Story Santri; Strategi Detektif Ala Santri Part 1

Ilustrasi, (Desainer : Tim Kreatif) 
“Ger!” Gertak Jailani membangunkan Toger setelah kajian kitab kuning usai. Dengan nyamannya ia memangku dagunya kemudian memejamkan matanya saat kajian kitab kuning baru dimulai sampai selesai.

“Hei, bangun. Ayo bangun!”

Jailani menarik-narik sarung Toger sampai ia mau bangun. Kajian kitab kuning sudah selesai, selanjutnya jam belajar. Sengaja Jailani membangunkannya untuk sama-sama menghafal materi ujiannya yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Ujiannya bukan ujian tulis melainkan ujian lisan, kata Jailani. Makanya, ia merasa kasihan kalau temannya tidak ikut mempersiapkan materi ujian lisan.

“Ah, begitu indahnya punya sahabat seperti itu,” gumamku yang duduk di dekat Toger.

Toger membuka mata tapi bukan untuk jam belajar. Ia malah membaringkan tubuhnya ke lantai. Kitab yang ia pegang diletakkan begitu saja di dekatnya. Jailani masih belum menyerah untuk membangunkan sahabatnya itu. Toger satu kelas dengannya. Ia tidak mau kalau Toger tidak naik kelas hanya karena tidak lolos ujian lisan. Prinsipnya, masuk bersama keluar pun harus bersama.

Baca Juga : 

Kaki Toger ia pegang erat-erat. Dalam hitungan ke tiga, ia tarik kaki Toger mengelilingi penyanggah musalla. Toger kaget namun tak sampai berteriak. Kalau sampai ia berteriak, pasti akan dimarahi oleh pengasuh pesantren, apalagi musalla santri putra sangat dekat dengan kediaman pengasuh pesantren. 5 m. Ya, sekitar 5 m itu jarak antara musalla dengan kediaman pengasuh pesantren.

“Ayo, Lek,” ajakku setelah Toger benar-benar bangun dari tidurnya.

“Monggo, Kak Las,” sahut Jailani.

Aku melangkah ke luar musalla. Sungguh malang nasibku. Sandalku tidak ada saat aku keluar dari musalla. Entah siapa kali ini yang mengenakan sandalku. Memang, sandalku ini seperti artis yang laku dimana-dimana. Pernah suatu ketika aku masuk ke kantor pengurus ingin mengambil handphone setelah keluar sandalku sudah tidak ada. Subhanallah.

Hal begini memang sudah lumrah, namun alangkah baiknya kalau dikurangi, karena perilaku demikian tidak ubahnya seperti orang mencuri. Pencuri sudah pasti ia akan mengambil barang orang lain tanpa permisi dan tidak akan mengembalikannya. Nah, ghasab ini sama saja dengan mencuri itu. Sama-sama mengambil barang orang lain tanpa permisi walaupun akhirnya dikembalikan lagi.

“Ayo, Kak Las,” ajak Toger mentang-mentang sandalnya sudah ia temukan.

“Gendong, Dik Ger,” jawabku.

“Siyeee. Sampean itu berat, Kak Las,” balas Toger sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“Pakai punya Khairul saja, Kak Las,” ucap Jailani menyarankan. Sandalnya juga ia temukan, namun punyaku belum juga ditemukan. Toger bilang ia sudah mencari ke asrama-asrama, namun hasilnya tidak ada.

“Rul, pinjam sandalnya,” kata Jailani setengah berteriak. Khairul berada di dalam musalla sedang aku, Jailani, dan Toger di serambi musalla.

“Sandalku ini hebat sekali, Lek. Tidak akrab dengan siapa pun, namun selalu dibawa oleh orang-orang sampai-sampai seperti bukan aku pemiliknya,” ketusku lalu berlalu ke kantor pengurus.

Seperti kebiasaanku dari dulu. Selalu kubasuh kaki dengan air saat mau masuk ke ruangan apa pun, baik itu musalla, masjid, asrama, kantor pengurus dan lain sebagainya. Hal itu kulakukan tak lain hanya bentuk kewaspadaanku akan najis yang bisa saja melekat pada kaki tanpa kusadari.

Toger dan Jailani masuk duluan ke kantor pengurus. Mereka tidak hanya berdua ternyata. Di kantor pengurus, Ghofur dan Qurtubi sudah mengulang-ngulang hasil hafalannya sambil menunggu pengurus yang lain berdatangan.

Aku masuk begitu saja ke kantor pengurus setelah mengucapkan salam. Jaket dan kopyah kubuka lalu kurapikan berdekatan dengan laptop. Toger, Jailani, Ghofur, dan Qurtubi berlomba-lomba mengeraskan suara mengulang hafalannya. Aku hanya memperhatikan saja sambil tersenyum. Aku juga pernah merasakan hal begitu saat dulu masih duduk di bangku kelas. Jujur, saat ujian lisan kurang sepekan aku tak pernah berada di asrama. Aku lebih banyak di luar asrama, khususnya tempat-tempat yang tidak pernah dijangkau oleh santri. Asrama hanya kugunakan untuk bersalin, selebihnya di luar mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian lisan.

Ujian lisan ini pamungkas dari segala kegiatan santri di akhir tahun. Santri di pesantrenku menyebutnya dengan exam-an, bagaimana dengan pesantrenmu?

* * *

“Ke halaman pesantren, yuk, Lek,” ajakku pada Jailani dan Toger. Mereka kuajak karena sudah merasa cukup mengulang hafalannya. Itu kutahu karena mereka tak lagi memegang kitabnya, yang mereka pegang justru sepuntung rokok. Karenanya kuajak mereka ke halaman pesantren.

Tak ada lagi yang mau kuajak, karena memang mereka berdualah yang selalu bersamaku. Mereka sangat akrab denganku dan setiap ada apa-apa mesti aku mengajak salah satunya atau dua-duanya. Bagiku, mereka adalah patner yang hebat. Merekalah yang menemaniku selama berada di kantor pengurus. Susah senang dijalani bersama, lapar satu lapar semua, makan satu makan semua. Ah, indahnya persahabatan.

“Ayo, Kak Las. Bosan di sini terus,” sahut Jailani.

“Sama saja, Lek,” timpal Toger.

“Exam-an sudah dekat hafalan masih belum hafal. Doookah,” tambah Toger.

Kuambil jaket dan kopyah kemudian kukenakan sambil berjalan ke luar kantor. Apes, sungguh apes. Tadi, saat aku mau turun dari musalla sandalku tidak ada dan sekarang sandalku tidak ada lagi. Huffst.

“Siapa lagi yang pakai sandalku,” gerutuku sedikit kesal. Kusuruh Toger untuk mencari sandalku ke asrama-asrama barangkali ada di sana.

Baca Juga : 

Toger berkeliling mencari sandalku dan beruntungnya aku Toger langsung menemukan sandalku yang rupanya dipakai si Fadli, saudara Toger yang entah saudara dari mana. Yang kutahu, Toger dan Fadli bersaudara. Toger memanggil Om pada Fadli dan Fadli memanggil Kacong pada Toger.

“Makan, Kak Las, Lek Jai, Ger,” ucap Rozak membawa sepiring nasi yang di atasnya ditaburi sosis goreng dan beberapa sendok saus.

Langkahku terhenti melihat Rozak membawa nasi itu. Perutku memang lapar karena tadi sore tidak mengambil jatah makan. Biasanya aku dibanguni, tapi tadi sore tidak seperti biasanya. Waktu mengambil jatah makan sudah habis, tapi untungnya waktu salat Ashar masih ada.

Aku makan terlebih dahulu sebelum ke halaman pesantren. Toger dan Jailani sudah kenyang katanya, mereka hanya memperhatikanku dan Rozak yang dengan lahapnya mengunyah makanan sesuap demi sesuap. Rozak tak banyak bicara, ia hanya fokus pada nasinya. Aku pun begitu, tak jauh beda dengan Rozak.

“Kak Las, duluan, ya. Tak tunggu di halaman pesantren,” kata Toger kemudian berlalu dengan Jailani.

* * *

Toger dan Jailani memilih depan kantor MTs untuk sekadar menikmati suasana baru ketimbang kantor pengurus. Di depan kantor MTs sepi tanpa penghuni dan sulit dijamah oleh pandangan mata. Santri-santri jarang sekali menempati tempat ini. Biasanya, kalau berjalan di malam hari dari gerbang utama pesantren menuju halaman, kantor MTs hanya dijadikan pemandangan yang kadangkala berpenghuni dan kadang tidak.

Biasanya lagi, tempat ini dijadikan alternatif lain untuk berjaga oleh satpam. Tapi, itu hanya kadangkala bukan skala prioritas. Malam ini, di sini tidak ada siapa-siapa hanya angin sepoi-sepoi yang terus berkelinjang dan menyentuh halus badan.

“Lama sekali, Kak Muhlas, Ger,” Jailani merasani.

Toger tak langsung menjawab. Mulutnya tertutup oleh sebatang rokok Kuda Hitam. Kepulan demi kepulan asap rokok berbentuk lingkaran keluar begitu saja dari mulutnya. Ia sangat menikmati dan rasanya seperti tidak memiliki hutang sama sekali. Tapi, itu kalau tidak ditagih, ya. Hehehe.

“Mungkin masih minum atau perjalanan ke sini, Lek,” kata Toger.

“Lah wong nasinya hanya sepiring masak sampai selama ini,” ketus Jailani.

Sebatang rokok Kuda Hitam diambil oleh Jailani. Korek apinya dipegang Toger. Jailani siap menghidupkan rokoknya, tapi oleh Toger tak diberi pinjaman korek api. Katanya, korek api lebih mahal dari pada rokok. Spontan Jailani memukul Toger sambil tertawa.

“Jangan pelit-pelit jadi orang,” kata Jailani merampas korek api di tangan Toger.

“Kalau orang yang ingin meminjam barangmu dengan baik-baik tidak kau kasih, maka jangan salahkan kalau barangmu hilang tanpa jejak,” imbuh Jailani dengan kepulan asap rokoknya.

* * *

Baru melangkahkan kaki beberapa langkah, ada suara memanggil namaku setengah berteriak. Kutoleh ke belakang. Ternyata Khairul yang memanggilku.

“Kak Las, aku ada perlu dengan sampean,” kata Khairul setelah menghampiriku.

Masih di depan kantor pengurus. Khairul duduk dan menceritakan keganjalannya. Ia bilang kalau ada santri yang mencuri dan harus ditindak sebagaimana santri-santri yang lain. Namun, Khairul merasa ragu untuk melakukan tindakan itu, karenanya ia mendatangiku.

“Bukti-buktinya sudah jelas, Lek?”

“Kalau bukti masih kurang kuat, Kak Las. Tapi, aku yakin kalau dia pelakunya.”

Aku tak banyak cakap langsung kubawa saja Khairul ke halaman pesantren untuk menemui Jailani selaku biro keamanan di pesantren.

Di halaman pesantren aku tak melihat siapa pun padahal tadi Jailani dan Toger bilang kalau akan menunggu di halaman pesantren. Aku jalan begitu saja dengan Khairul menuju gerbang utama pesantren dan alhasil Toger dan Jailani ada di depan kantor MTs. Itu kuketahui saat aku menolehkan wajah ke barat.

Melihat aku datang dengan Khairul, Toger dengan sigapnya mengambilkan kursi di depan kelas MTs untukku dan Khairul. Kami pun duduk melingkar dengan sebungkus rokok Kuda Hitam. Jailani langsung menawarkan rokoknya ke Khairul dan langsung diambil sebatang oleh Khairul yang juga pecandu rokok.

Lanjut Baca : 

“Ini ada masalah katanya, Lek Jai,” ucapku mengawali pembicaraan.

“Rokok dulu, Rul, biar otak fresh dan bisa santai mencari solusinya,” jawab Jailani.

Kulihat sudah ada tiga putungan rokok di asbak yang terbuat dari kertas. Perokoknya hanya Toger dan Jailani, tapi kenapa ada tiga putungan rokok? Padahal, hanya Jailani dan Toger yang sedari tadi di sini.

“Siapa yang ngabisin rokok dua batang, Lek?” Tanyaku pada Jailani dan Toger.

“Tidak ada, Kak Las,” sahut Toger.

“Itu ada tiga karena tadi si Reno ke sini, Kak Las. Lumayan lama Reno di sini dan menghabiskan sebatang rokok,” Jailani menjelaskan.

“Katanya, ada yang melanggar keluar pesantren tanpa ijin,” lanjut Jailani.

Persoalan di pesantren memang tidak ada habis-habisnya. Selesai masalah pertama, timbul masalah ke dua dan selanjutnya. Pengurus sudah selayaknya mengurusi setiap ada permasalahan karena pengurus bukanlah orang yang diurus melainkan yang mengurusi.

Siap tidak siap menjadi pengurus harus siap walaupun itu tidak mudah. Pengasuh pernah berkata, “Mau menjadi apa harus siap diapa-apakan.” Menjadi pengurus maka harus siap mengurusi. Jangan sampai pengurus yang seharusnya mengurusi malah diurusi. Itu keliru besar.

Rencana awal duduk santai di halaman pesantren hanya untuk meringankan beban pikiran, namun keinginan itu tidak 100% dicapai oleh Jailani, Toger dan aku. Jailani didatangi Reno dengan sebuah permasalahan yang kerap kali dilakukan oleh semua santri, yaitu keluar tanpa ijin. Dan, aku didatangi Khairul masalah pencurian yang diduga dilakukan oleh santri seasramanya sendiri.

“Apa pun bentuk pelanggarannya, harus ditindak, Lek,” papar Jailani setelah mendengarkan Khairul bercerita tentang masalahnya.

“Buktinya masih kurang kuat, Lek. Aku masih curiga ke dia bukan menuduh,” Khairul memperjelas.

“Aku curiga ke dia karena dia itu satu-satunya santri yang benci pada asramaku. Dan, kata salah satu teman asrama itu semalam ia melihat orang kurus agak tinggi mengotak-atik lemari,” tambah Khairul.

Jailani masih berpikir sejenak. Toger asyik dengan rokoknya dan aku justru tidak kuat menahan sakitnya perut yang menghantamku beberapa menit lalu. Jailani belum berbicara dan aku paham selanjutnya adalah tahap introgasi dengan orang-orang yang disebut oleh Khairul tadi untuk menguatkan bukti.

“Lek, aku ke kamar mandi dulu, ya,” kataku lalu bergegas ke kamar mandi.

* * *


Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN