Takbir yang Sah Menurut Syaikh Salim

Ilustrasi Takbir dalam shalat (Foto : Tim Kreatif) 
Salat itu wajib pelaksanaannya karena ia adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW ketika Nabi melakukan Isra’ Mi’raj dari Masjidil Aqsha ke Sidratil Muntaha. Perjalanan itu menghasilkan salat lima waktu yang wajib dilakukan oleh semua pengikut Nabi Muhammad SAW sampai akhir zaman.

Problematika salat sangat sering kita jumpai. Khususnya santri, selalu mendiskusikan kejanggalan-kejanggalan yang ada dalam salat. Seperti halnya persoalan takbir. Takbir bukan sembarangan takbir. Ia mempunyai tata cara tersendiri yang harus dilakukan.

Menurut Syaikh Salim ibn Samir al-Hadhrami, syarat sah takbir dalam salat itu ada enam belas. Semuanya harus terpenuhi, karena sahnya salat tergantung sahnya takbir. Oleh karena itu, enam belas hal di bawah ini harus dilakukan oleh musalli agar takbirnya sah. Sah takbirnya, maka salatnya juga sah asalkan tidak ada hal lain yang bisa menyebabkan batalnya salat.

Baca juga : 

Enam belas yang dimaksud Syaikh Salim itu adalah sebagai berikut:

Pertama, harus dibaca ketika berdiri dalam salat fardhu. Seorang musalli yang hendak melaksanakan salat fardhu atau salat lima waktu, maka lafadz takbirnya harus dibaca dalam keadaan berdiri. Kecuali ada hal yang mengharuskannya tidak berdiri seperti sakit, lumpuh atau alasan-alasan lainnya.

Kedua, harus menggunakan Bahasa Arab. Dari segi bahasa, lafadz takbir tidak diperbolehkan menggunakan bahasa selain Bahasa Arab. Pun, lafadz takbir sudah ditentukan, yaitu lafadz Allahu Akbar bukan dibalik atau diganti. Menggunakan Bahasa Arab, bukan terjemahan.

Ketiga dan keempat, harus menggunakan lafdzul jalalah dan lafadz akbar. Selain harus menggunakan Bahasa Arab, lafadz takbir yang digunakan juga ditentukan. Jadi, tidak diperbolehkan membaca lafadz takbir selain lafadz ‘Allahu Akbar’. Misalkan, ingin mengubahnya menjadi ‘Allahu Kabiir’ atau ‘Ar-Rahmaanu Akbar’, maka hal itu tidak diperbolehkan. Yang harus digunakan adalah lafadz Allahu dan lafadz Akbar sehingga ketika digabung menjadi lafadz ‘Allahu Akbar’.

Kelima, tertib antara dua lafadz. Lafadz takbir yang sudah ditentukan itu harus dibaca secara berurutan atau tertib. Tidak diperbolehkan membaca lafadz takbir secara terbalik seperti ‘Akbar Allah’. Seorang musalli harus memperhatikan bacaan takbir. Jangan sampai bacaan takbirnay dibaca tidak berurutan atau terbalik. Karena hal itu akan membuat takbir musalli tidak sah.

Keenam, tidak memanjangkan huruf hamzahnya lafadz Allah. Membaca lafadz takbir tidak sembarangan, ada tata caranya. Tata cara tersebut berkaitan dengan ilmu tajwid, yaitu tentang kapan suatu huruf dibaca panjang atau dibaca pendek. Dalam membaca lafadz Allah ketika takbir, huruf hamzahnya tidak diperbolehkan dibaca panjang karena seharusnya memang dibaca pendek. Apabila dibaca panjang, maka tentu akan merusak makna lafadz Allah itu sendiri.

Ketujuh, tidak memanjangkan huruf ba’-nya lafadz Akbar. Selain tidak memanjangkan hamzahnya lafadz Allah, hal yang harus diperhatikan oleh musalli adalah tidak memanjangkan huruf ba’-nya lafadz Akbar. Lagi-lagi dalam hal ini ilmu tajwid punya peranan penting untuk menunjukkan kapan suatu huruf harus dibaca Panjang atau dibaca pendek. Huruf ba’-nya lafadz Akbar tidak boleh dibaca panjang. Apabila dibaca panjang, maka takbirnya tentu tidak sah.

Kedelapan, tidak mentasydidkan huruf ba’-nya lafadz Akbar. Sungguh ilmu tajwid mempunyai peranan penting. Dalam syarat sah takbir yang kedelapan ini, huruf ba’-nya lafadz Akbar tidak boleh diberi tasydid. Misalkan dibaca ‘Allahu Akabbar’. Bacaan seperti itu tidak diperbolehkan, karena ba’-nya diberi tasydid. Apabila dibaca seperti itu, selain takbirnya tidak akan sah juga akan merusak makna dari lafadz Akbar.

Kesembilan, tidak menambahi wau sukun atau berharakat diantara dua kalimat. Lafadz takbir yang sudah ditentukan itu tidak boleh dikurangi atau ditambahi. Misalkan ditambahi wau sukun seperti lafadz ‘Allahuu Akbar—اللهو أكبر’ atau ditambahi wau berharakat seperti lafadz ‘Allahu Wa Akbar—الله و أكبر’, maka hal seperti itu tidak diperbolehkan karena akan merusak makna lafadz Allahu Akbar. Oleh karena itu, lafadz Allahu Akbar tidak diboleh ditambahi wau sukun atau berharakat diantara kalimat Allah dan kalimat Akbar.

Kesepuluh, tidak menambahi wau sebelum lafadz jalalah. Lafadz Allahu Akbar itu harus sepi dari imbuhan apa pun. Baik di awal, tengah maupun di akhir. Sehingga ketika lafadz takbir diberi imbuhan, maka seperti penjelasan di atas, akan merusak maknanya. Dan, dalam hal ini Syaikh Salim juga menyebutkan bahwa sebelum lafadz Allah tidak boleh ditambahi wau. Apabila ditambahi, seperti lafadz ‘Wallahu—والله', maka maknanya lafadz Allah akan berubah dengan imbuhan wau tersebut.

Kesebelas, tidak boleh berhenti diantara kalimat takbir, baik lama maupun sebentar. Seorang musalli ketika mengucapkan lafadz takbir, maka tidak diperbolehkan diputus-putus antara kalimat Allah dan kalimat Akbar. Keduanya tidak dapat dipisahkan, harus dibaca secara utuh tanpa dijeda antara kalimat Allah dan kalimat Akbar. Apabila musalli sampai menjeda antara lafadz Allah dan lafadz Akbar, maka tentu akan merusak makna keduanya. Sehingga dalam pelafadzannya, lafadz takbir tidak boleh dibaca terpisah atau terjeda, baik lama ataupun sebentar.

Kedua belas, harus didengar diri sendiri seluruh hurufnya. Membaca lafadz takbir hurufnya harus jelas dan didengar oleh diri musalli. Seorang musalli pasti akan merasakan bahwa ia sedang membaca lafadz takbir walaupun pendengarannya terganggu atau karena ramai. Minimal, seorang musalli merasakan bahwa ia membaca takbir walaupun apa yang ia baca tidak bisa didengar karena ramainya keadaan atau memang pendengarannya terganggu.

Baca juga : 

Ketiga belas, harus masuk waktu salat yang mempunyai waktu. Salat ada yang mempunyai waktu dan ada yang tidak mempunyai waktu. Artinya, salat itu ada waktunya. Namun, salat juga tidak ada waktunya, seperti salat sunnah muthlaq dan semacamnya. Yang dimaksud syarat sah takbir yang ketigabelas ini adalah masuk pada waktu salat yang mempunyai waktu, baik salat fardhu maupun salat sunnah. Jadi, seorang musalli apabila ingin membaca takbir harus masuk pada waktunya salat yang mempunyai waktu, seperti salat fardhu maupun sunnah.

Keempat belas, harus menghadap qiblat. Sebagaimana rukun salat, yaitu menghadap ke arah qiblat. Lafadz takbir ketika akan dibaca oleh musalli, posisi musalli harus menghadap ke arah qiblat. Tidak boleh menghadap ke lain arah, harus menghadap qiblat. Apabila musalli membaca takbir sedang dirinya tidak menghadap qiblat, maka tentu takbirnya tidak sah dan salatnya pun tidak sah.

Kelima belas, tidak merusak sebagian huruf lafadz takbir. Musalli ketika membaca lafadz takbir tidak diperbolehkan merusak sebagian huruf dari semua huruf lafadz takbir. Misalkan, huruf hamzahnya diganti huruf wau, maka hal itu tidak diperbolehkan karena akan merusak makna lafadz takbir. Oleh karena itu, seorang musalli harus membaca lafadz takbir dengan sempurna, jernih tanpa merusak Sebagian dari huruf lafadz takbir atau merusak semuanya seperti penjelasan di atas.

Keenam belas, mengakhirkan takbir ma’mum dari takbirnya imam. Orang yang melakukan salat dengan berjamaah, sebagai ma’mum harus mengakhiri takbirnya imam. Artinya, ma’mum harus membaca takbir setelah imam membaca takbir. Tidak boleh seorang makmum mendahului takbirnya seorang imam karena akan merusak salatnya sebagai ma’mum. Sudah seharusnya, ma’mum mengikuti imam. Mengikuti dalam hal ini adalah tidak mendahului gerakan imam. Jangankan mendahului, bersamaan saja dengan imam tidak diperbolehkan. Harus mengakhiri gerakan takbir imam, tidak boleh mendahului ataupun bersamaan.

فصل: شروط تكبيرة الإحرام ستة عشر أن تقع حالة القيام في الفرض وأن تكون بالعربية وأن تكون بلفظ الجلالة وبلفظ أكبر والترتيب بين اللفظين وأن لا يمد همزة الجلالة وعدم مد باء أكبر وأن لا يشدد الباء وأن لا يزيد واوا ساكنة أو متحركة بين الكلمتين وأن لا يزيد واوا قبل الجلالة وأن لا يقف بين كلمتي التكبير وقفة طويلة ولا قصيرة وأن يسمع نفسه جميع حروفها ودخلول الوقت في المؤقت وإيقاعها حال الإستقبال وأن لا يخل بحرف من حروفها وتأخير تكبيرة المأموم عن تكبيرة الإمام.

Artinya: “Syarat sah takbiratul ihram itu ada enam belas. Pertama, harus dibaca ketika berdiri dalam salat fardhu. Kedua, harus menggunakan Bahasa Arab. Ketiga dan keempat harus menggunakan lafdzul jalalah dan lafadz akbar. Kelima, tertib antara dua lafadz. Keenam, tidak memanjangkan huruf hamzahnya lafadz Allah. Ketujuh, tidak memanjangkan huruf ba’-nya lafadz Akbar. Kedelapan, tidak mentasydidkan huruf ba’-nya lafadz Akbar. Kesembilan, tidak menambahi wau sukun atau berharakat diantara dua kalimat. Kesepuluh, tidak menambahi wau sebelum lafadz jalalah. Kesebelas, tidak boleh berhenti diantara kalimat takbir, baik lama maupun sebentar. Keduabelas, harus didengar diri sendiri seluruh hurufnya. Ketigabelas, harus masuk waktu salat yang mempunyai waktu. Keempatbelas, harus menghadap qiblat. Kelimabelas, tidak merusak sebagian huruf lafadz takbir. Keenambelas, mengakhirkan takbir ma’mum dari takbirnya imam.” (Matan Safinatun Naja, 59-60).


Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN