Puasa; Syahrut Tarbiyah (Bagian Ketiga)

Abdul Wasik, M.HI, Pengurus Asosiasi Dosen PTKIS Indonesia Wilayah Jawa Timur
(Pendidikan Puasa Dalam Peningkatan Rohani Manusia Untuk Mencapai Keikhlasan Dan Kesabaran)

Hati laksana matahari yang selalu menerangi sekaligus merupakan hakikat kehidupan kita. Hati adalah salah satu bagian terpenting serta mempengaruhi dari tiga hal manusia; jasad, nafsu dan akal manusia. Sebab, hati yang selalu membawa jasad, hati juga yang membersihkan nafsu dan akal seseorang. Sehingga tak khayal ketika Nabi Muhammad SAW menyampaikan bahwa ketika hatinya baik maka baik segala hidupnya dan kebalikannya apabila kotor maka akan rusak semua unsur tubuhnya. Nabi Muhammad SAW bersabda:

قال-صلى الله عليه وسلم-: ألا وإنَّ في الجَسَدِ مُضغةً، إذا صَلحَتْ صَلَحَ الجسدُ كلُّه، وإذا فَسَدتْ فسدَ الجَسَدُ كلُّه، ألا وهي القَلبُ
 رواهُ البُخاريُّ ومُسلمٌ

Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya dalam diri manusia ada segumpal darah, apabila baik maka baik pula seluruh tubuhnya dan apabila rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya, ia adalah hati.” (HR. Bukhari Muslim)

Puasa merupakan ibadah yang syarat dengan persoalan hati dan tidak ada yang mengetahui isi hati manusia kecuali dirinya dan Allah SWT. Oleh karena puasa ini merupakan perbuatan hati manusia, maka tidak heran ketika ibadah menahan diri dari makan dan minum serta menahan diri dari hawa nafsu ini berpengaruh juga terhadap pendidikan kerohanian manusia. 

Pendidikan rohani yang terkandung dari pelaksanaan puasa Ramadan ini merupakan nilai-nilai pendidikan Islam yang sifatnya rahasia dan tidak bisa dilihat mata, akan tetapi bisa berimplikasi dalam kehidupan sehari-hari manusia.

Baca Juga : 

Pendidikan puasa ditinjau dari aspek rohani, antara lain:

Pertama, Puasa Mengajarkan Keikhlasan. Inti dalam menjalankan semua amal ibadah ialah keikhlasan. Orang yang ikhlas akan menjalankan semua yang diperintahkan oleh Allah SWT dengan sepenuh hati tanpa adanya unsur paksaan.

Orang yang ikhlas akan menjalankan ibadah murni semata-mata karena Allah SWT. Bukan karena ingin dipuji, disanjung, ataupun ingin dilihat orang. Karena orang yang ikhlas tahu dan sadar bahwa kegiatan yang dilakukannya semata-mata lillaahi ta’aala.

Ada sebuah gambaran ikhlas dalam beramal dan beribadah kepada Allah SWT yang tertuang dalam QS. al-Ikhlas: 1-4: 

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4(

Artinya: “Katakanlah (Muhammad): "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah tempat meminta segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. al-Ikhlas: 1-4).

QS. al-Ikhlas ayat 1-4 menjelaskan tentang hakikat ikhlas, tapi lafadz dan kalimat ikhlas tidak pernah tercantum di dalamnya. QS. al-Ikhlas ini hanya menjelaskan keesaan Allah SWT, menerangkan tempat tergantung manusia, dan lain sebagainya. Intinya, surat ini segalanya dikembalikan kepada Allah SWT, inilah hakikat ikhlas.

Bagaimana dengan keikhlasan seseorang dalam melaksanakan puasa? Keikhlasan manusia dalam melakukan ibadah ini akan terbentuk dalam diri manusia, baik ketika melakukan ibadah-ibadah mahdhoh atau pun ghairu mahdhoh.

Ia akan terlihat ketika mengerjakan Salat Tarawih dengan rakaat yang begitu banyaknya, akan muncul ketika ia memberikan sedekah kepada sesamanya, dan tercermin tatkala menjaga lisannya untuk selalu berkata yang baik-baik dan menghindari ucapan yang jelek.

Agama Islam sangat besar dan tinggi memberikan balasan bagi orang yang mencapai tingkatan ikhlas dalam melaksanakan ibadahnya. Salah satunya adalah diberikan pahala yang besar oleh Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa: 145-146:

إِنَّ الْمُنافِقِينَ في الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ من النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيراً (145)إِلَّا الَّذِينَ تابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (146) .

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah SWT dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah SWT. Maka, mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah SWT akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. (QS. An- Nisa: 145-146).

Rasulullah SAW bersabda: 

 عَنْ أَبِي مُعَاوِيَةَ, عَنْ حَجَّاجٍ, عَنْ مَكْحُولٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ عَبْدٍ يخْلِصُ الْعِبَادَةَ لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا إِلَّا ظَهَرَتْ يَنَابِيعُ الْحِكْمَةِ مِنْ قَلْبِهِ عَلَى لِسَانِهِ

Artinya: “Tidak ada seorang hamba yang melakukan ibadah dengan ikhlas semata- mata karena Allah SWT selama 40 hari, kecuali ia akan tumbuh hikmah dari hatinya melalui lisannya.”

Hadits ini mengindikasikan kepada kita bahwa untuk mencapai tingkatan keihklasan tidaklah segampang membalikkan kedua tangan, akan tetapi butuh proses dan jangka waktu yang panjang.

Nabi Muhammad SAW telah memberikan signal bahwa proses keikhlasan dalam berpuasa dibutuhkan selama 40 hari lamanya. Sepanjang pembacaan penulis terbagi 3 tahapan, yaitu:

1. Lima hari pertama dilaksanakan sebelum melaksanakan ibadah puasa, yaitu melaksanakan ibadah-ibadah di Bulan Sya’ban yang tentunya dengan niat ikhlas

2. Ikhlas akan dilalui dengan melaksanakan ibadah puasa selama 30 hari lamanya (sebulan penuh), dan

3. Lima hari terakhir, keikhlasan akan tercermin selama Bulan Syawal setelahnya, dan bulan ini merupakan puncak hikmah dari hati seseorang yang ikhlas dalam ibadahnya. 

Kedua, Puasa Melatih Kesabaran. Sifat sabar memiliki banyak keutamaan dan bagi setiap mukmin membutuhkan sifat tersebut dalam setiap keadaan. Seorang mukmin yang memiliki sifat sabar, maka ia tidak akan mudah putus asa, tidak mengeluh dalam menghadapi berbagai problematika kehidupan yang dihadapinya.

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak akan pernah terlepas dari ujian dan cobaan. Karena cobaan dan ujian merupakan cara Allah SWT dalam menguji kesabaran hambanya.

Kesabaran dalam melaksanakan ibadah puasa akan tercermin ketika seseorang menunggu waktu sahur dan buka puasa, ketika menahan diri untuk tidak berkata dusta atau bahkan bersabar ketika menahan nafsu berjimak di siang hari bulan puasa atau bersabar dalam kegiatan lainnya.

Kesabaran seperti ini tentunya tidaklah mudah dilakukan walaupun gampang diucapkan. Akan tetapi, Allah SWT telah menyiapkan hadiah bagi orang yang bersabar. Salah satunya adalah akan diberikan pahala melebihi dari apa yang ia lakukan.

Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nahl: 97

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ  

Artinya: “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah SWT adalah kekal. Dan sesungguhnya, Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97).

Sebagian hadist Nabi Muhammad SAW menyebutkan: 

عَنْ جُرَيٍّ، أَنَّ رَجُلَيْنِ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الْتَقَيَا، فَقَالَ أَحَدُهُمَا: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، يَقُولُ: الْوُضُوءُ نِصْفُ الإِيمَانِ، وَالصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ

Artinya: “Dari Sahabat Juray, sesungguhnya 2 orang sahabat dari Bani Sulaim bertemu dan sebagian dari mereka mengatakan, “Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Wudhu’ adalah sebagian dari iman, dan berpuasa merupakan sebagian dari ujian kesabaran.”

Dalam hadits yang lain:

عَنْ الْمُغِيرَةَ، عَن عَامِر قَالَ: الصَّبْرُ نِصْفُ الإِيمَانِ، والشُكْر ثُلثَا الإيمَان

Artinya: “Dari Mughairoh, dari Amr, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Kesabaran adalah Sebagian dari iman dan bersyukur kepada Allah SWT adalah sepertiga dari iman.”” 

Ketiga, Puasa Mendidik Sikap Jujur. Jujur dalam agama Islam merupakan salah satu ciri orang beriman, dan kebalikannya adalah pendusta dan pengkhianat adalah tanda-tanda orang munafik.

Sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا وَعْدَ أَخْلَفَ. رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ

Artinya: “Dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Ada 3 tanda orang munafik, yaitu ketika berkata ia bohong, ketika dipercaya ia berkhianat dan ketika berjanji selalu mengingkari.” (HR. Bukhari).

Dan dalam hadist lain:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا.

Artinya: “Hendaklah kalian berlaku jujur, karena dengan kejujuran itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan jalan menuju surga. Jika seseorang senantiasa bersikap jujur, maka ia akan dicatat di sisi Allah SWT sebagai orang yang jujur, dan berhati-hatilah kalian dari berbuat dusta karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan itu akan mengantarkan ke neraka. Jika seseorang selalu berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah SWT sebagai orang pendusta.” (HR. Bukhari).

Terdapat tiga dimensi kejujuran di dalam ibadah puasa, yaitu jujur kepada Allah SWT, jujur kepada sesama manusia, dan jujur kepada diri sendiri.

Orang yang sedang berpuasa akan senantiasa selalu jujur, baik dalam perkataan dan perbuatannya, dalam situasi ramai mau pun sepi, bersama-sama mau pun sendirian.

Orang yang benar-benar beriman tidak akan berdusta. Karena dia tahu bahwa Allah SWT mengetahui segala sesuatu, baik yang terang mau pun yang tersembunyi. 

Endingnya, jadikanlah ibadah puasa sebagai bentuk muhasabah kepada diri sendiri dan untuk sesamanya. Di sepuluh hari terakhir kita melaksanakan puasa, tinggal menghitung seberapa jauh kesuksesan mendidik diri kita sebagai orang yang ikhlas, sabar dan jujur.

Ada kesempatan untuk memperbaikinya tatkala perbuatan hati belum sesuai dengan keinginan agama, begitu juga masih tersisa waktu untuk meningkatkan kualitas ibadah puasa dengan tujuan agar hati ini betul-betul bisa mengarahkan jasad, nafsu dan akal menuju Khoiru Ummah (sebaik-baik umatnya Nabi Muhammad SAW) yang mampu melakukan amar makruf dan nahi munkar. 

Falyataammal.


Penulis : Abdul Wasik, M.HI, Pengurus Asosiasi Dosen PTKIS Indonesia Wilayah Jawa Timur

Editor : Muhlas

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN