Haram Hukumnya Lakukan Hal Ini Bagi Orang yang Haidh




lustrasi, larangan bagi orang yang haidh, (Foto : Tim Kreatif) 


Haidh adalah fitrah wanita dan salah satu tanda baligh bagi wanita. Umumnya, seorang wanita mengalami haidh pada usia sembilan tahun, sebagaimana penjelasan sebelumnya tentang tanda-tanda baligh.

Tidak hanya orang junub yang diharamkan untuk melakukan beberapa hal sebagaimana penjelasan sebelumnya. Namun, orang yang haidh juga dilarang atau diharamkan untuk melakukan beberapa hal.

Dalam hal ini, Syaikh Salim ibn Samir al-Hadhrami menyebut sepuluh hal yang haram dilakukan oleh orang yang haidh. Sebelumnya, Syaikh Salim menyebut tujuh hal yang haram dilakukan oleh orang yang junub. Namun, pada pembahasan orang yang haidh ini, beliau menyebut ada sepuluh hal yang diharamkan bagi orang yang haidh.

Sepuluh hal yang disebut oleh Syaikh Salim ini sebelumnya sudah disebut pula pada pembahasan sebelumnya tentang hal-hal yang diharamkan bagi orang yang wudlu-nya rusak dan orang yang junub.

Baca juga :

Sepuluh hal yang disebut oleh Syaikh Salim ibn Samir al-Hadhrami di atas adalah sebagaimana penjelasan berikut:

Pertama, shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Bukan hanya orang yang junub saja yang haram melakukan ibadah shalat, namun orang yang haidh juga demikian. Karena salah satu syarat untuk melakukan shalat adalah suci dari hadats, baik hadats kecil (tidak mempunyai wudlu’) maupun hadats besar (junub, haidh dan nifas) sebagaimana pada penjelasan sebelumnya tentang Syarat Sah Shalat Menurut Syaikh Salim.

Kemudian, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang perintah meinggalkan shalat bagi wanita yang haidh.

إذا أقبلت الحيضة فدعى الصلاة. رواه البخاري

Artinya: “Ketika engkau (wanita) menghadapi atau mengalami haidh maka tinggalkanlah shalat.” (HR. Bukhari).[1]

Kedua, thawaf, baik thawaf fardhu maupun sunnah. Seperti halnya shalat, thawaf juga haram dilakukan oleh orang yang haidh karena hukum thawaf sama halnya dengan shalat, yakni sama-sama menutupi aurat dan suci (dari najis, hadats kecil maupun hadats besar).

Ketiga, menyentuh mushaf (al-Qur’an). Keempat, membawa mushaf (al-Qur’an). Keduanya sama-sama diharamkan bagi orang yang haidh karena sejatinya al-Qur’an hanya bisa disentuh atau dibawa oleh orang yang suci, baik suci dari hadats kecil maupun hadats besar.

Kelima, berdiam diri di dalam masjid. Hal ini diharamkan bagi orang yang junub dan orang yang haidh, baik berdiam diri sebentar maupun lama. Keharaman berdiam diri di dalam masjid tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Siti Aisyah Ra. Bahwa Rasulullah Saw bersabda:

لا أحل المسجد لحائض ولا لجنب

Artinya: “Masjid tidak dihalalkan (diharamkan) bagi orang yang haidh dan orang yang junub.” (Syaikh Nawawi al-Banteni, Kasyifatus Saja Fii Syarhi Safinatun Naja, hlm. 31).

Keenam, membaca al-Qur’an. Selain menyentuh dan membawa al-Qur’an diharamkan bagi orang yang junub maupun orang yang haidh, membaca al-Qur’an juga diharamkan bagi keduanya. Baik membaca al-Qur’an hanya satu ayat atau tidak sampai satu ayat.

Baca juga :

Membaca ayat al-Qur’an diperbolehkan bagi orang yang junub maupun haidh apabila bacaannya tidak diniati membaca al-Qur’an melainkan diniati lainnya, sebagaimana penjelasan sebelumnya tentang hal yang diharamkan bagi orang yang junub.

Syaikh Nawawi al-Banteni dalam kitabnya menjelaskan bahwa orang yang junub maupun haidh diperbolehkan membaca al-Qur’an asalkan dibaca dalam hati bukan melalui lisan atau bersuara. Kemudian menurut Syaikh Nawawi, diperbolehkan juga bagi orang yang junub maupun haidh melihat al-Qur’an dan membacanya di dalam hati.

ويجوز للجنب والحائض اجراء القرآن على قلبهما من غير تلفظ به ويجوز لهما النظر في المصحف وامراره على القلب

Artinya: “Dan diperbolehkan bagi orang yang junub dan haidh menjalankan (membaca) al-Qur’an atas hati keduanya dari tanpa mengeluarkan lafadz (bersuara atau dibaca melalui lisan). Dan juga diperbolehkan bagi keduanya memperhatikan mushaf (al-Qur’an) dan menjalankan (membaca) atas hati.” (Syaikh Nawawi al-Banteni, Kasyifatus Saja Fii Syarhi Safinatun Naja, hlm. 31).

Ketujuh, puasa. Orang yang haidh haram hukumnya melakukan ibadah puasa, baik puasa fardhu maupun puasa sunnah. Diharamkannya puasa bagi orang yang haidh bukan berarti orang yang haidh terbebas dari puasa fardhu, akan tetapi tetap harus diganti atau diqadla’.

Berbeda dengan shalat. Orang yang haidh tidak diwajibkan untuk mengqadla’ atau mengganti shalat yang ditinggalkan selama masa haidh. Karena memang tidak ada perintah menurut syara’ untuk mengqadla’ atau mengganti shalat yang sudah ditinggalkan karena haidh.

Selain itu, jika ingin mengqadla’ atau mengganti shalat bagi orang yang haidh maka akan mengalami kesulitan (masyaqah). Sebab kewajiban shalat satu hari satu malam adalah lima kali. [2]

Shalat tidak wajib diqadla’ atau diganti, tapi puasa wajib diqadla’ atau diganti. Berapa hari pun wanita mengalami haidh ketika puasa di bulan Ramadhan, maka selama itu pula orang haidh mengqodlo’ atau mengganti puasanya.

Kedelapan, thalaq. Selain thalaq merupakan hal yang dibenci oleh Allah Swt, thalaq juga diharamkan bagi wanita yang mengalami haidh. Karena apabila thalaq dilakukan ketika wanita mengalami haidh, maka akan menambah masa ‘iddah wanita. Sebab masa ‘iddah yang harus wanita lakukan adalah tiga kali suci dari masa haidh, sehingga untuk menjalani masa ‘iddah-nya itu, seorang wanita harus menyelesaikan terlebih dahulu masa haidh-nya.[3]

Kesembilan, lewat di dalam masjid jika khawatir akan membasahi masjid dengan darahnya. Rasulullah Saw memang mengharamkan orang yang junub maupun haidh untuk berdiam diri di dalam masjid, namun apabila hanya lewat saja tanpa mempunyai kekhawatiran darah haidh-nya akan jatuh dan membasahi masjid maka diperbolehkan lewat di dalam masjid.

Keharaman lewat di dalam masjid bagi orang yang haidh adalah apabila khawatir darah haidh-nya akan jatuh dan membasahi masjid. Apabila tidak ada kekhawatiran akan hal itu, maka boleh-boleh saja.

Kesepuluh, mengambil kesenangan diantara pusar dan lutut. Kesenangan yang dimaksut tentu adalah jima’ atau melakukan hubungan intim. Baik menggunakan penghalang atau tidak. 

Melakukan hubungan intim ketika istri mengalami haidh memang diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 222:

ويسئلونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض ولا تقربوهن حتى يطهرن... البقرة: ٢٢٢

Artinya: “Dan mereka akan menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah: “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Oleh karena itu, menjauhlah dari wanita di waktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.” (QS. al-Baqarah: 222).

Berdasarkan ayat di atas, tidak hanya melakukan hubungan intim yang diharamkan melainkan juga selain hubungan intim. Intinya, mengambil kesenangan diantara pusar dan lutut adalah haram. Baik mengambil kesenangan melalui hubungan intim atau lainnya, baik dengan syahwat maupun tidak.

فصل: من انتقض وضوءه حرم......ويحرم على الجنب ستة أشياء......ويحرم بالحيض عشرة أشياء الصلاة والطواف ومس المصحف وحمله واللبث في المسجد وقراءة القرآن والصوم والطلاق والمرور في المسجد إن خافت تلويثه والإستمتاع بين السرة والركبة.

Artinya: “Orang yang rusak (batal) wudlu-nya diharamkan, dan diharamkan juga bagi orang junub enam perkara, dan juga diharamkan bagi orang haidh sepuluh perkara. Pertama, shalat. Kedua, thawaf. Ketiga dan Keempat menyentuh dan membawa mushaf (al-Qur’an). Kelima, berdiam diri di dalam masjid. Keenam, membaca al-Qur’an. Ketujuh, puasa. Kedelapan, thalaq. Kesembilan, lewat di dalam masjid jika khawatir akan membasahi masjid dengan darahnya. Kesepuluh, mengambil kesenangan diantara pusar dan lutut.” (Matan Safinatun Naja, hlm. 30-32).


Referensi

1.) LBM-PPL 2002 M, Uyunul Masa’il Linnisa’ Sumber Rujukan Permasalahan Wanita, Jalan Menuju Wanita Shaleha, Kediri: Lajnah Bahtsul Masa’il Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien Ponpes Lirboyo, 2002 M, hlm. 55
2.) LBM-PPL 2002 M, Uyunul Masa’il Linnisa’ Sumber Rujukan Permasalahan Wanita, Jalan Menuju Wanita Shaleha, Kediri: Lajnah Bahtsul Masa’il Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien Ponpes Lirboyo, 2002 M, hlm. 
3.) LBM-PPL 2002 M, Uyunul Masa’il Linnisa’ Sumber Rujukan Permasalahan Wanita, Jalan Menuju Wanita Shaleha, Kediri: Lajnah Bahtsul Masa’il Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien Ponpes Lirboyo, 2002 M, hlm. 62

Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng

Editor : Gufron





Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN