Dakwah Hanan Attaki Ditolak, Bagaimana Fiqh Memandanganya?

Kehadiran Hanan Attaki ke Bondowoso sebagai pendakwah juga ditolak menurut pandangan Fiqh 
Wartanu.com - Masyarakat Indonesia sekarang ini tengah digemparkan oleh seorang pendakwah yang kehadirannya ditolak di berbagai daerah, khususnya di Provinsi Jawa Timur.

Tidak sedikit Kabupaten dan kota di Jawa Timur lewat berbagai mediasi hingga beberapa ormas mengeluarkan surat resmi menolak tegas akan kedatangan Hannan Attaki, Founder Shift Pemuda Hijrah.

Di Bondowoso, salah satu penolakan datang dari Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Bondowoso yang menerbitkan surat tegas penolakan untuk Hanan Attaki yang berdakwah di Pondok Pesantren Al-Ishlah Dadapan-Bondowoso pada Jum'at 29 Juli 2022 kemarin.

Dalam surat tersebut disinggung alasan penolakan tegas terhadap datangnya sosok Hannan Attaki adalah kabar yang menyatakan Hannan sebagai jebolan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sehingga kehadirannya dikhawatirkan akan menimbulkan keresahan di masyarakat, khususnya warga NU.

Lalu, bagaimana fiqh memandang hal ini?

Baca Juga :

Seorang pendakwah yang dapat meresahkan terhadap keutuhan dan keberlangsungan madzhab dan akidah yang dianut oleh masyakakat setempat, wajib untuk dicegah bahkan ditolak kehadirannya secara paksa apabila dipastikan kuat akan menimbulkan efek negatif.

Pemerintah sebagai pemangku dan wakil masyarakat adalah pemeran utama dalam hal ini. Imam al-Mawardi menegaskan bahwa tugas pokok dari pemerintah adalah menjaga keutuhan agama dan kedaulatan negara.

Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Mawardi dalam kitabnya, yaitu kitab al-Ahkam as-Shulthaniyah, yaitu:

وَاَلَّذِي يَلْزَمُهُ مِنَ الْأُمُورِ الْعَامَّةِ عَشَرَةُ أَشْيَاءَ

أَحَدُهَا: ‌حِفْظُ ‌الدِّينِ عَلَى أُصُولِهِ الْمُسْتَقِرَّةِ، وَمَا أَجْمَعَ عَلَيْهِ سَلَفُ الْأُمَّةِ، فَإِنْ نَجَمَ مُبْتَدِعٌ أَوْ زَاغَ ذُو شُبْهَةٍ عَنْهُ، أَوْضَحَ لَهُ الْحُجَّةَ، وَبَيَّنَ لَهُ الصَّوَابَ، وَأَخَذَهُ بِمَا يَلْزَمُهُ مِنَ الْحُقُوقِ وَالْحُدُودِ؛ لِيَكُونَ الدِّينُ مَحْرُوسًا مِنْ خَلَلٍ، وَالْأُمَّةُ مَمْنُوعَةً مِنْ زَلَلٍ. (الأحكام السلطانية للماوردي, ص ١٥)

Artinya : “Adapun perkara umum yang merupakan kewajiban bagi pemerintah ada 10 macam. Salah satunya adalah menjaga agama atas pondasi yang telah ditetapkan dan disepakati oleh ulama salaf. Apabila muncul seorang pelaku bid’ah maupun pelaku syubhat, maka wajib bagi imam (pemerintah) untuk memaparkan hujjah kepadanya dan menjelaskan kebenaran, serta memutuskan sesuatu yang dapat mengharuskan adanya hak-hak dan hukuman-hukuman, agar keberadaan agama menjadi terjaga dan umat tercegah dari kesesatan" (al-Mawardi, al-Ahkam as-Shulthaniyah, hal. 15).

Makna dari kata 'ad-Din' di atas adalah agama. Dalam redaksi tersebut yang dimaksud adalah akidah dan madzhab fiqh yang dianut oleh mayoritas masyarakat.

Keberadaan pemerintah adalah menjaga hal tersebut. Bukan tanpa alasan, akidah dan madzhab merupakan pondasi dalam agama yang berorientasi terhadap ketenangan dan terjalinnya kehidupan secara aman.

Karena bisa saja dengan adanya akidah maupun madzhab yang berbeda, tidak jarang akan menimbulkan keresahan bahkan gejolak permusuhan di tengah-tengah umat muslim.

Masuknya ajaran penyelewengan tersebut salah satunya adalah dengan datangnya pendakwah dan pihak-pihak tertentu. Beberapa hal yang terkadang dibawa oleh pihak tersebut, ajarannya notabane berbeda dengan yang dianut oleh masyarakat setempat. Terlebih tempat dakwah mereka adalah masjid-masjid dan momentum dimana umat berkumpul.

Suatu kewajiban untuk menjaga timbulnya keresahan tersebut, bahkan bukan hanya pemerintah yang terjun langsung, tapi masyarakat juga wajib turut serta sebagai pihak yang membantu.

Lalu, bagaimana apabila pendakwah yang dikhawatirkan meresahkan tersebut sudah terjun ke dalam kehidupan masyarakat?

Imam al-Mawardi melanjutkan penjelasannya:

وأما ‌جلوس ‌العلماء والفقهاء في الجوامع والمساجد والتصدِّي للتدريس والفتيا، فعلى كل واحد منهم زاجر من نفسه، ان لا يتصدَّى لما ليس له بأهل، فيضل به المستهدي ويزِلّ به المسترشد

Artinya : “Adapun duduknya (menempatinya) para ulama di masjid-masjid jami’, beberapa masjid dan tempat hukum untuk melakukan pengajaran dan fatwa-fatwa, maka wajib bagi tiap orang dari mereka (umat) untuk mencegah agar ulama tersebut tidak berfatwa terhadap sesuatu yang bukan ranahnya, sehingga berakibat pada orang yang meminta petunjuk menjadi salah paham dan orang yang mencari petunjuk menjadi salah paham disebabkan fatwanya" (al-Ahkam as-Shulthaniyah, hal. 151).

Umat Islam Indonesia, khususnya di Jawa Timur, sejak awal masuknya Islam di Nusantara, adalah menganut akidah 'Asy'ariyah Maturidiyah dan bermadzhab fiqh Syafi’iyah. Keberadaannya begitu kental lewat ajaran dan tradisi yang sampai kini dipegang masyarakat, yaitu paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. 

Dari pendapat Imam al-Mawardi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu kewajiban untuk melakukan pencegahan terhadap kemungkinan adanya dakwah yang menyeleweng dari akidah dan madzhab, baik secara personal maupun secara keseluruhan, baik secara lemah lembut maupun secara tegas.

Khususnya ajaran HTI yang memang tidak setuju dalam pemerintahan Indonesia dan memaksa ditegakannya khilafah.

Baca Juga :

Bentuk pencegahan lewat terbitnya surat penolakan terhadap panitia yang telah disampaikan oleh PC PMII Bondowoso, lewat dukungan penuh dari pemerintah setempat untuk membatalkan ceramah Hanan Attaki tidak menyalahi terhadap bentuk syari'at yang dianut.

Bahkan, jika memang benar-benar memaksa untuk tetap dilaksanakan, maka dilegalkan secara syari'at melakukan tindakan yang tegas terhadap pihak yang terkait, terlebih jika diprediksikan bisa mengganggu keutuhan NKRI, Pancasila dan UUD 1945.


Penulis : Wildan Miftahussurur, Mahasantri Ma’had Aly Nurul Qarnain asal Tamanan Bondowoso

Editor : Muhlas

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN