Filosofi Bakso di Hari Raya Idul Fitri (Bagian Satu)

Ilustrasi, berbeda dengan hari biasanya, bakso pada hari raya Idul Fitri mempunyai makna Filosofis tersendiri, (Foto : Tim Kreatif) 
Lantunan takbir menggema di berbagai titik rumah-rumah. Musalla dan masjid yang menjadi tempat peribadatan tak kalah saingnya berlomba-lomba menyerukan kalimat takbir sebagai wujud syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat dan sempat untuk bisa beribadah secara penuh di bulan Ramadan dan bisa sampai pada hari kemenangan.

Samping kanan dan kiri rumahku juga tak mau kalah saing. Kaset VCD lantunan takbir diputar tanpa habisnya dengan volume yang nyaring sekali, bahkan aku tak dapat mendengar percakapan ibu padaku yang hanya berjarak satu meter. Ramai sekali, benar-benar ramai umat Islam di desaku menyerukan kalimat takbir.

Bagi orang yang tidak suka keramaian, pintu rumahnya akan ditutup agar gema takbir ini tidak terlalu menyesaki telinganya. Apalagi ketika menonton sinetron, niscaya akan tertutup rapat-rapat pintu rumah.

Umat Islam dimana pun berada malam ini bergembira karena esok hari adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Hari yang paling dinanti-nantikan setelah melewati berbagai macam ibadah di bulan Ramadan; mulai dari puasa, Salat Tarawih dan ibadah-ibadah lainnya.

Semuanya senang sekali menyambut hari kemenangan ini, bahkan jauh sebelum hari kemenangan ini tiba umat Islam—khususnya di desaku, sudah mempersiapkannya dengan membeli sepasang busana muslim untuk dipakai pada hari kemenangan. Begitupun aku, 10 hari sebelum hari kemenangan tiba, aku sudah belanja sepasang busana muslim untuk dipakai pada hari yang fitrih ini.

Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar. Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar walillaahil hamd.

Kalimat itu masih bergeming di speaker-speaker musalla dan masjid. Aku masih di rumah bertemankan sepi. Tak ada rencana kemana-mana karena juga tidak ada yang mau dibawa kemana-mana. Pun tidak tahu harus kemana.

Baca Juga : 

WhatsApp-ku penuh dengan kata-kata indah dari berbagai makhluk; mulai dari chatpri (chat pribadi) maupun chat yang ada di grup-grup. Sampai-sampai aku tidak tahu harus berapa kali aku mengucapkan ‘minal ‘aaidiin wal faaiziin mohon maaf lahir dan batin’ di whatsapp ini. 

Apakah penat? Jangan ditanya. Penat rasanya jariku mengetik ulang kalimat itu, namun mau bagaimana lagi toh sudah masanya seperti ini. Ikuti saja dan warnai era milenial dengan wajah Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin.

* * *

“Kak! Ayo bangun! Salat Subuh dulu kemudian mandi siap-siap ke masjid,” kata Dik Ifan membangunkanku.

Tumben ia bangun lebih awal dariku, biasanya ia bangun paling akhir dan pagi ini tumben sekali ia bangun terlebih dahulu. Apa karena hari ini Hari Raya Idul Fitri? Bisa saja begitu karena di hari-hari sebelumnya ia tidak pernah bangun sepagi ini. Paling pagi biasanya bangun jam enam, kadang lewat. Nampaknya semangat sekali adikku ini menyambut Hari Raya Idul Fitri.

Aku langsung bangun kemudian ke kamar mandi tak mengatakan apa-apa pada adikku. Saat kututup pintu kamar mandi, tiba-tiba ia masuk. Kukira ia sudah mandi ternyata tidak sama sekali. Ia bilang mau mandi denganku.

Kupercepat kecepatan mandiku karena airnya dingin sekali, adikku pun juga demikian. Baju yang beberapa hari kemarin kubeli langsung kukenakan secepat mungkin agar nututi untuk melaksanakan Salat Subuh.

Jam dinding rumahku sudah menunjukkan pukul 05:45. Masih pagi dan hawanya masih dingin. Speaker masjid semakin mengeluarkan suara lantunan takbirnya untuk mengundang seluruh umat Islam di desaku agar segera merapat ke masjid. Biasanya, pukul 06:00 Salat Idul Fitri di masjid desaku ini sudah dimulai.

Baju dan surban sudah kulilitkan ke tubuh, siap untuk berangkat ke masjid. Kutengok lagi jam dinding sudah menunjukkan pukul 05:50, artinya 10 menit lagi Salat Idul Fitri akan dimulai.

“Ayo kalau mau berangkat. Jam 06:00 sudah dimulai biasanya,” kata bapakku.

“Sebelum berangkat, ini dimakan dulu, Pak. Rasulullah SAW menganjurkan umat Islam untuk makan terlebih dahulu sebelum melaksanakan Salat Idul Fitri,” jawabku kemudian mengambil beberapa biji kurma yang kemarin sore diberikan oleh salah satu pengurus NU.

Adik dan bapakku langsung mencomot tiga kurma untuk mereka nikmati. Setelah habis, kami pun berangkat sambil melantunkan kalimat takbir sepanjang perjalanan. Sesampainya di masjid kutunaikan terlebih dahulu Salat Tahiyyatal Masjid sebelum akhirnya melaksanakan Salat Idul Fitri.

Salat Tahiyyatal Masjid ini adalah salat sunnah yang dilaksanakan oleh musalli sebelum akhirnya duduk di masjid. Rasulullah SAW memang menganjurkan hal ini. Sabda Nabi Muhammad SAW, “Ketika masuk masjid, janganlah kalian langsung duduk sebelum melaksanakan salat dua rakaat.” Kira-kira begitu makna haditsnya, wallaahu a’lam. Nah, salat dua rakaat inilah yang disebut dengan Salat Tahiyyatal Masjid.

Salat Tahiyyatal Masjid sudah kutunaikan dan tak lama kemudian Salat Idul Fitri pun dimulai. Aku maju ke bagian depan untuk mengisi saf salat yang kurang rapat. Kumantapkan hati kemudian membaca niat dalam hati dan bersamaan dengan kalimat takbiratul ihram serta gerakannya.

* * *

Aku, Dik Ifan dan bapakku tak langsung pulang. Sebagaimana kebiasaan orang-orang desa, setelah melaksanakan Salat Idul Fitri langsung menuju makam sekadar berkirim al-fatihah kepada ahli kubur sekaligus meminta maaf atas segala khilaf yang pernah dilakukan kepada ahli kubur semasa hidupnya.

Ziarah kubur sudah kami tuntaskan, selanjutnya pulang ke rumah dengan rute yang berbeda. Jika tadi ketika menuju masjid melewati rute utara, maka pulangnya melewati rute selatan atau yang lainnya. Intinya, rute pulang dari masjid harus berbeda karena memang begitu yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

Rute selatan yang kami lewati ini kebetulan lewat di depan rumah saudara. Kami mampir sebentar untuk bersalam-salaman saling meminta maaf antarsatu sama lain. Kami disuruh duduk terlebih dahulu, tapi bapak tidak mau karena masih mau arebbe (saling mengantarkan makanan yang sebelumnya dibacakan bacaan tahlil) di komplek rumah.

“Tunggu sebentar, ya. Jangan pulang dulu! Makan bakso dulu sebelum pulang,” kata bibi dan mbakku.

Mendengar itu Dik Ifan tertawa kecil padaku. Aku pun mengikutinya sambil mencicipi camilan yang ada di atas meja bibi dan mbak. Banyak sekali jenis camilan yang ada di atas meja ini sampai aku bingung ingin mengonsumsi yang mana. Terlihat enak semuanya, makanya aku bingung.

“Assalamu’alaikum,” kata Dik Nahwi, anak dari bapak angkatku.

“Wa’alaikum salam. Mohon maaf lahir dan batin, Pak,” sahutku bersalaman pada bapak angkat yang dulu waktu kecil mengasuhku.

Dik Nahwi dan bapak angkatku duduk bersamaku dan Dik Ifan. Dua mangkok berisi bakso pun keluar. Karena ada Dik Nahwi dan bapak angkatku, mbak kembali lagi ke dapurnya untuk mengambil dua mangkok bakso setelah bersalam-salaman pada Dik Nahwi dan bapak angkatku.

“Tidak usah, Lim. Mbaknya di rumah juga buat bakso,” kata bapak angkatku.

“Cobain yang di sini, Man. Kalau paman tidak mau, biar Dik Nahwi saja yang makan. Tunggu, ya,” kata mbak kemudian masuk ke dapurnya.

Baksonya masih panas, terpaksa kudiamkan begitu saja di atas meja. Kecap, saus dan sambal sudah kumasukkan ke mangkok dan sudah kuaduk rata sampai warna kuahnya berubah hitam agak kemerah-merahan. Punya Dik Ifan pun sama, hanya saja tanpa sambal. Katanya, ia tidak mau makan pedas-pedas hari ini.

Bakso untuk Dik Nahwi sudah dihidangkan. Bapak angkatku pamit pulang duluan karena masih mau arebbe, sama halnya dengan bapakku.

Kucoba seruput sedikit-sedikit kuah bakso untuk memastikan apakah sudah tidak panas lagi atau masih panas. Ternyata sudah agak dingin dan lumayan untuk langsung dimakan. Kuajak Dik Nahwi untuk sama-sama menikmati bakso yang dihidangkan oleh mbak. Panas kata Dik Nahwi, tapi aku suruh ia untuk sambil meniup-niup baksonya sebelum dimakan. Ia nurut dan tak butuh waktu lama untuk menghabiskan itu karena memang masih mau ke rumah saudara yang lain.

Lanjut Baca :

“Mbak, pamit mau pulang,” kataku memanggil mbak yang ada di dapurnya.

Kertas berwarna ungu pun diselipkan ke saku Dik Ifan dan Dik Nahwi. Hanya mereka yang diselipi kertas berwarna ungu, sedangkan aku tidak. Katanya, aku disuruh bawa tunangan dulu kalau mau diberi kertas juga. Duh nasib-nasib, gumamku dalam hati.

* * *

“Kak, mau pakai celana saja, ya?” Ucap adikku setelah sampai di rumah.

Aku mengiyakan pertanyaan adikku. Dengan cepatnya ia melepas sarung kemudian menggantinya dengan celana. Agar lebih mudah bergerak kata Dik Ifan kalau pakai celana dan juga lebih mudah menyimpan uang yang diberikan saudara-saudara nantinya.

Handphone kutengok sekejap sekadar ingin melihat chat yang ada di whatapp. Isinya masih sama, kata-kata indah yang pada intinya hanya ingin meminta maaf lahir dan batin saja yang keluar di kolom chat. Yang tak pernah merangkai kata-kata sebelumnya, sejak semalam berubah drastis. Kata-kata yang dirangkainya seakan ingin mengalahkan kata-kata Tere Liye, Fiersa Besari, Habiburrahman El-Shirazy dan yang lainnya.

Kulempar saja handphone-ku ke kasur setelah tahu isinya hanya begitu. Dik Ifan yang sudah mengganti sarungnya dengan celana pun sudah siap untuk silaturahmi ke sanak famili. Tujuan selanjutnya adalah rumah orang tua angkatku. Mereka yang menjadi tujuanku setelah pulang dari masjid, karena mereka lah dulu yang mengasuhku ketika kecil.

Bakso masih menjadi hidangan nomor satu setelah aku sampai dan duduk di rumah orang tua angkatku. Orang tua angkatku ini juga buat bakso, kata bapak tadi di rumahnya mbak. Kupikir itu hanya candaan saja, namun ternyata benar adanya.

Setelah kulahap habis-habis, sekitar 10 menitan aku pamit mau meneruskan rute silaturahmi ke sanak famili yang lain. Tak henti-hentinya kuucapkan mohon maaf lahir dan batin pada ibu angkatku sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Ibu juga meminta maaf dan saat hendak keluar dari rumahnya, untuk yang kedua kalinya kertas berwarna ungu diselipkan ke saku Dik Ifan. Dan lagi-lagi, aku disuruh bawa tunangan kalau ingin diberi seperti Dik Ifan. Sungguh malang nasibku ini.

Di tengah perjalanan pun saat berpapasan dengan orang-orang aku dibilang sudah dewasa. Namun, mereka tidak hanya berhenti di situ. “Mana tunangannya, Cong?” Katanya. Hati teriris mendapat pertanyaan itu, namun mau bagaimana lagi toh memang kenyataannya begitu.

“Kemana setelah ini, Kak?” Tanya Dik Ifan.

“Ke rumahnya Putra, Dik,” sahutku sambil membelai rambutnya.

Sanak famili yang kusambangi masih yang dekat-dekat terlebih dahulu yang hanya dengan beberapa langkah kaki sudah sampai. Seperti halnya rumah Putra. Sekitar 50 langkah dari rumah, aku dan Dik Ifan sudah sampai di rumahnya Putra.

Habis bersalam-salaman dan bermaaf-maafan pada keluarga Putra, aku melangkah ke rumah guru ngajiku dulu yang berada tepat di depan rumah Putra. Setelah itu, aku duduk di rumah Putra karena memang disuruh duduk dulu. Perkiraanku, aku akan diberi makan nasi dengan lalapan dan sambal yang pedasnya luar biasa oleh orang tuanya Putra. Namun, perkiraanku meleset.

Dua mangkok berisi bakso yang lumayan besar keluar dan dihidangkan kepadaku dan Dik Ifan. Dalam hati aku enggan untuk memakannya, karena ini sudah mangkok ketiga yang kumakan sejak dari rumahnya mbak.

“Kak, bakso terus dari tadi, ya?” Ucap adikku yang nampaknya mulai bosan melahap bakso yang dihidangkan.

“Malas kalau yang dimakan bakso terus,” lanjut adikku.

“Sudah makan saja,” sahutku tak banyak berkomentar.

“Memangnya apa sih istimewanya bakso ini? Kok orang-orang banyak yang buat bakso di Hari Raya Idul Fitri?” Ucap adikku.

“Bakso ini banyak dibuat oleh orang-orang di Hari Raya Idul Fitri bukan tidak ada filosofinya. Ada maknanya ini, Dik,” ujarku.

“Apa memang maknanya?”

“Habiskan dulu! Nanti kakak jelaskan di rumah sekalian sambil istirahat sebelum melanjutkan perjalanan,” tutupku.

* * *



Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng

Editor : Gufron

Masuki M. Astro, donatur tetap wartanu.com

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN