Puasa dan Kesejahteraan Sosial

Abdul Wasik, Ketua Tanfidziyah MWC NU Wonosari
Di hari keenam puasa tepatnya Ahad, 18 April 2021 kami mendengar langsung kajian keislaman di salah satu radio dengan kajian tentang hikmah puasa. Kajian ini adalah salah satu inspirasi tulisan yang kami beri judul “Puasa dan Kesejahteraan Sosial”.

Sang kiai menyampaikan tentang sejarah Nabi Muhammad SAW. Suatu ketika di permulaan Ramadan, baginda Nabi Muhammad SAW berpesan, "Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah SWT dengan membawa berkah rahmat dan maghfirah. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan-Nya di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum Fuqara' dan Masakin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu." (HR. Ibnu Huzaimah).

Hadits ini menggambarkan bahwa kepedulian sosial merupakan salah satu intisari ibadah Ramadan yang harus dicapai setiap Muslim. Bahkan, mungkin tidak berlebihan bila kita katakan bahwasanya puasa Ramadan yang menjadi kegiatan utama dalam bulan suci tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah aktivitas yang menggugah solidaritas sesama manusia.

Dalam puasa, seseorang dilatih untuk merasakan lapar dan haus selama sehari lamanya, dan hal ini dilakukannya bukan hanya sehari tapi sebulan lamanya dengan “Imaanan Wahtisaaban”.

Hal yang serupa dan selalu dirasakan kaum fakir dan miskin bukan hanya sebulan bahkan selama hidupnya. Di sini, _sense of crisis_ seseorang terasah hingga muncul rasa empati terhadap penderitaan orang-orang miskin di sekitarnya. Dari empati lahirlah kasih sayang sehingga yang memiliki kecukupan harta dapat mengerti mengapa mereka harus memberi makan orang miskin.

Sedekah amat dianjurkan pada Bulan Ramadan ini sebagai bentuk rasa empati kaum muslim sesama muslimnya. Memberi makanan berbuka pada orang yang berpuasa pahalanya sama nilainya dengan  memerdekakan seorang budak dan berpuasa itu sendiri.

Baca Juga :

Dengan bersedekah dan memberi makan orang yang berbuka, setiap jiwa dilatih untuk murah hati dan berperilaku dermawan. Mengasihi anak yatim pada Bulan Ramadan memiliki keutamaan lain yang tidak kalah besarnya. Ungkapan ''Niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu'' menjadi jaminan langsung dari Nabi Muhammad SAW bahwa kebaikan kelak berbalas kebaikan.

Ibaratnya, menyantuni anak yatim sama dengan membayar premi asuransi yang kelak akan diwariskan (klaim asuransi tersebut) kepada anak cucu yang ditinggalkan. Belum lagi kewajiban zakat yang memaksa umat untuk benar-benar peduli dengan orang susah.

Selain zakat fitrah yang wajib dibayar pada akhir Ramadan, bulan ini juga menjadi waktu yang tepat sebagai perhitungan nisab zakat maal. Tidak ada momentum yang paling signifikan dalam mengasah kepekaan dan kepedulian sosial selain bulan yang penuh anugerah ini.

Pembangunan kesejahteraan sosial untuk menyejahterakan masyarakat bukan semata tugas negara. Agama sangat menyerukan umatnya untuk peduli terhadap sesama.

Dalam Islam, tidak  diperkenankan seseorang makan hingga kenyang sementara ada tetangganya kelaparan. Islam tidak memperbolehkan umatnya menimbun harta secara berlebihan.

Khalifah keempat, Sayyidina Ali R.A pernah mengatakan, ''Allah SWT berfirman bahwa orang kaya harus menginfakkan hartanya dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan orang miskin. Jika kaum miskin tidak mendapatkan makanan atau pakaian, ini karena orang kaya tidak melaksanakan kewajibannya, Allah SWT akan menyiksanya di hari pembalasan." Naudzubillah.

Mewujudkan kesejahteraan sosial melalui pembangunan kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.

Bagi pemerintah, tentunya perlindungan terhadap orang-orang miskin dan terlantar harus terus diupayakan sebagaimana telah diamanatkan Undang-undang Dasar. Pemerintah juga harus mendorong umat serta memfasilitasi mereka untuk senantiasa aktif dan peduli dalam membantu sesama dengan cara kewajiban membayar pajaknya, dan Islam mendekatkan sosial menjaga hubungan antara si kaya dan miskin dengan cara meningkatkan kepekaan sosial melalui puasa, zakat dan cara-cara lainnya.

Walhasil, dalam perjalanan menyelesaikan ibadah puasa ini dengan segala rangkaiannya tidak hanya memenuhi kewajiban kepada sang penciptanya “theosentris”, akan tetapi dengan ibadah puasa ini bisa menjadi sarana untuk menggerakkan dan memotivasi diri melakukan kreativitas sosial kemasyarakatan dan perbaikan moralitas antar sesama “antroposentris”.

Kami yakin, ketika dua hal ini dilakukan secara konsisten dan kontinu maka predikat khairu ummah akan menjadi milik anda.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Imron ayat 110:

 كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ... (الآية).

Artinya: "Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah SWT..."

Barakallah.


Penulis : Abdul Wasik, Ketua Tanfidziyah MWC NU Wonosari

Editor : Muhlas

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN