PERBEDAAN BUKAN DIPERDEBATKAN, TAPI DISUSUN RAPI BAK PELANGI

Penulis: Imam Huzaeni, Penyuluh Agama Islam Kabupaten Bondowoso

Di kampung saya, yang terletak di daerah selatan Kabupaten Bondowoso dan berbatasan dengan Kabupaten Jember, masyarakatnya tergolong sangat majemuk lantaran terdiri dari berbagai unsur dan kultur.

Ketika mendekati bulan ramadhan, bulan yang mulia dan selalu didambakan kedatangannya, banyak hal yang menjadi obyek perbedaan dan perdebatan, mulai dari budaya sampai ke masalah agama. Semuanya bisa diperdebatkan, diperuncing, bahkan juga bisa menjadi perpecahan antar kelompok dalam masyarakat.

Dari segi budaya misalnya, sebagian masyarakat di akhir bulan Sya’ban mengadakan acara “selametan”. Orang mengundang tetangga kerumahnya untuk berdoa bersama, dengan tujuan agar diberi keselamatan. Ada juga selametan dengan berkumpul di masjid, mushalla, rumah induk dan sebagainya.

Baca Juga : 

Menurut sebagian masyarakat yang lain, hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak mempunyai dasar, bid’ah dan lain sebagainya. Perbedaan penetapan awal bulan puasa juga melengkapi kemajemukan di kampung saya.

Baca Juga :

Mayoritas masyarakat mengikuti ketetapan dari pemerintah. Ada juga yang mengikuti ketetapan tokoh ulama dan aliran thariqah, ini juga berpotensi untuk diperdebatkan. Jumlah rakaat dalam pelaksanaan shalat tarawih, mayoritas melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat, ada yang 8 rakaat.

Merupakan hal yang renyah juga untuk diperuncing masalahnya. Ada juga perbedaan waktu mengenai adzan shalat isya yang dilantunkan lebih awal dari jadwal shalat yang diedarkan oleh Kementerian Agama.

Perbedaan mengenai kecepatan shalat tarawih yang variatif, di mushalla si A pelaksanaan shalat tarawihnya sangat cepat sehingga banyak diminati remaja dan pemuda yang masih lincah.

Sementara, di mushalla si B sangat lambat sehingga jamaahnya sedikit dan yang berjamaah mayoritas golongan usia sepuh. Di mushalla si C mengambil pertengahan tidak cepat dan tidak terlalu pelan, sehingga jamaahnya biasa – biasa saja.

Baca Juga :

Ada juga yang shalat tarawihnya dimulai sejak jam 9 malam sampai tengah malam, bahkan ada yang shalat tarawihnya itu sampai menjelang sahur. Belum lagi ritual membaca al Quran di malam - malam bulan ramadan yang dikenal dengan istilah “darusan” atau tadarus al Quran, yang sarat dengan berbagai macam cara dan suara orang membaca al Quran. 

Dari yang tersendat-sendat sampai ke yang lancar, dari yang suaranya enak sampai ke yang serak-serak basah. Di mushalla si A yang tadarus anak – anak semua. Suara gurauannya masuk ke pengeras suara. Mushalla si B yang tadarus golongan sepuh – sepuh sehingga irama dan suaranya bahkan tajwidnya kurang sedap di dengar.

Baca Juga : 

Ada lagi di mushalla C anak-anak remaja melantunkan bacaan al Quran juga bermacam-macam, ada yang lancar, ada yang sedang belajar membaca. Fenomena yang bisa menjadi perbedaan pendapat lagi ketika melaksanakan tadarus al Quran. Yang membaca satu orang sementara yang lain di luar, mengobrol, bercerita bahkan bersenda gurau.

Ketika yang membaca sudah selesai, digantikan oleh orang lain. Dan yang sudah membaca, mengobrol sembari menikmati kopi dan kue yang tersedia. Belum lagi warung – warung makanan yang buka di siang hari, dengan hanya berselimutkan spanduk atau kain sebagai penutup.

Sehingga, yang kelihatan hanya kaki dari konsumen yang sedang menikmati makanan warung. Istilah orang bondowoso “warung sakti”, orangnya hilang yang kelihatan hanya kaki. Belum lagi para pekerja baik yang di sawah ataupun di pasar dengan “alasan” masing-masing untuk tidak berpuasa.

Itulah beberapa potret warna kehidupan masyarakat kampung saya menjelang dan selama bulan puasa. Dari sekian macam warna tersebut pastinya ada warna yang ingin mendominasi di antara warna yang lain.

Jika ini dibiarkan, maka akan menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan dalam kehidupan bermasyarakat, dan tidaklah mungkin satu warna memiliki keindahan yang bisa dinikmati. Alam dan seisinya diciptakan Yang Maha Pencipta untuk kepentingan manusia, makhluk yang paling sempurna di antara sekian banyak ciptaan-Nya.

Manusia adalah khalifah di bumi yang diberi amanah untuk mengatur keseimbangan dan kemakmuran alam semesta. Mereka mempunyai peranan penting dalam menciptakan kedamaian dan kenyamanan hidup dalam kehidupan yang penuh dengan fenomena dan problematika ini.

Semua itu dilatarbelakangi oleh berbagai macam perbedaan dari segala aspeknya. Perbedaan inilah yang jika diibaratkan warna kadangkala mengaku dan tampil sebagai warna yang sangat dominan, yang akan bermuara pada perebutan dan bersaing untuk mencapai tujuannya.

Hal ini jika tidak ada landasan khusus maka warna yang pada prinsipnya merupakan sebuah keindahan yang enak dipandang, akan menjadi pudar bahkan hilang dari permukaan. Untuk itu menjadi sangat penting ada sebuah tatanan yang dapat mengukir dan menjadikan berbagai macam warna tersebut menjadi sebuah pelangi yang enak dipandang, dinikmati dan selalu dirindukan.

Seperti halnya masyarakat yang mengadakan ritual selametan menjelang Ramadan, jika dihalangi bahkan dibid’ahkan apalagi sampai dilarang, maka akan terjadi perpecahan dan bentrok dalam masyarakat.

Di sinilah perlunya keluasan dan keluwesan cara berfikir dan bertindak di masyarakat. Keluasan artinya wawasan dalam aspek pemahaman keagamaan mengenai dalil – dalil yang berhubungan dengan selametan tersebut. Seperti ada keterangan “sedekah itu dapat menghilangkan petaka”. Jika ini digunakan, maka acara selametan itu bisa diterima baik oleh masyarakat maupun oleh agama karena ada landasan hukumnya.

Mengenai tata cara besedekah, itupun juga tidak diatur waktu dan tata caranya. Kalaupun itu tidak ada landasan hukumnya maka perlu keluwesan dalam bertindak di masyarakat. Tidak serta merta ada sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat dan ditengarai tidak ada landasan hukumnya kemudian dilabrak atau diserang.

Baca Juga :

Bukan memberikan solusi tapi akan memberikan masalah yang baru di masyarakat bahkan akan menyebabkan disharmoni di kehidupan masyarakat. Seperti halnya dalam pelaksanaan shalat tarawih ada yang cepat, sedang dan lambat, sampai tadarus al Quran yang kadang sampai pagi. Hal ini jika disikapi dengan moderat, arif dan bijaksana maka akan nampak keindahannya.

Tapi jika tidak, maka jangan diharap pelangi yang selalu dirindukan akan muncul. Betapa pentingnya sebuah aturan dan tatanan seperti yang diatur dalam SE Menag RI Nomor 5 tahun 2022 yang mengatur tentang penggunaan pengeras suara, yang perlu disosialisasikan dengan arif dan bijak kepada masyarakat.

Maka dalam setiap perbedaan apapun yang terjadi di masyarakat haruslah disikapi dengan cara yang moderat, arif dan bijaksana. Niscaya perbedaan warna akan menjadi sebuah pelangi yang indah untuk dinikmati.(*)

Penulis: Imam Huzaeni, Penyuluh Agama Islam Kabupaten Bondowoso

Editor : Andiono P.

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN