Muhammadiyah Kehilangan Masjid

Dr. H. Syaeful Bahar, M.Si, Wakil Ketua PCNU Bondowoso (Foto : Tim Kreatif) 
“Mohon maaf, beberapa hari ini saya sakit. Tak bisa memenami bapak-bapak sekalian diskusi subuh,” sapaku pagi itu.

“Sakit apa, Ji? Kami memang menunggu, sampean sakit kok lama banget? Kami hitung 15 hari lebih sampean gak ke langgar!” tanya Cak Mamat sambil menghitung jemarinya sendiri dengan serius.

“Iya Cak, saya sakit lama. Saya khawatir Covid-19, sebab tanda-tandanya mirip, meskipun tak sampai sesak. Alhamdulillah, setelah hari ke 14 penciuman dan selera makan saya pulih kembali. Alhamdulillah,” ucapku menanggapi Cak Mamat. 

“Iya Ji, banyak pertanyaan dan diskusi kita yang belum terjawab. Misal tentang hubungan NU dan Muhammadiyah. Saya pernah dengarkan ceramah Ustad Adi Hidayat. Kata beliau, dua pendiri organisasi ini masih terikat hubungan persaudaraan ya, benarkah itu?” tanya Pak Desi.

“Iya, saya juga bertanya-tanya tentang hal itu. Klo mereka saudara, kenapa orang NU dan orang Muhammadiyah sering berselisih?” tambah Pak Salam.

“Perselisihan itu karena orang Muhammadiyah selalu mencari-cari kesalahan ubudiyah orang NU, Pak. Mereka sering fitnah kita sebagai pengikut ajaran bid’ah, takhayul dan khurafat. Tahlilan dikritik, yasinan dikritik, shalawatan dikritik. Semua dianggap salah. Mereka menilai bahwa semua ubudiyah kita tak punya dalil kuat, tak ada dalil al-Qur’an dan Haditsnya. Berbeda dengan mereka. Mereka menilai bahwa ubudiyah mereka lebih murni dan punya rujukan langsung pada al-Qur’an dan Hadits,” jelas Kang Parmin dengan menggebu-gebu.

“Hehehehe…. ok kita diskusikan bab ini. Tapi untuk mendiskusikan bab ini butuh waktu agak panjang. Siap kiranya?,” tanyaku.

“Siap!!!” jawab jamaah dengan kompak.

Sungguh saya senang dengan tema kali ini. Ini tema sensitif yang seringkali menjadi batu sandungan kerukunan di grassroots (akar rumput) 

Gara-gara kesalahpahaman ini, warga NU memandang minor pada Muhammadiyah, sebagaimana Kang Parmin, begitu sebaliknya, tak jarang juga warga Muhammadiyah yang masih memandang sebelah mata ke NU, dianggap organisasi kolot, warganya tak berpendidikan, organisasi penyebar bid’ah dan lain sebagainya. 

Semua kesalahan itu berpangkal pada ketidaktahuan dan minimnya informasi tentang NU dan Muhammadiyah.

Karena itu, diskusi semacam ini penting dilakukan!!!.

Baca juga : 

Apa tujuannya ? Pertama, meluruskan kesalahan-kesalahan yang ada di kedua belah pihak, terutama di akar rumput. 

Kedua, tak ada pilihan, NU dan Muhammadiyah harus saling membuka diri, bersinergi merawat Indonesia dan menjaga Islam moderat sebagaimana cita-cita KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim As’ari cita-citakan sejak awal, sejak awal dua organisasi ini didirikan karena ancaman dari kelompok-kelompok radikal yang ingin merusak dan menghancurkan Indonesia semakin kentara. 

Ketiga, NU dan Muhammadiyah, sama-sama terancam posisinya. NU dan Muhammadiyah sama-sama berada di dalam posisi diserang oleh kelompok lain yang tak ingin Islam Ramah ala NU dan Muhammadiyah masih menjadi mainstream di bumi pertiwi. 

Keempat, Kelima, Keenam dan beribu-ribu alasan lain, yang tak kalah pentingnya untuk terus mendiskusikan sinergi NU dan Muhammadiyah.

“Baik, saya akan coba menjelaskan, tapi saya mau menceritakan dari sejarah awal ya. Meskipun sepotong-potong, sebagaimana yang saya tahu, tapi saya berusaha merangkainya dalam jawaban-jawaban yang sederhana,” kataku hendak mengawali diakusi. 

“Benar kata Ustadz Adi Hidayat. Kiai Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan KH. Hasyim As’ari pendiri NU memiliki hubungan darah. Keduanya sama-sama keturunan dari Maulana Ishaq, keduanya juga memiliki nasab keilmuan yang sama. Kedua kiai ini sama-sama berguru ke Syaikhona Khalil Bangkalan Madura. Berikutnya, atas perintah Syaikhona Khalil, keduanya juga berguru ke Kiai Saleh Darat di Semarang, sebelum akhirnya kedua kiai ini berangkat ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agamanya. Artinya, NU dan Muhammadiyah itu dekat sekali,” jawabku singkat.

“Kenapa ada perbedaan jika keduanya satu guru dan masih senasab? Sebenarnya berbeda itu tak salah, tak dosa, selama perbedaan itu memiliki sumber rujukan yang kuat, perbedaannya didasari oleh ilmu. Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah selama ini selalu berdasarkan ilmu. Kalau NU shalat subuh pakai qunut, jelas karena ada rujukan ilmunya, Muhammadiyah tak pakai qunut juga karena ada ilmu yang mereka rujuk. Lalu siapa yang benar? Dua-duanya benar. Dua-duanya berdasarkan dalil yang kuat, tak perlu diperdebatkan secara berlebihan. Perbedaan ini jadi masalah ketika yang menyampaikan dan yang memperdebatkan adalah mereka yang tak berilmu. Karena tak memahami ilmunya, perdebatan bukan lagi atas nama ilmu tapi atas nama ego kelompok atau bahkan ego pribadi. Inilah pangkal masalahnya. Inilah pangkal yang membuat NU dan Muhammadiyah di masyarakat nampak tak sejalan,” jelasku kemudian.

Lanjut Baca :

“Oh, berarti NU sendiri tak mempersoalkan orang yang shalat subuh tak pakai qunut, Ji?” tanya Cak Mamat.

“Iya, gak masalah, Apalagi jika yang gak qunut itu memang kader Muhamamdiyah. Kita wajib menghormati cara beribadahnya,” jawabku.

“Tapi mereka yang selalu menyalah-nyalahkan kita, mosok kita diam?” timpal Kang Parmin dengan ketus.

“Biasanya yang senang menyalah-nyalahkan itu yang gak hatam ngajinya Kang, klo warga Muhammadiyah yang ngajinya hatam pasti tak akan begitu?” jawab Mas David.

“Lalu harusnya bagaimana kita bersikap dan berhubungan dengan warga Muhamamdiyah, Ji?” tanya Pak Edi.

“Harus bekerja sama. Harus saling menguatkan. Harus saling membuka diri dan jika perlu saling melindungi. Kenapa? Karena NU dan Muhammadiyah, hari ini, saat ini, sama-sama sedang digempur oleh kelompok Islam transnasional. Kelompok Islam radikal yang datang dari Arab dan bertujuan untuk merebut ummat Islam di Indonesia. Ini hal serius. Sudah banyak masjid dan kader Muhammadiyah yang diambil alih kelompok Islam radikal ini. Saya punya banyak data tentang hal ini. Sudah lama mereka melakukan kerja-kerja senyap mereka. Merebut masjid dan mencuci otak kader-kader Muhammadiyah dan NU,” jawabku.

“Misal, sebuah pengakuan dari seorang pengurus pusat Muhammadiyah, namanya Dr. Abdul Munir Mulkhan. Beliau bercerita, bagaimana Masjid di daerah asalnya, Sendang Ayu, Lampung dikuasai kader-kader PKS. Masjid yang awalnya jadi tempat ibadah warga Muhammadiyah ini tiba-tiba menjadi tempat “provokasi” politik yang dilakukan oleh kader-kader PKS. Cerita beliau ini sudah pernah diterbitkan di media Suara Muhammadiyah tahun 2006 dan pernah juga dirujuk dalam buku Ilusi Negara Islam” lanjutku dengan jelas.

“Tapi untuk lebih jelasnya, kita lanjutkan besok pagi tentang hal ini ya…? Diskusi pagi ini kurang greget karena kopi dan pisang goreng serta tape manis Mak Yam tak ada hehehe,” pintaku pada jamaan diskusi ba’dah subuh.

Bersambung.... 


Penulis : Dr. H. Syaeful Bahar, M.Si, Wakil Ketua PCNU Bondowoso

Editor : Haris

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN