Story Santri; Kembar Tak Sama

Ilustrasi, kegiatan belajar dan mengajar di Pesantren (Foto : Tim Kreatif), sumber akurat.co
“Teng-teng, teng-teng, teng-teng.” Bel masuk berbunyi. Hakki langsung bangun dan bergegas menuju kelas setelah berkali-kali mengulang hafalannya.

Aku tidak langsung menuju kelas tempatku mengajar. Aku masih menghampiri asrama satu persatu untuk mengecek santri yang belum berangkat ke kelasnya masing-masing. Kadang, kalau tidak aku cek satu persatu asramanya, ada beberapa santri yang tidak masuk ke kelasnya. Makanya, sebelum berangkat ke kelas tempatku mengajar, aku masih mengecek santri di tiap asrama.

Asrama sudah kosong. Semua santri sudah masuk ke kelasnya masing-masing. Hari ini jadwalku mengajar di kelas putri, kelas Sifir B. Mata pelajaran yang kuajar adalah kitab Hidayatus Shibyan, kitab yang menjelaskan tentang hukum-hukum tajwid.

“Baca qasidah ahlan wasahlan,” perintahku ketika masuk ke dalam kelas.

Qasidah ini selalu dibaca ketika akan memulai pembelajaran. Dari dulu, waktu aku masih duduk di bangku kelas seperti mereka juga membaca qasidah ini. Tradisi seperti ini hanya ada di pesantren dan harus terus dijaga dan diamalkan. Karena para muassis pondok pesantren tidak mungkin sembarangan memerintahkan santrinya untuk membaca qasidah ini ketika akan memulai pembelajaran.

Setelah membaca qasidah, secara serentak membaca doa sebelum belajar. Doa yang dipakai pun adalah doa yang sering dibaca oleh al-Marhum al-Maghfurlah KH. Ahmad Bahruji. 

Doanya seperti ini, “Allaahumma ‘allimnii maa jahiltu wadzakkirnii maa nasiitu warzuqnii fahman nabiyyiina wailhaamal malaaikatil muqarrabiina birahmatika yaa arhamar raahimiin.”

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucapku setelah membaca doa.

Salamku langsung dijawab serentak dengan wajah menunduk oleh mereka—santri putri. Aku bisa memahami mengapa mereka bersikap demikian, mereka masih merasa malu walaupun sudah beberapa kali aku mengajar di kelasnya.

Jadwalku memang tiap Ahad di kelas ini. Dan, pasti aku selalu mengajar, tidak pernah libur. Karena hari Ahad adalah hari khusus yang kusisihkan untuk pesantren. Selain itu, selalu disibukkan dengan kegiatan-kegiatan kampus dan organisasi.

“Masih ingat materi minggu kemarin tentang hukum bacaan idgham mutamaatsilain?” tanyaku kepada santri putri

Baca juga : 

Masih terlihat malu. Mereka hanya saling berpandangan pada teman sebangkunya. Kuulangi pertanyaanku itu sampai tiga kali, tapi rasa malu mengalahkan mereka untuk tidak menjawab pertanyaanku.

“Sampean, Dik,” tunjukku pada salah seorang santri yang duduk di bagian belakang.

“Apa yang dimaksud dengan hukum bacaan idgham mutamaatsilain?”

“Hehehe,” bukan menjawab, dia malah tertawa 

“Loh, kok ketawa, Dik?” sahutku ikut tertawa kecil.

“Lupa, Kak,” balasnya.

Lupa memang perkara yang wajar, tapi kalau sering lupa bukan wajar lagi. Seperti biasa, kujelaskan kembali materi sebelumnya yakni tentang hukum bacaan idgham mutamaatsilain. 

Sepanjang aku menjelaskan ulang, kuperhatikan mereka satu persatu. Selalu begitu. Setelah kuulang penjelasan materi kemarin, kembali kutunjuk yang lain untuk menjawab pertanyaanku.

“Sampean, Dik, yang duduk di depannya Dik Rosa,” tunjukku pada Dik Halim, santri asal Situbondo.

“Contoh dari hukum bacaan idgham mutamaatsilain. Coba sebutkan!” kataku padanya

“Idgham mutamaatsilain itu kan secara gampangnya adalah huruf yang duoble, Kak. Kemudian huruf yang pertama itu mati. Contohnya berarti lafadz ‘Idzdzahaba’ atau ‘Yudrikkumul maut’.”

“Benar apa yang dikatakan Dik Halim ini. Bahwa secara gampangnya, yang dimaksud hukum bacaan idgham mutamaatsilain itu adalah huruf yang double dan huruf yang pertama itu mati. Jadi, hukum bacaan ini sama dalam makhraj dan sifatnya. Itu yang dimaksud hukum bacaan idgham mutamaatsilain,” jelasku

“Kalau kita kaitkan pada makhluk, idgham mutamaatsilain ini adalah makhluk kembar yang lahir dari satu rahim dan sifat keduanya itu sama, tidak ada yang berbeda. Misalkan, ada seorang ibu melahirkan anak kembar, yang satu memiliki sifat pemarah dan yang satunya lagi pun sama-sama memiliki sifat pemarah,” lanjutku

Understand?”

“Yes,” jawab santri dengan tawa terbahak-bahak.

Selalu kuselingi mereka dengan guyonan kecil ketika mengajar agar suasana pembelajaran menjadi santai, tidak kaku. Aku memang sengaja mengulang materi kemarin agar mereka tidak mudah lupa dengan materi yang kuajar.

Aku duduk kembali ke mejaku setelah mondar mandir menjelaskan kembali materi kemarin di depan bangku mereka. Kubaca kitab sejenak. Kemudian, kuperintahkan mereka untuk membuka kitabnya di halaman sepuluh.

“Perhatikan halaman sepuluh. Materi kita hari ini adalah tentang hukum bacaan idgham mutajaanisain,” ucapku sambil memperhatikan kitab.

Kubaca isi kitab itu dengan lantang. Semuanya fokus memperhatikan isi kitab, tidak ada yang tolah-toleh sana-sini. Seperti biasa, aku tak langsung menjelaskan maksud isi kitab yang kubaca tadi. Selalu kuperintahkan mereka untuk membaca kembali apa yang sudah kubaca. Karena kalau hanya mendengarkan, aku yakin mereka tidak akan paham. Mereka harus membaca, ya, harus itu.

“Ayat yang turun pertama kali itu adalah perintah untuk membaca. Nah, coba sampean, Dik. Baca tentang hukum bacaan idgham mutajaanisain yang kubaca tadi,” perintahku pada Dik Aisyah sambil mendekati bangkunya.

Santri yang kutunjuk itu mulai membaca dengan lantang. Santri yang lain memperhatikan kitabnya sendiri. Setelah membaca, kujelaskan apa yang dimaksud dengan hukum bacaan idgham mutajaanisain. 

Namun, aku menunjuk santri yang lain untuk membacakan ulang isi kitab tentang hukum bacaan idgham mutajaanisain. Dan, aku menjelaskannya secara bertahap sesuai apa yang diucapkan santri yang kuperintahkan untuk membaca ulang.

“Idgham mutajaanisain adalah dua huruf yang sama dalam makhraj-nya …”

“Stop,” ucapku memotong,

“Yang dimaksud makhraj disini adalah makhaarijul huruf. Artinya, tempat keluarnya huruf. Jadi, huruf hijaiyah itu mempunyai tempat masing-masing. Dan, cara pelafalannya pun berbeda. Ada yang huruf yang makhraj-nya diantara dua bibir, ada yang di tenggorokan dan lain sebagainya. Intinya, yang dimaksut makhraj di sini adalah makharijul huruf atau tempat keluarnya huruf,” paparku.

Semuanya memperhatikan ketika aku mulai menjelaskan maksud dari isi kitab. Sesekali sambil kutulis di papan putih terkait apa yang kusampaikan. Dan, tak jarang kulihat banyak santri yang mencatat penjelasanku. Aku bangga dan senang melihat mereka mencatat apa yang kusampaikan. Karena ilmu itu gesit. Agar tidak hilang, maka harus diikat dengan tulisan.

“Lanjutkan, Dik,” perintahku lagi.

“Tetapi beda dalam sifatnya.”

“Nah, ini yang unik. Kalau hukum bacaan idgham mutamaatsilain adalah dua huruf kembar yang sama dalam makhraj dan sifatnya, maka hukum bacaan yang satu ini justru berbeda,” jelasku.

“Idgham mutajaanisain ini hurufnya kembar. Sama dengan idgham mutamaatsilain. Makhraj atau tempat keluar hurufnya itu sama, akan tetapi sifatnya berbeda. Gampangnya, hukum bacaan ini adalah hukum bacaan yang hurufnya kembar tapi tak sama. Kembar karena makhraj-nya sama, tak sama karena sifatnya berbeda. Jadi, kembar tak sama,” lanjutku.

“Sama seperti contoh awal tadi. Dua hukum bacaan ini ibarat manusia kembar. Yang pertama, hukum bacaan idgham mutamaatsilain, kembar yang sama. Lahir dari rahim yang sama dan sifatnya pun sama. Yang kedua, hukum bacaan idgham mutajaanisain, kembar tak sama. Sama-sama lahir dari satu rahim, tapi sifatnya berbeda,” pungkasku.

“Paham?”

Lagi-lagi mereka diam, terkalahkan oleh rasa malunya. Aku sedikit heran. Kalau ditanya keseluruhan tidak ada yang menjawab, tapi kalau ditanya satu persatu semuanya menjawab. Wes, angel iki, pikirku.

Baca juga : 

Kuulangi lagi pertanyaanku apakah sudah paham atau belum. Namun, begitulah. Pertanyaanku terbungkam oleh rasa malu. Aku duduk kembali di mejaku. Waktunya tinggal beberapa menit lagi. Pas adzan Ashar, mereka harus sudah keluar dari kelas. Tidak hanya di kelas tempatku mengajar, tapi juga di kelas lainnya. Peraturannya memang begitu. Masuk jam 13.30 keluar pas adzan Ashar.

Sambil memegang kitab, aku berdiri dan menjelaskan ulang materi tentang hukum bacaan idgham mutajaanisain. Memang seringkali kuulang-ulang materi yang sudah kusampaikan. Hal itu tak lain agar mereka benar-benar mendengarkanku dan bisa memahami apa yang kusampaikan. 

Batu yang begitu kerasnya itu masih bisa berlubang karena dijatuhi tetesan air secara berulang-ulang. Sama saja dengan pemahaman manusia. Semakin diulang-ulang, maka lambat laun akan memahami juga.

“Diingat baik-baik bahwa yang dimaksud hukum bacaan idgham mutajaanisain adalah dua huruf yang sama dalam makhraj-nya, akan tetapi beda dalam dalam sifatnya. Seperti halnya Dik Rohma dan Dik Rahma ini,” kataku sambil menunjuk dua santri yang kembar.

“Keduanya ini dilahirkan dari rahim yang sama, akan tetapi sifat keduanya ini tentu berbeda. Dik Rohma misalkan punya sifat pemalas dan Dik Rahma punya sifat rajin. Mereka berdua ini lahir atau keluar dari rahim yang sama, tapi sifatnya berbeda. Nah, ini yang disebut dengan kembar tak sama,” lanjutku.

Understand?” lagi-lagi kuucapkan kata itu untuk membuat suasana lebih santai

“Yes. Hahaha,” balas mereka dengan tawa terkekeh-kekeh.

“Kira-kira begitu materi kita hari ini. Adzan Ashar sudah berkumandang. Baca qasidah idzaa kunta,” perintahku.

Serentak qasidah idzaa kunta dilantunkan dengan lantang oleh mereka. Memang qasidah ini adalah pemungkas dari setiap kegiatan di pesantren. Bahkan, ketika kajian kitab atau pembelajaran di sekolah formal pasti diakhiri dengan qasidah ini. Sejuk, damai nan tentram ketika mendengar lantunan qasidah ini.

Masyaallah, barakallah.


Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN