Story Santri; Antara Melawan dan Cangkolang

Ilustrasi (Foto : Tim Kreatif) 
Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Begitu kira-kira kata bijak yang masyhur diucapkan oleh semua orang, khususnya mahasiswa. Manusia di dunia tidak akan hidup selamanya, mesti akan mati. Orang alim pasti mati, orang saleh pasti mati, semuanya pasti mati.

Matinya orang alim lagi saleh tentunya berbeda dengan matinya manusia pada umumnya. Orang yang alim lagi saleh itu semasa hidupnya pasti akan memberikan manfaat kepada semua orang. Seperti Wali Songo, Semasa hidupnya mensyiarkan Islam melalui budaya agar Islam mudah diterima oleh masyarakat Nusantara. Tak gampang menyalahkan apalagi mengkafir-kafirkan.

Masa hidupnya jelas memberikan manfaat yang sangat besar, apalagi setelah wafat. Manfaatnya tetap ada, bisa dirasakan oleh sekalian manusia. Hal itu terbukti ketika aku ziarah Wali Lima kemarin.

Orang-orang menyebutnya ‘Ziarah Wali Lima’ karena yang dikunjungi hanya makam lima wali dari sembilan wali yang masyhur dikenal Wali Songo. Aku dijemput ke Pesantren ketika mau berziarah ke Wali Lima ini oleh kakakku.

“Ini hajat Ibumu dulu waktu belum mengandungmu. Makanya, kamu dijemput untuk ikut ziarah,” kata kakak saat menjemputku ke Pesantren.

Ibuku memang pernah bercerita bahwa dulu ia dengan bapak pernah berziarah ke Wali Lima dan waktu itu belum mengandungku. Ibu dan bapakku tak kunjung dikaruniai anak sehingga ketika sampai pada makam-makam yang diziarahi, ibuku berdoa kepada Allah SWT melalui perantara wali yang diziarahi itu agar segera dikaruniai anak. Dan, apabila ibu dikaruniai anak, ibuku bernadzar akan membawa anaknya—aku, berziarah kembali ke Wali Lima.

Baca juga :

Betapa dahsyatnya manfaat kekasih Allah SWT. Aku yakin, benar-benar yakin bahwa ziarah itu tidak syirik dan tradisi seperti ini harus terus dijaga dan dirawat. Namun, lagi-lagi ada saja yang tidak sepakat dengan hal ini. Menganggap ziarah ini bid’ah, tidak ada pada masanya Nabi Muhammad SAW. Apakah benar ziarah ini bid’ah? Dan, orang yang melakukannya termasuk orang yang sesat atau kafir?

* * *

Aku berwudlu kemudian ke musalla. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 19.30. Salat Isya’ berjamaah sudah selesai. Artinya, waktu kajian kitab akan berlangsung. Aku bergegas ke musalla setelah bel tanda kajian kitab berbunyi nyaring sekali. Santri-santri mulai membaca shalawat sambil menunggu kiai duduk di depan dan membacakan kitab untuk santrinya.

Santri dengan anteng mengikuti kajian kitab sampai akhir. Tata kramanya memang begitu. Santri harus mendengarkan ketika guru mulai memberikan pengetahuan, dimana saja dan kapan saja. Apalagi di dalam forum pembelajaran atau kajian kitab.

“Kak Las,” sapa Rozak.

Aku duduk di serambi musalla, seperti biasanya. Kajian kitab sudah selesai, namun kegiatan tidak sepenuhnya selesai. Masih ada kegiatan jam belajar, kegiatan tambahan yang juga harus diikuti oleh semua santri. Aku duduk bersila menghadap ke arah timur sebelum Rozak menghampiriku. Mataku lurus ke depan, namun pikiranku tidak kosong.

“Eh, sampean, Lek? Duduk, Lek!” Kataku setelah melihat Rozak menghampiriku.

Kuganti posisi dudukku. Awalnya menghadap ke timur kini menghadap ke utara, menghadap Rozak. Ia nampaknya ingin menanyakan sesuatu atau sekadar curhat tentang pelajaran diniyahnya. Biasanya begitu kalau sudah menghampiriku. Tapi, entahlah. Aku tidak begitu paham apa maksutnya kali ini menghampiriku.

“Sudah hampir liburan Ramadan, Lek,” kataku memulai percakapan.

“Iya, Kak Las. Aku siap tidak siap yang mau pulang, Kak Las,” balasnya serius.

“Loh, kenapa, Lek? Kalau pulangan seharusnya kan senang.”

“Kalau senangnya sih, iya, Kak Las …”

“Terus, Lek?” tukasku memotong.

Rozak terlihat tak bersemangat. Wajahnya sayu, matanya memerah. Mungkin kecapean, pikirku. Aku tak tahu apa aktifitasnya hari ini. Karena seharian aku kuliah dan masih mengurusi penerbitan buku organisasi. Biasanya, ia selalu memperbaiki hal-hal yang bersentuhan permasalahan listrik atau hanya sekadar membersihkan mobil kiai dan keluarga Pesantren yang lain.

“Aku itu bingung, Kak Las. Karena di rumah itu ada yang tidak suka ziarah. Katanya, ziarah itu bid’ah. Tidak pernah dilakukan oleh Nabi,” kata Rozak setelah mengucek matanya yang memerah. Mungkin ia ingin istirahat, tapi karena ada sesuatu yang mengganjal pada dirinya, ia sempatkan untuk bertanya padaku.

“Intinya, tidak usah diikuti saja, Lek, orang-orang seperti itu,” balasku.

“Repot, Kak Las. Ruwet.”

Rozak sampai memukul jidat dari saking bingungnya. Memang menghadapi orang seperti itu membingungkan. Dan, anehnya lagi, mereka tidak mau mengalah. Menganggap pendapatnya benar, tidak bisa dibantah oleh siapa pun. Kalau ada yang tidak sependapat, maka dikatakan kafir karena tidak mau mengikuti ajaran mereka yang katanya benar.

Aku hanya tertawa kecil sambil mengelus dan memukul-mukul betis. Sudah biasa kudengar hal seperti ini dari sahabat-sahabatku di kampus. Di media sosial, juga sering kubaca postingan-postingan yang mengatakan tahlilan, ziarah kubur, tradisi ngalap barokah dan lainnya dianggap bid’ah.

Di youtube juga sering kutonton video-video pernyataan atau perdebatan mengenai hal itu. Namun, tidak bisa dipungkiri. Mereka yang selalu mengkafir-kafirkan itu pendapatnya bisa dibantah dengan begitu saja, karena argumentasinya tidak kuat. Begitu kira-kira kata Ustad Idrus Ramli saat aku membaca bukunya yang berjudul ‘Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi’.

“Apa yang harus dianggap ruwet, Lek? Mengatakan kita melakukan ziarah kubur dengan tujuan ngalap barokah itu tidak syirik. Pertama, orang yang saleh itu memang ada barokahnya. Memang, barokah itu sifatnya abstrak, Lek. Tak terlihat. Namun, keberadaannya bisa dirasakan,” kataku menjelaskan.

“Maa laa yatalaffdlzu bil lisaani walaa yudraku bil ‘aini bal yudraku bil qalbi—Sesuatu yang tidak bisa dikatakan melalui lisan dan tidak bisa dilihat oleh mata, tapi bisa dirasakan oleh hati. Nah, barokah itu seperti itu, Lek. Tak terlihat, namun terasa keberadaannya. Kamu kalau dekat dengan orang saleh, mesti kamu akan dianggap saleh juga, Lek. Ndak mungkin kamu akan dikatakan jelek kalau bersama orang saleh. Artinya apa, ketika kamu dekat dengan orang saleh kemudian oleh orang-orang diangap saleh, maka hatimu akan tersentuh untuk semakin berbuat hal-hal yang baik perantara orang saleh tadi,” pungkasku.

Rozak terdiam. Mangguk-mangguk membenarkan ucapanku. Tapi, rasa gelisahnya belum sirna. Masih banyak yang ia pikirkan perihal orang yang katanya tidak suka ziarah itu. Tak tanggung-tanggung. Orang itu ternyata putra dari guru ngajinya dahulu. Ia sering mendengar, orang itu mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan orang desa. Ia mengajarkan kepada santrinya bahwa ziarah kubur, tahlilan dan lain sebagainya adalah bid’ah dan pelakunya adalah orang sesat, orang kafir dan tempatnya di neraka. Bahaya sekali.

Aku mengerti bagaimana bingungnya Rozak. Tak mudah memang melawan orang seperti itu. Di satu sisi, Rozak harus melawan agar santri-santri yang mengaji di sana tidak ikut pemikiran dia. Di satu sisi yang lain, yang dilawannya adalah putra dari guru ngajinya dulu. Di Pesantren diajarkan, bahwa seorang murid harus menghormati guru. Tidak hanya guru, tapi juga anak cucunya.

“Andai saja ia bukan putra guru ngajinya aku, Kak Las. Sudah pasti kudebati. Lah wong aku repotnya itu takut cangkolang, Kak Las.”

“Lek. Kita memang harus menghormati ia sebagai putra dari guru ngajimu, tapi untuk ikut pada ajarannya, kita harus punya pedoman, punya prinsip. Bahwa ini ajaran kita yang kita dapat di Pesantren dan itu ajaran dia yang entah dapat dari mana,” kutatap wajah Rozak serius. Ini bukan perkara mudah, tapi kalau dibiarkan, akan membuat keresahan nantinya. Lihat saja kalau tidak percaya.

“Iya, Kak Las. Tapi, bagaimana, ya?”

“Sudah, Zak. Tidak usah memikirkan cangkolang kalau dalam hal ini. Memangnya kamu mau, santri-santri di sana itu diubah cara berpikirnya oleh orang itu? Diubah menjadi tidak suka ziarah kubur, tidak percaya bahwa orang saleh punya barokah dan lain sebagainya. Memangnya kamu mau?”

“Tentu tidak, Kak Las. Tapi, …”

“Sudah. Tidak usah takut, tidak usah ragu, Zak. Bismillah saja demi membela ajaran Islam yang benar. Islam itu mudah, jangan dipersulit. Masalah ziarah kubur yang katanya syirik itu tidak benar. Justru hal itu sudah diperintahkan oleh Rasulullah SAW,” ketusku memotong perkataan Rozak yang masih merasa bimbang antara melawan dan cangkolang.

Kuperhatikan Rozak yang hanya diam mematung tanpa mengatakan apa-apa lagi padaku. Nampaknya ia masih berpikir. Apakah harus melawan atau tidak? Kalau melawan, apa ini termasuk perbuatan cangkolang? Rozak masih ragu. Aku tahu, mungkin keraguannya karena takut tidak bisa menjawab sanggahan-sanggahan dari orang itu. Tapi, hal itu tidak menjadi alasan untuk tidak menegakkan kebenaran. Kebenaran yang benar harus dibenarkan, bukan ditutup-tutupi dan kesalahan yang dibenarkan harus dilawan, bukan diam seperti orang buta dan tuli.

“Kamu ragu karena takut tidak bisa menjawab bantahan-bantahan dia, Zak?”

“Iya, betul, Kak Las.”

“Coba kamu ambilkan buku karyanya Ustad Idrus Ramli di kantor. Judulnya Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi,” kataku pada Rozak. Aku kembali duduk menghadap ke timur sedang Rozak pergi ke kantor mengambilkan buku yang kusuruh.

Sambil menunggu, kupandangi sekitar musalla. Tak banyak santri yang berkeliaran di musalla, hanya beberapa saja. Dan, itu hanya orang-orang yang rajin saja. Buktinya, mereka dengan santainya rebahan sambil memegang kitab. Entah membaca atau menghafal aku sendiri tidak tahu, karena suaranya tak kudengar. Mungkin sedang menghafal, karena tiap harinya memang tak pernah luput dari hafalan.

“Ini, Kak Las,” ucap Rozak mengagetkan pandanganku.

Ia duduk di sampingku dan aku menghadapnya. Kubuka buku karyanya Ustad Idrus Ramli itu kemudian mencari pembahasan tentang ziarah yang katanya syirik ini.

“Ini, Lek. Ini haditsnya,” kataku sambil menunjukkan buku pada Rozak.

“Qaala Rasulullah SAW, kuntu nahaitukum ‘an ziyaaratil qubuuri fazuuruuhaa—Rasulullah SAW bersabda, Lek. Katanya, “Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Sekarang, ziarahlah!” Jelas, kan, Lek? Bahwa ziarah kubur itu tidak syirik, justru memang sudah diperintah oleh Rasulullah SAW.”

Lanjut Baca :

Rozak mangguk-mangguk. Ia mengambil buku yang kupegang, katanya ingin melihat lagi hadits yang kubaca barusan. Kuserahkan agar ia tidak takut lagi ketika nanti akan menghadapi putra gurunya yang katanya tidak suka ziarah. Menganggap bahwa ziarah kubur itu bid’ah dan pelakunya adalah orang yang sesat, orang yang kafir dan tempatnya di neraka. Bahaya sekali cara berpikirnya, bukan?

“Sudah paham, Zak?”

“Iya, Kak Las.”

“Tidak perlu takut, tidak perlu ragu untuk menghadapi orang itu, Zak. Kalau bicara soal ziarah lagi yang katanya bid’ah, kamu baca saja hadits itu. Itu riwayat dari Imam Muslim, loh. Jadi, tidak diragukan lagi haditsnya,” kataku sambil mengelus-elus jari-jari kaki.

Rozak masih fokus pada buku karya Ustad Idrus Ramli. Ia bolak-balik membuka lembar demi lembar isi buku itu. Ia bilang, ingin beli buku seperti itu. Dan, kalau boleh, ia ingin meminjamnya. Tapi, aku ragu untuk meminjamkannya. Karena buku itu adalah buku kenang-kenangan dari guru tugas. Khawatir hilang, kataku.

“Tidak akan dihilangkan, Kak Las. Santai saja,” ucap Rozak membolak-balik buku.

“Boleh pinjam, kan, Kak Las?” imbuhnya.

“Gus Dur pernah bilang, Lek. Katanya, “Orang yang bodoh adalah orang yang mau meminjamkan bukunya dan orang yang paling bodoh adalah orang yang mau mengembalikan buku pinjamannya.” Jadi, tidak boleh dipinjam, Lek,” kataku merampas buku di tangan Rozak kemudian tertawa.

Aku memang tertawa, namun tak nyaring. Musalla Pesantrenku berdekatan dengan kediaman keluarga Pesantren. Oleh karena itu, kukecilkan suara tawaku agar tak terdengar keluarga Pesantren.

“Kalau mau baca, langsung ke kantor saja, Lek. Bebas mau baca sampai kapan. Asal jangan dibawa keluar dari kantor pengurus, bahaya. Nanti bisa hilang,” kataku pada Rozak sambil pamitan untuk beristirahat karena sebentar lagi bel tidur akan berbunyi.

Dan, “Teng, teng, teng.” Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Bel tadi pertanda waktunya santri untuk tidur. Tidak boleh ada yang keluaran dari asrama, semuanya harus tidur. Apabila tidak bisa tidur, maka tidak diperbolehkan untuk keluar asrama. Tapi, bagiku, tidur ini perlu, bahkan wajib. Ayo, tidurlah setidur-tidurnya karena kebebasan tidurmu masih berpihak padamu, bukan pada Malaikat Izrail.


Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN