Amaliah Nahdliyyah yang Hampir Hilang

Abdul Wasik, M.Hi, Ketua (Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama) MWC NU Kecamatan Wonosari
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan yang berfaham Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) banyak mendapat sorotan. Bukan tanpa alasan mereka menuding NU sebagai umat kolot yang terjebak dalam khurafat, bid'ah dan bahkan murtad dan kafir. 

Kalau hanya dilihat sepintas, memang seolah kita adalah ahli bid'ah, karena banyak amaliyah (perbuatan) yang kita kerjakan, secara langsung tidak ada dalam al-Quran atau al-Hadits. 

Para salafunas shaleh yang menjadi teladan kita menciptakan amaliyah seperti itu berdasarkan ijtihad dan kemaslahatan umat dan tak satu pun amaliyah yang beliau ciptakan itu tanpa tujuan. Dalam bagian ini, ada beberapa amaliyah kita yang mereka anggap sebagai bid'ah. 

Di bidang ibadah shalat yang mereka klaim sebagai bid'ah yang sesat banyak sekali. Di bawah ini ada beberapa hal, antara lain adalah:

Pertama, membaca doa iftitah. Doa iftitah adalah doa yang dibaca setelah takbiratul ihram waktu shalat. Mengenai bentuk bacaannya cukup bervariasi (banyak macamnya). Dalam ASWAJA kita (NU), membaca doa iftitah ketika shalat hukumnya sunnah.  Dasar haditsnya adalah:

691 - 

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا كَبَّرَ اسْتَفْتَحَ ثُمَّ قَالَ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ إِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.

Artinya: "Dari Ali bin Abi Thalib RA, sesungguhnya Rasulullah Saw. ketika selesai bertakbir membuka shalat, kemudian Rasulullah Saw. membaca Wajjahtu wajhiya dst………" (Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 02, hlm. 197).

Baca juga : 

Kedua, membaca tasbih dan tahmid ketika sujud dan ruku'. Membaca tasbih dan tahmid ketika ruku' dan sujud merupakan teladan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dasarnya adalah hadits berikut ini:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ بِمَعْنَاهُ زَادَ قَالَ فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَكَعَ قَالَ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ ثَلاَثًا وَإِذَا سَجَدَ قَالَ سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ ثَلاَثًا

Artinya: "Dari 'Uqbah bin 'Amir dengan lafazh yang senada dengan hadits sebelumnya, dia menambahkan, apabila Rasulullah SAW. melakukan ruku', maka beliau membaca subhaana rabbiyal ‘adziimi wabihamdihi tiga kali, dan manakala beliau bersujud, maka beliau membaca subhaana rabbiyal a’laa wabihamdihi tiga kali." (Sunan Abu Dawud, jld. 03, hlm. 35).

Ketiga, melafadzkan kata ‘Sayyidina’ dalam tasyahhud. Sementara orang beranggapan bahwa mengucapkan lafadz 'Sayyidina' dalam shalat adalah bid'ah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Nabi sendiri dengan penuh tawadhu memperkenalkan dirinya sebagai sayyid (pemimpin) manusia. Sebagaimana sabdanya:

4223 - 

حَدَّثَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya: "Abu Hurairah berbicara kepadaku, dia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: saya adalah sayyid (pemimpin) anak cucu Adam di hari kiamat." (Shahih Muslim, jld. 11, hlm. 383).

Kepemimpinan Nabi tidak hanya terjadi ketika Nabi berada di dunia, namun juga kelak di akhirat. Seorang pemimpin sepatutnya kita panggil dengan panggilan kebesaran. Dengan argumentasi inilah kita memanggil beliau dengan panggilan ‘Sayyidina’, baik di luar ataupun di dalam shalat. 

Keempat, mengangkat jari telunjuk ketika tasyahhud. Tuntunan shalat yang diajarkan bagi seseorang yang melakukan shalat ketika melakukan tasyahhud adalah meletakkan kedua telapak tangan di atas paha, jari-jari digenggam kecuali jari telunjuk, dan ketika membaca lafadz 'illallah' jari telunjuk diangkat. Praktik seperti ini juga dianggap sebagai bid'ah oleh sebagian golongan. Padahal praktik seperti ini didasarkan pada sabda Nabi, yaitu: 

913 - 

عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُعَاوِيِّ أَنَّهُ قَالَ رَآنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ وَأَنَا أَعْبَثُ بِالْحَصَى فِي الصَّلاَةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ نَهَانِي فَقَالَ اصْنَعْ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فَقُلْتُ وَكَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ قَالَ كَانَ إِذَا جَلَسَ فِي الصَّلاَةِ وَضَعَ كَفَّهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَقَبَضَ أَصَابِعَهُ كُلَّهَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الَّتِي تَلِي اْلإِبْهَامَ وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى

Artinya: "Dari Ali bin Abdur Rahman Al-Mu'awi, sesungguhnya dia berkata: Abdullah bin 'Umar melihat aku waktu shalat, sementara aku bermain kerikil. Ketika dia usai melakukan shalat, dia melarangku, lantas dia berkata: lakukanlah seperti yang telah dipraktikkan Rasulullah Saw. Kemudian aku bertanya: bagaimana yang telah dipraktikkan Rasulullah? Ibnu 'Umar menjawab: ketika beliau duduk waktu shalat, maka beliau meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas pahanya yang kanan seraya menggenggam seluruh jari-jemarinya dan memberi isyarat (mengangkat) dengan jari yang mengiringi ibu jarinya (telunjuknya), serta meletakkan telapak tangannya yang kiri di atas pahanya yang kiri." (Shahih Muslim, jld. 03, hlm. 231).

Kelima, mengusap wajah setelah shalat. Sebagaimana lazimnya yang kita lakukan, selesai salam kita biasa mengusapkan tangan ke wajah. Perbuatan ini bukan tanpa dasar. Dasarnya adalah:

1275 - 

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ

Artinya: "Dari As-Saib bin Yazid dari ayahnya, sesungguhnya Nabi Saw. manakala berdoa beliau mengangkat kedua tangannya dan mengusapkannya pada wajahnya." (Sunan Abu Dawud, jld. 4, hlm. 289).

Hadits di atas secara sharih (tegas) memang hanya menjelaskan mengusap wajah sehabis berdoa. Sementara mengenai mengusap wajah setelah shalat tidak disebutkan. Hal ini bukan berarti mengusap wajah setelah shalat tidak disunnahkan, dan dianggap bid'ah. Namun kesunnahan mengusap wajah adalah diperoleh dari proses analogi (Qiyas), karena antara shalat dan doa memiliki kesamaan, yaitu sama-sama doa. Bukankah shalat secara bahasa berarti do'a? 

Oleh karena itu, mengusap wajah setelah berdo'a dan shalat sama-sama disunnahkan, karena yang demikian itu merupakan tindakan meniru Nabi, baik meniru secara langsung atau tidak. Disamping itu, hadits di atas juga menepis dugaan orang yang mengatakan kalau mengangkat tangan sehabis doa adalah bid'ah. 

Kelima, berjabat tangan setelah shalat. Berjabat tangan adalah perbuatan yang disukai Nabi. Dengan berjabat tangan, yang beku menjadi mencair, yang panas menjadi mendingin, dan perselisihan dapat terselesaikan. Karena jabat tangan merupakan simbol persabahatan dan keakraban. Hal ini dicontohkan oleh Nabi, sebagaimana hadits berikut:

4536 - 

عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

Artinya: "Dari Al-Barra', dia berkata: bersabda Rasulullah Saw. tidak ada dari kedua orang Islam yang bertemu kemudian berjabat tangan kecuali keduanya sama-sama diampuni sebelum berpisah." (Sunan Abu Dawud, jld. 13,  hlm. 347).

Hadits ini memang tidak menjelaskan berjabat tangan setelah melakukan shalat. Sehingga dapat dibenarkan kalau orang di luar kita (NU) mengatakan bid'ah. Akan tetapi, bid'ah-nya adalah bid'ah hasanah (baik). Dikatakan baik karena mengandung nilai-nilai ukhuwah islamiyah (persahabatan dan keakraban).

Al-Habib Muhammad Baharun, Guru Besar Filsafat Islam menilai jabat tangan dari segi kebahasaan. Pertama, dilihat dari segi bahasa Arab. Dalam bahasa Arab jabat tangan adalah mushafahah. Kata mushafahah berasal dari kata shafah yang artinya halaman yang luas. Dengan begitu, secara filosofis berjabat tangan dapat mengantarkan si pelaku menjadi lapang hatinya seperti lapangnya halaman yang luas. 

Kedua, dilihat dari segi bahasa Madura. Berjabat tangan dalam bahasa Madura disebut dengan salaman. Salaman (jabatan tangan) kalau kita lihat dari segi bahasa Arab memiliki arti selamat. Dan salaman (jabatan tangan) pada hakikatnya adalah sama seperti ucapan salam. 

Sehingga kedua orang yang bersalaman sebenarnya adalah saling mendoakan selamat. Dengan melihat tujuan dan nilainya yang sangat mulia yang terkandung di dalamnya, tidak ada alasan untuk mengatakan berjabat tangan atau bersalaman sebagai bid'ah yang sesat dan tercela.

Keenam, membaca wirid setelah shalat. Wiridan atau yang biasa disebut dzikir setelah shalat adalah teladan yang dicontohkan Nabi. Dzikir yang dimaksud adalah membaca tasbih, tahmid, takbir, istigfar, tahlil, shalawat dan doa-doa lainya yang banyak disebutkan dalam beberapa hadits. Diantara dalilnya adalah:

1286 - 

أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ أَبُو ذَرٍّ يَا رَسُولَ اللهِ ذَهَبَ أَصْحَابُ الدُّثُورِ بِاْلأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَلَهُمْ فُضُولُ أَمْوَالٍ يَتَصَدَّقُونَ بِهَا وَلَيْسَ لَنَا مَالٌ نَتَصَدَّقُ بِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا ذَرٍّ أَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ تُدْرِكُ بِهِنَّ مَنْ سَبَقَكَ وَلاَ يَلْحَقُكَ مَنْ خَلْفَكَ إِلاَّ مَنْ أَخَذَ بِمِثْلِ عَمَلِكَ قَالَ بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ تُكَبِّرُ الله عَزَّ وَجَلَّ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَتَحْمَدُهُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَتُسَبِّحُهُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَتَخْتِمُهَا بِلاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ لَهُ ذُنُوبُهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ  

Artinya: "Abu Hurairah berkata: Abu Dzarr bertanya: Ya Rasulullah! Penduduk ad-Dutsur wafat membawa banyak pahala. Mereka bershalat sebagaimana kita shalat. Mereka berpuasa seperti kita berpuasa. Mereka memiliki harta lebih yang dibuat sedekah, sementara kita tidak memiliki hal itu. Kemudian Rasulullah SAW. bersabda: wahai Abu Dzarr! Maukah engkau kalau aku mengajarkan beberapa kalimat yang menyamai orang-orang yang mendahului kamu itu, dan tidak ada yang mampu menyamai kamu kecuali orang-orang yang melakukan seperti yang kamu lakukan? (membaca kalimat yang kamu baca) Abu Dzarr menjawab: tentu Ya Rasul. Setelah itu Rasul pun mengajarkan: kamu bertakbir kepada Allah 'Azza Wa Jalla sebanyak 33x setiap usai shalat, membaca hamdalah 33x, membaca tasbih 33x, dan kamu akhiri dengan bacaan La Ilaha illallah wahdahu dst…… (dan barangsiapa yang membaca hal tersebut) maka segala dosanya pasti diampuni oleh Allah sekalipun seperti buih di lautan." (Sunan Abu Dawud, jld. 04, hlm. 301).

Baca juga :

Mengenai hadits yang menerangkan tentang doa-doa dan dzikir-dzikir setelah melakukan shalat lima waktu ini sangat banyak. Dan bentuk dzikir atau doa yang ada dalam hadits-hadits tersebut cukup bervariasi. 

Untuk mengetahui hal itu bisa dilihat dalam beberapa kitab hadits dalam bab shalat, seperti kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan seluruh kutubus sittah (tujuh kitab hadits terkenal), serta juga bisa dilihat dalam kitab al-Adzkar karangan imam Nawawi.

Ketujuh, qunut subuh. Warga NU sebagai mayoritas penganut Madzhab Syafi'iyah ketika melaksanakan shalat subuh menjalankan salah satu sunnah ab'adh, yaitu membaca doa qunut. Dalil yang dijadikan pegangan adalah hadits Nabi yang berbunyi: 

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا دُعَاءً نَدْعُوْ بِهِ فِي الْقُنُوْتِ مِنْ صَلوَةِ الصُّبْحِ اَللَّهُمَّ اهْدِناَ فِيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِناَ فِيْمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّناَ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لَنَا فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَقنِاَ شَرَّ مَا قَضَيْتَ اِنَّكَ تَقْضِىْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ اِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّناَ وَتَعَالَيْتَ.

Artinya: "Dari Abdullah bin Abbas, dia bekata: Rasulullah Saw. mengajarkan kami bacaan doa yang dibaca ketika ber-qunut Subuh (yaitu): Allahummahdina fi man hadyt dst……" (As-Sunanul Qubra Lil Bayhaqi, jld. 02, hlm. 210).

Sebagai pengikut ulama syalafus shaleh, kebiasaan tersebut perlu kita lestarikan dan dijaga kesakralannya. Karena bagaimanapun hal itu merupakan perbuatan dan perkataan yang baik serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-hadits. Sebagaimana Rasulullah bersabda:

 3600 -

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْر فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ

Artinya: “Abu Bakr memberitakan kepada kami bahwa perbuatan atau perkataan apapun yang dinggap baik oleh mayoritas orang muslim, maka ia dipandang baik oleh Allah Swt, dan sebaliknya perbuatan atau perkataan apapun yang dinggap jelek oleh mayoritas orang muslim, maka ia dipandang jelek pula oleh Allah Swt.” (Musnad Imam Ahmad, ar-Risalah, juz 6, hlm. 85)



Penulis : Abdul Wasik, M.Hi, Ketua (Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama) MWC NU Kecamatan Wonosari

Editor : Muhlas

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN