Nahdlatul Ulama Tidak Sama dengan Organisasi Lainnya

Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng (Foto : Tim Kreatif) 
Organisasi yang berisikan jam’iyah ulama itu bernama Nahdlatul Ulama atau lebih sering disebut dengan NU. Organisasi ini didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 31 Januari 1926 M atau 16 Rajab 1344 H melalui hasil keputusan beberapa ulama yang berkumpul di Surabaya. Diantara para ulama yang berkumpul waktu itu adalah ulama terkemuka dari tanah Jawa, Madura, dan Kalimantan.

Dalam mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama ini tidaklah semudah organisasi yang lainnya. Asal ada ide, maka dibentuklah organisasi itu. Nah, Nahdlatul Ulama tidaklah demikian. Sebelum organisasi Nahdlatul Ulama ini didirikan, KH. Hasyim Asy’ari yang menerima ide dari KH. Wahab Hasbullah untuk mendirikan suatu organisasi baru yang berpegang teguh dalam menegakkan ajaran wali songo, yakni ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tidak serta merta menerima usulan itu.

KH. Hasyim Asy’ari atau lebih populer dikenal dengan sebutan Mbah Hasyim itu masih memohon petunjuk pada Allah SWT, memusatkan perhatiannya dengan melakukan shalat istikharah untuk mendirikan organisasi yang nantinya diberi nama Nahdlatul Ulama ini.

Shalat istikharah selalu beliau lakukan agar mendapatkan petunjuk dari Allah SWT dalam mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama. Namun, sepanjang beliau shalat istikharah, petunjuk itu tidak datang pada beliau sendiri. Justru petunjuk Allah SWT datang pada gurunya, yaitu KH. Cholil Bangkalan. Karena petunjuk itu datang pada gurunya, maka KH. Cholil Bangkalan akhirnya mengutus salah seorang santrinya, yaitu KHR. As’ad Syamsul Arifin putra dari KHR. Syamsul Arifin untuk mengantarkan tongkat secara langsung pada Mbah Hasyim di Tebuireng, Jombang.

Dalam buku KHR. As’ad Syamsul Arifin Riwayat Hidup dan Perjuangannya, yang diterbitkan oleh Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, dijelaskan bahwa pada waktu itu, ketika KHR. As’ad Syamsul Arifin diutus oleh gurunya untuk mengantarkan tongkat pada Mbah Hasyim, peristiwa itu terjadi pada tahun 1924. Beliau dipanggil oleh gurunya kemudian diberilah beliau sebuah tongkat untuk diantarkan pada Mbah Hasyim di Tebuireng, Jombang.

Baca juga : 

KHR. As’ad Syamsul Arifin yang nyantri di pondok KH. Cholil Bangkalan tidak menolak perintah gurunya. Sebagai santri yang patuh pada sang guru, beliau langsung berangkat setelah mendapatkan tongkat itu dari gurunya. Tapi sebelum berangkat, beliau diberi syarat untuk menghafal surat Thaaha ayat 17-23. Sepanjang perjalanan. KHR. As’ad Syamsul Arifin menghafalkan surat itu sampai akhirnya beliau sampai di Tebuireng, Jombang dan bertemu langsung dengan Mbah Hasyim untuk mengantarkan tongkat dari gurunya.

Beliau langsung memberikan tongkat itu pada Mbah Hasyim. Kebingungan pasti, karena Mbah Hasyim tidak tahu apa maksud gurunya memberikan beliau tongkat. Tapi, Mbah Hasyim yakin pasti ada sesuatu dibalik tongkat yang diberikan oleh gurunya, KH. Cholil Bangkalan melalui KHR. As’ad Syamsul Arifin itu. 

Mbah Hasyim bertanya setelah menerima tongkat itu. Ia bertanya apakah ada pesan yang disampaikan oleh gurunya tentang pemberian tongkat itu. KHR. As’ad Syamsul Arifin langsung membacakan surat Thaaha ayat 17-23 sesuai perintah gurunya sebelum beliau berangkat. Ayat itu menjelaskan tentang dua mukjizat Nabi Musa yaitu tongkat Nabi Musa ketika Allah SWT memerintahkan untuk dilemparkan, berubahlah tongkat itu menjadi seekor ular dan tangan Nabi Musa ketika dimasukkan ke dalam ketiaknya, tangan itu menjadi putih cemerlang setelah dikeluarkan. Maha besar Allah SWT atas segala kuasa-Nya.

Mbah Hasyim langsung paham dengan maksud pemberian tongkat itu setelah KHR. As’ad Syamsul Arifin membacakan ayat 17-23 surat Thaaha tadi. Ternyata, pemberian tongkat itu ada kaitannya dengan rencana pendirian organisasi jam’iyah ulama yang ingin Mbah Hasyim dirikan.

Mbah Hasyim semakin yakin untuk mendirikan organisasi itu, tapi beliau tetap tidak terburu-buru mengambil kesimpulan atas petunjuk Allah SWT yang diberikan pada gurunya, seorang waliyullah di tanah Madura itu.

Mbah Hasyim sangat yakin atas petunjuk Allah SWT yang datang pada gurunya ketika beliau menerima pemberian tasbih dari KH. Cholil Bangkalan melalui KHR. As’ad Syamsul Arifin. Perintah kedua yang diberikan pada KHR. As’ad Syamsul Arifin oleh KH. Cholil Bangkalan itu terjadi pada sekitar pertengahan tahun 1925. Ia ditugaskan oleh gurunya dengan maksud dan tujuan yang sama, seperti tugas awal ketika beliau mengantarkan sebuah tongkat pada Mbah Hasyim.

Tugas kedua ini bukan berupa tongkat yang harus beliau antarkan, tapi berupa tasbih yang langsung dikalungkan ke leher beliau oleh KH. Cholil Bangkalan. KHR. As’ad Syamsul Arifin sepanjang perjalanannya tidak pernah menyentuh tasbih itu, walaupun ditertawakan oleh banyak orang sepanjang perjalanan. Beliau tetap tidak menyentuh tasbih itu sampai akhirnya diterima oleh Mbah Hasyim. 

Beliau sangat takdzim pada gurunya. KH. Cholil Bangkalan menyuruhnya untuk mengantarkan tasbih yang langsung dikalungkan di lehernya bukan untuk disentuh apalagi untuk dimainkan. Oleh karena itu, beliau tidak berani menyentuh sama sekali walaupun di perjalanan ditertawakan banyak orang, bahkan beliau dianggap gila karena memakai kalung di lehernya.

Seperti tugas pertama, sebelum KHR. As’ad Syamsul Arifin berangkat, beliau menerima pesan dari gurunya berupa dua kata yang terdapat dalam Asma’ul Husna, yaitu Yaa Jabbaar dan Yaa Qohhaar. KH. Cholil Bangkalan membaca dua kata itu sebanyak tiga kali sebelum KHR. As’ad Syamsul Arifin berangkat.

Sesampainya di Tebuireng, Jombang. Setelah KHR. As’ad Syamsul Arifin bertemu langsung dengan Mbah Hasyim, beliau pun langsung membungkuk di depan Mbah Hasyim untuk memberikan tasbih pemberian dari gurunya.

Mbah Hasyim pun mengambil tasbih itu kemudian menanyakan apakah ada pesan yang disampaikan oleh gurunya pada Mbah Hasyim. Mendengar pertanyaan itu, KHR. As’ad Syamsul Arifin langsung membaca dua kata yang terdapat dalam Asma’ul Husna, yaitu Yaa Jabbaar dan Yaa Qohhaar sebanyak tiga kali, sesuai dengan yang didawuhkan oleh gurunya sebelum berangkat.

Semakin jelas sudah petunjuk Allah SWT pada Mbah Hasyim yang ingin mendirikan organisasi jam’iyah ulama. Dengan dua simbol yang diberikan gurunya itu, Mbah Hasyim yakin bahwa tujuannya untuk mendirikan organisasi jam’iyah ulama disetujui dan mendapat petunjuk langsung dari Allah SWT melalui gurunya, KH. Cholil Bangkalan.

Setelah menerima tasbih itu, Mbah Hasyim langsung meminta KHR. As’ad Syamsul Arifin untuk mengantarkan surat pada beberapa ulama terkemuka di tanah Madura. Selain beliau, juga ada beberapa orang yang oleh Mbah Hasyim diperintahkan untuk mengantarkan surat kepada ulama terkemuka. Salah satunya adalah K. Mahfudz Siddiq yang ditugaskan Mbah Hasyim untuk mengantarkan surat pada ulama terkemuka di tanah Jawa.

Baca juga :

Versi lain dalam buku Khazanah Aswaja, KH. Wahab Hasbullah atas restu Mbah Hasyim pada pertengahan Januari 1926 mengundang ulama terkemuka di pesantren untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya di kediaman KH. Wahab Hasbullah. Beliau mengundang ulama terkemuka itu untuk merumuskan dua hal. Pertama, mengirim utusan Indonesia ke Muktamar Dunia Islam di Makkah. Kemudian yang kedua adalah membentuk organisasi jam’iyah ulama.

Pada tanggal 31 Januari 1926, ulama terkemuka yang menerima surat itu berkumpul di kediaman KH. Wahab Hasbullah, Surabaya. Ulama terkemuka itu berasal dari tanah Jawa, Madura dan Kalimantan. Semuanya berkumpul untuk merumuskan organisasi jam’iyah ulama yang ingin Mbah Hasyim dirikan.

Adalah KH. Mas Alwi Abdul Aziz yang mempunyai usulan bahwa organisasi jam’iyah ulama itu diberi nama Nahdlatul Ulama. Mbah Hasyim yang mendengar usulan itu tidak langsung menyetujuinya. Beliau masih mempertanyakan, mengapa organisasi yang ingin beliau dirikan harus menggunakan kata Nahdlah di awal. KH. Mas Alwi Abdul Aziz pun memberikan alasan mengapa harus menggunakan kata Nahdlah di awal. Menurutnya, tidak semua ulama mempunyai jiwa yang Nahdlah (bangkit). Ada yang hanya diam saja di pesantren atau yang lainnya. Dan, ulama yang ada dalam organisasi Nahdlatul Ulama ini adalah ulama yang memiliki jiwa Nahdlah.

Alasan tersebut diterima oleh Mbah Hasyim dan ulama terkemuka lainnya yang hadir waktu itu di kediaman KH. Wahab Hasbullah, Surabaya. Akhirnya, nama organisasi yang ingin Mbah Hasyim dirikan itu disetujui menggunakan nama Nahdlatul Ulama. Dan, setiap tanggal 31 Januari selalu diperingati sebagai hari lahir Nahdlatul Ulama.

Nahdlatul Ulama sampai hari ini sudah berusia 94 tahun. Artinya, enam tahun lagi Nahdlatul Ulama akan menuju satu abad. Semoga, Nahdlatul Ulama dalam menyambut satu abadnya menjadi organisasi yang selalu mempertahankan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semoga apa yang menjadi cita-cita besar Nahdlatul Ulama tercapai seiring dengan ridha Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin.

Siapa kita? NU

NKRI? Harga mati

Pancasila? Jaya

Bondowoso, 07 Desember 2020


Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN