunya tak sebanding dengan catatan keburukannya. Kebaikan yang telah ia perbuat untuk memuliakan ibunya, sama sekali tidak ada harganya.

Ternyata selama ini ia membeli pengorbanan ibunya dengan harta, jabatan, pangkat dan nama besarnya. Semakin ia ingat kebaikan ibunya, ia merasa jiwanya seperti mendapat hantaman gada.

Baca juga : 

Mari kita renungkan bersama.

Pada waktu bayi, beliau tidak mengenal siang dan malam. Kita bangun seenaknya, ngompol dan merepotkan sesuka hati. Padahal, ibu hampir tidak tidur semalaman. Rasanya beliau tidak rela bila ada seekor nyamuk yang mengganggu kita, bahkan kita seenaknya tidur dipangkuannya. Sedangkan beliau tidur dikursi dengan kondisi duduk.

Ketika kecil kita mulai bertingkah nakal, tetapi beliau bahagia memamerkan dan membanggakan kita pada tetangga dan temannya. Seolah menghapus penderitaan dan beban yang dipikulnya. Padahal, hutang kemana-mana demi memenuhi asupan susu atau kebutuhan kita. Kadang hutang untuk membeli sepatu dan pakaian layak untuk kita.

Saat menjelang sekolah, orang tua kita dengan begitu semangat memeras keringatnya, banting tulang mencari nafkah dan mengumpulkan biaya pendidikan kita. Harapannya agar kita bisa setara dengan teman-teman yang lain.

Melihat kita bisa tertawa dan bahagia, orang tua kita merasa cukup untuk membayar rasa perih karena lapar, rasa lelah karena kurang istirahat, dan derita karena harus menanggung malu berhutang pada tetangga. 

Namun, kenyataannya tidak sedikit bakti kita pada keduanya yang mengecewakan. Semakin dewasa, mata kita menatap sinis pada keduanya. Jangankan mencium tangan keduanya, untuk senyum pun kadang kita berat untuk melakukannya. 

Bahkan ucapan dan sikap kita mengiris hati dan perasannya. Na'udzubillah. Dengan mudahnya anak menyuruh orang tuanya, padahal beliau bukan pesuruh atau pembantu. Padahal tenaga, pikiran, keringat dan darahnya habis untuk memperjuangkan kesuksesan anak-anaknya.

Lebih parah lagi bila sampai menitipkan keduanya ke panti jompo. Ini sangat tercela. Ingat! Bila kita dzalim pada keduanya, hukuman Allah cash diberikan no credit. Mestinya, diusia senja adalah kesempatan kita untuk merawat dan mengabdi pada keduanya.

Allah memberikan ridla dan rahmat pada kita melalui bakti pada keduanya, meski balasan kita tidak akan pernah sepadan. Dawuh KH. M. Imam Hasan, seandainya separuh dunia ini milik kita dan digunakan untuk menebus kebaikan keduanya, maka tidak akan pernah cukup menggantikan kebaikannya. Bahkan nyawa kita tidak akan pernah cukup melunasi semua kebaikannya.

Siapapun yang orang tuanya masih ada, beruntunglah kalian. Karena bila bapak atau ibu sudah terbungkus kain kafan, kita tidak bisa lagi mencium tangan atau menatap wajahnya.

Kita harus menata tekad untuk berbakti pada keduanya dan minimal tidak menorehkan goresan luka dihatinya. Jangan beli orang tua dengan harta karena membahagiakan keduanya tidak cukup dengan harta.

Di usia senja, harta tidak membahagiakan dan menentramkan jiwanya. Mereka tidak butuh harta, mereka hanya butuh bakti kita dan kemuliaan akhlak kita untuk mengobati rasa penat dalam perjalanan hidupnya. 

Sosok orang tua memang tidak selalu ideal dengan harapan kita. Dawuh guru saya, "Orang tua ibarat al-Qur'an rusak" (meski analogi ini tidak tepat 100%). Dibaca tidak bisa namun bila dibuang bisa kualat.

Dawuh KH. Mas Achmad Syaifi Faroid, "Jadikan orang tuamu sebagai jimat" karena untaian doa-doanya pada kita tidak ada hijab, antara dirinya dengan Allah Swt. Seperti apa pun  keadaan orang tua, kita harus bersyukur. 

Apabila melihat kekurangannya, maka kita harus berada di garda terdepan untuk menutupi aibnya, agar beliau selamat dari kehinaan atas kekurangannya. Sebagaimana darah dagingnya yang melekat dalam diri kita.

Bila keduanya belum shaleh atau shalehah, kita yang harus mati-matian memohon kebaikan keduanya. Bila keduanya bergelimang dosa, maka kita yang harus berjuang keras supaya dosanya diampuni Allah Swt. Kalau keduanya belum ta'at, maka kita yang harus membuktikan bahwa diri kita sedang berjuang keras menuju arah ketaatan itu.

Setiap orang berproses. Ada yang awalnya kurang ilmu, namun lambat laun ilmunya bertambah. Jadi, kita harus sikapi kekurangan orang tua kita dengan cerdas dan kelapangan hati. Bagaimanapun juga, tidak ada manusia yang sempurna. Semoga kita selalu diberi kekuatan untuk memuliakan kedua orang tua kita. Aamiin.



Penulis : Dr. Suheri, M.Pd.I, Tenaga Pengajar Pesantren Kunuuzul Imam Kauman dan Dosen STAI At Taqwa Bondowoso 

Editor : Muhlas

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN