Sarung dan Kasta Sosial

Sholehudin Al- Ghazali, Aktivis PMII STAI At- Taqwa
Dalam tinjauan sejarah, untuk pertama kalinya sarung masuk ke Nusantara sekitar abad ke-14 yang dibawa oleh para saudagar Arab dan Gujarat dalam menyebarkan agama islam, sehingga sarung diidentikkan dengan salah satu kebudayaan islam.

Pada saat penduduk kolonial di Nusantara, sarung merupakan simbol perlawanan dalam memerangi budaya barat yang dibawa oleh para penjajah Belanda saat itu.

Di Arab sarung dikenal dengan nama waazar atau ma’awis, izaar di Arab Saudi atau Wizaar di negara Oman. Bahkan di India Selatan sarung dikenal dengan Mundus yang biasa dipakai untuk upacara adat keagamaan.

Baca juga :

Fenomena sarung secara konsisten telah diterapkan oleh para santri kala itu, disaat yang bersamaan pula kaum nasionalis abangan hampir meninggalkan budaya sarungan. Karena terpengaruh kuat oleh mengguritanya budaya barat di Nusantara.

Sikap konsisten penggunaan sarung juga diterapkan oleh salah seorang pejuang Muslim Nusantara, yakni KH. Abdul Wahab Chasbullah, seorang kyai yang menjadi tokoh sentral di Nahdhatul Ulama (NU). 

Suatu ketika, KH. Abdul Wahab Chasbullah pernah diundang Presiden Soekarno. Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. 

Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, ia datang menggunakan jas tetapi bawahannya sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang. Sebagai pejuang yang sering terjun langsung ke medan tempur, tentu ada hal yang ingin beliau tunjukkan, selain sebagai simbol perlawanan juga ingin menunjukkan identitas dan jati diri bangsanya dihadapan penjajah.

Saat ini, trend fashion sarung telah benar-benar menjadi budaya dan melekat di masyarakat Indonesia, terutama di kalangan umat muslim. Meskipun, juga ada dikalangan non muslim seperti di Bali dan daerah lainnya di Indonesia.

Dilihat dari jenis dan merknya, sarung juga dapat melihat status sosial masyarakat. Sarung bermerk seperti BHS dan Lamiri misalkan, jenis sarung yang memiliki kualitas dan nilai jual yang mahal. Biasanya sarung merk BHS dan Lamiri ini dikenakan oleh Kyai, Pejabat dan orang yang memiliki ekonomi mapan. Hal ini dapat kita temukan dalam acara-acara besar keagamaan dan kenegaraan, serta aktivitas keseharian.

Dikalangan masyarakat biasa, seperti buruh, pekerja kasar dan santri seperti saya. Biasanya sarung yang digunakan adalah merk kelas menengah kebawah, sebut saja Wadimor, Mangga dan sebagainya. Sebetulnya ada juga yang mengenakan merk berkelas, hasil hibah dan shodaqoh biasanya, hehe.

Sarung memang tidak pernah sepi peminat, dari kalangan masyarakat bawah sampai atas pasti pernah mengenakannya dan memilikinya. Karena sarung dianggap multi fungsi. Selain elastis untuk beribadah, masih ada segudang manfaat dari sarung tersebut. Yuk, kita pakai sarung!


Sumber : 

-Ensiklopedia Britanica
-Asal Muasal Kain Sarung



Penulis : Sholehudin Al- Ghazali, Marbot Masjid NU Bondowoso

Editor : Haris

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN