Puasa dalam Perspektif Kitab Hikmah At-tasyri Wa Falsafatuhu

Ilustrasi, Berpuasa dapat Menepis Sifat Kebinatangan, Hal tersebut termaktub dalam Kitab At-tasyri wa Falsafatuhu (Foto : Tim Kreatif) 
Sepintas, kitab Hikmah Al-Tasyri Wa Falsafatuhu adalah salah satu karya monemonetal Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi yang hidup di Mesir pada tahun 1905 M sampai dengan 1956 M. Al-Jurjawi hidup pada zaman di mana pada saat itu terjadi kegoncangan, khususnya di wilayah Mesir.

Mesir pada saat itu sedang berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Perancis yang selalu mengusik ketenangannya. Hal tersebut berpengaruh pada masalah keilmuan yang ditekuninya. Di mana pada tahun 1920-an ia mengalami banyak kesulitan dalam mencari buku  yang ideal, khususnya mengenai masalah hukum dan hikmah-hikmah atau rahasia-rahasia yang ada dalam ajaran Islam.

Berawal dari situasi semacam itu al-Jurjawi bisa mendapat banyak ide dan bertekad bulat untuk membuat kitab yang membahas mengenai hikmah-hikmah ajaran Islam. Itu semua dilakukan demi mengembangkan  keilmuan Islam yang pada kenyataanya masih banyak kesulitan.

Dalam kitab ini ada dua pendekatan yang mendasari dilegislasikannya hukum islam, yaitu pendekatan filosofi dan pendekatan rasionalitas hukum.

Pendekatan filosofi, kerangka dasar yang mempengaruhi kitab ini dapat dibagi 4 karakter, yaitu:

  1. Pengetahuan terhadap Allah SWT, baik dari sisi keesaan Allah SWT, mengetahui sifat-sifat kemuliaan Allah SWT (sifat yang wajib, mustahil dan sifat yang jaiz bagi Allah SWT).
  2. Melaksanakan ibadah kepada Allah SWT dengan ikhlas sebagai rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan-Nya
  3. Motivasi amar Ma’ruf Nahi Munkar yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari melalui etika yang baik dengan sesama, bertanggung jawab atas amanah yang diberikannya, sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dan lain sebagainya sehingga terbentuklah harkat dan martabat yang tinggi baik disisi Allah SWT atau disisi manusia lainnya.
  4. Langkah preventif untuk tidak melampaui batas hukum yang telah ditetapkan dalam kehidupan sosial.

Baca Juga :

Pendekatan rasionalitas hukum, hal ini bisa dilihat dari referensi yang menjadi landasan hukumnya seperti dalil naqli (al-Qur’an dan al-Hadits), ‘illat hukum dan menggunakan logika berpikir yang disesuaikan dengan teks dan konteksnya.

Puasa dalam perspektif kitab Hikmah Al-Tasyri Wa Falsafatuhu mengandung beberapa hal penting di dalamnya, antara lain:

Pertama, Aspek Spiritual (Hubungan Manusia dengan Allah SWT).

Aspek  spiritual  merupakan nilai-nilai  ketuhanan  yang  terkandung  dalam ibadah  yang  dapat  menghubungkan  manusia  dengan  Sang Pencipta. Karena melaksanakan ibadah puasa adalah sebagai tanda rasa terima kasih atau syukur pada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan dan tidak terhitung jumlahnya. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ 

Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7).

Puasa ditinjau secara aspek spiritual merupakan jalan dari masing-masing manusia yang penuh dengan kepasrahan (berserah  diri). Apa yang  dilakukan  tersebut  semata-mata sebagai  salah  satu  bentuk  riil dari rasa ketaqwaan yang tinggi hanya kepada Allah SWT, meskipun banyak halangan yang harus dihadapi.

Kalau orang sudah bisa melakukan hal tersebut, maka ia akan mudah mendapatkan  kebahagiaan, baik dunia lebih-lebih di akhirat kelak.

Kedua, Puasa dapat Menepis Sifat Kebinatangan.

Manusia memiliki sifat kebinatangan walau hanya sebagaian, yaitu hanya bergairah kepada makan dan minum. Pada dasarnya, semua itu hanya untuk menuruti nafsunya saja sebagai ciri khas dari sifat binatang dengan anggapan bahwa manusia adalah hewan yang dapat berfikir. 

Apabila manusia bisa menahan diri dari sifat kebinatangan untuk mendapat kelezatan seperti makan, minum, hubungan seks dan sebagainya, maka akan  mengakibatkan manusia  dapat  terbebas  dari  sifat-sifat  kebinatangan dan  ia lebih  dekat kepada  sifat  kemalaikatan. 

Hal itu akan berpengaruh pada pelaksanaan ibadah-ibadah yang lain. Manusia  dapat  melaksanakan  ibadah  dengan diliputi kejiwaan yang ikhlas, bersih dari noda-noda keraguan dan kebingungan  akibat dari pelaksanaan  ibadah yang sesuai dengan  aturan.

Dari hal  itulah akan  menjadikan orang taat serta malu kepada Allah SWT dan kebalikannya orang yang kenyang akan selalu digoda oleh syetan. Rasulullah SAW bersabda: 

إن الشيطان يجري من ابن آدم مجرى الدم، فضيقوا مجاريه بالجوع والعطش

Artinya: “sesungguhnya syetan akan mengitari manusia dengan mengikuti aliran darah ditubuhnya, dan pembuluh darahnya akan menyempit disebabkan karena lapar dan dahaga.”

Ketiga, Aspek Psikologis.

Puasa dijadikan sebagai media untuk melemahkan nafsu syahwat bersetubuh pada manusia. Fitroh manusia adalah mempunyai keinginan untuk melakukan hubungan seksual, baik yang masih lajang lebih-lebih yang sudah melaksanakan pernikahan.

Islam sangat menganjurkan umatnya untuk melaksanakan pernikahan bahkan Nabi Muhammad SAW menjadikan nikah sebagai salah satu indikator manusia diakui sebagai ummatnya. Akan tetapi, bagi orang yang belum memenuhi syarat dan rukun pernikahan, maka Islam menganjurkan untuk berpuasa karena dengan puasa bisa meminimalisir syahwat manusia untuk termotivasi melakukan dosa. Hal ini juga berlaku bagi orang yang berkeluarga karena ia harus menahan diri dari bersenggama di siang hari. 

Keempat, Aspek Sosiologis (Hubungan Antar Manusia).

Puasa adalah cara mengingatkan orang kaya kepada penderitaan seperti yang dialami fakir miskin sehingga setelah melaksanakan puasa diharap orang kaya tersebut nantinya akan mampu mengasihi dan menyayangi, yakni dengan cara ditempatkan   dalam  kesempitan. Dengan tujuan orang terebut bisa sekaligus ikut merasakannya.

Hal itu bisa menjadi pelajaran bagi orang kaya untuk lebih mengetahui perasaan orang lapar maka orang tersebut harus ikut berlapar-lapar. 

Suatu ketika di permulaan Ramadan, baginda Nabi Muhammad SAW berpesan, "Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah SWT dengan membawa berkah rahmat dan maghfirah. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan-Nya di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fuqara’ dan masakin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraannmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu. (HR. Ibnu Huzaimah).

Puasa adalah obat dari segala macam penyakit. Penyakit jauh dari Allah SWT, puasa jawabannya, penyakit renggang dengan sesama maka puasa solusinya, hawa nafsu sebagai fitrah manusia ketika selalu mengajak akan kejelakan dan kejahatan, maka puasa juga sebagai pencegahnya. Oleh karena itu, istiqomahlah berpuasa agar hidup menjadi bahagia.


Penulis : Abdul Wasik, M. HI, Ketua Tanfidziyah MWC NU Wonosari

Editor : Muhlas

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN