Tanah Cita-Cita 1

(perjuangan seorang kepala sekolah dalam kemajuan peserta didik dan sekolahnya)

Ilustrasi, sekolah sederhana (sumber : beritaguru.blogspot.com) 
Indonesia, tanah cita-cita bagi ia yang ingin mewujudkan. Bukan tidak melakukan apa-apa, bukan pula berpangku tangan diam mengagumi saja. Indonesia, tanah harapan bagi mereka yang mau berkejaran mendulang masa depan. Mengukir makna hidup. Kita adalah teladan bagi cinta, kita adalah sahabat bagi cita-cita. Kita adalah semangat untuk masa depan. 

Maka, menjadi seorang pejuang tentu tidaklah mudah. Menjadikan profesi guru yang digaji dengan status abdi di sebuah lembaga pendidikan. menjalani dengan penuh ikhlas, walau konfrontasi terus menyerang di belakang. Untuk menggoyahkan pendirian yang kian teguh. 

Ya, dia Rayhan namanya. Memiliki amanah sebagai seorang kepala sekolah di Kabupaten Bima. Perjuangan yang begitu kuat, menggebukan semangat tanpa henti walau cobaan terus menghujam dirinya.

Cita terbesar dalam dirinya di Tanah Cita-Cita, tidak lain hanya untuk pendidikan anak dasar di daerah tersebut tersampaikan. Sekolah yang sangat sederhana, dengan sarana dan prasarana yang sangat tidak memadai. 

Baca juga :

Memacu kuda merupakan kendaraan siswanya untuk menempuh perjalanan dari rumahnya yang jauh dari sekolah tersebut. Hal inilah yang semakin membuat semangat pak Rayhan terus berkobar, bahwa mereka harus merubah hidup di masa depan dengan membanggakan kedua orang tuanya.

“Assalamu’alaikum.” Ucap pak Sumaryo, guru agama di sekolah tersebut.

“Walaikumsalam warahmatullah wabarakatuh.” Jawab pak Rayhan yang sedang duduk di ruangannya.

Salam mengawali percakapan mereka berdua. Bahwa besok pagi pak Sumaryo akan menjemput bu Cita di terminal terdekat. Memohon izin untuk mengosongkan waktu mengajarnya terlebih dahulu di hari itu. 

Asta Cita, yang kerap di panggil Cita. Berasal dari Jakarta, ibu kota Indonesia. Datang ke kota Bima untuk membantu proses pendidikan bersama pak Rayhan dan guru yang lainnya. Sering bertolak belakang akan metode yang diterapkan, hingga membuat khawatir pemikiran anak didik buyar. 

Kedisiplinan yang terlalu di tekankan hingga disandingkan dengan emosional hanya akan semakin membuat KBM semakin hancur. Akhirnya, pak Rayhan pun menindaklanjuti agar tidak terjadi hal yang tidak didinginkan dengan mengkondusifkan kelas beserta ibu Cita yang mengajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ego sentral yang selalu dikedepankan dalam mengajar dengan alasan demi kedisiplinan.

Ruang yang sempit membuat pak Rayhan terus berpacu dengan paradigmanya. Bahwa belajar itu tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Dimanapun peserta didik berada, kapanpun itu mereka tetap belajar seperti sedia kala. Karena menurutnya, belajar itu tidak hanya 5 cm yang hanya menghafal dan membaca. Tapi, belajar itu 2 m yaitu menggerakkan seluruh jiwa dan raga untuk memahami proses hidup.

Kecerdasan itu bukanlah tentang kecerdasan yang kognitif berisi hafalan-hafalan saja. Tetapi, kita juga harus melatih psikomotorik peserta didik. Tentu hal yang paling penting dibalik itu semua adalah proses yang konsisten.

Maka dari itu, sekolah alam dan ruangan selalu di korelasikan oleh pak Rayhan demi terbangunnya apa yang pak Rayhan harapkan kepada anak didiknya. Namun, pemberontakan, penolakan, ketidak setujuan, ketidak sepakatan antara sesama guru masih saja kerap terjadi. 

Bahkan, pernah di satu waktu para wali dari seluruh siswa pun mendatanginya. Dikarenakan anaknya yang sering di bawa ke pantai, ke hutan, ke kebun dan sebagainya. Terlebih Kepala Desanya yang sangat menolak keras akan metode pembelajaran yang pak Rayhan terapkan.

Akan tetapi, itu tidak membuat dirinya untuk berubah pikiran dan keputusan. Usaha terus dikerahkan dengan kekonsistenan tanpa henti. 


Penulis : Maulana Haris, Santri Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tangsil Kulon, Tenggarang, Bondowoso

Editor : Gufron



Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN