Menulislah dengan Energi Kesadaran

Dr. Sutejo, M. Hum (Penasihat LTN PWNU Jawa Timur)

Bagi saya, menekuni dunia kepenulisan itu akan mengayakan diri. Kekayaan itu berupa: (i) keberkahan pahala jika niat benar, proses jiwa diri pun benar; (ii) Keberkahan uang (materi), terlebih jika kreatif mampu mewirausahakan kata-kata; (iii) Keberkahan silaturahmi, memperluas jaringan dan persaudaraan bukan sebaliknya; (iv) Keberkahan pengetahuan yang ditandai semakin tenang dan bersahabat jiwa-kesadaran penulis; serta (v) Keberkahan nama, yang dapat menginspirasi jariah ilmu kepada generasi selanjutnya.

*** 

Jika kita masih terjebak dalam paradigma menulis untuk kontroversi misalnya, mari kita tanyakan, “Untuk apa sebenarnya tulisan kita? Apa tujuan kita menulis?” Sementara, kehidupan mutakhir, disrupsi digital telah memporandakan kehidupan umum, kita masih gagap-tersumbat, disudut gang pengap yang bisa jadi “mematikan” kehidupan. Menulislah dalam konteks kenikian, sehingga mampu menangguk manfaat dari jerih payah perjuangan kata-kata kita.

Baca Juga : 

Katakanlah, kehidupan generasi milineal, apa yang akan kita tulis, bagaimana, dan mengapa harus menulis? Era disrupsi digital, wajib diiringi dengan budaya literasi –dalam beragamnya—dengan habituasi yang kuat dan menjiwa. Sekali lagi, mengutip Rhenald Kasali dalam Disruption (Gramedia, 2018); kita sekarang berhadapan dengan generasi milineal, di mana generasi ini sangat berbeda dengan pendahulunya.

Sebuah gambaran generasi yang ditandai oleh: (i) Mereka merasa jauh lebih merdeka, baik secara batiniah maupun lahiriah; merdeka dalam berpendapat, memilih karier, bepergian, konsumsi, dan menjalin kehidupan; (ii)  Mereka berkarakter ekstrover, kurang hati-hati dalam bertindak, terlalu emosional, mudah berpindah-pindah, ingin cepat “naik kelas”, dan lebih materialistis; (iii) Mereka lebih berpendidikan dan memiliki akses besar pada segala sumber  daya dan informasi sehingga memudahkan mereka dalam berkolaborasi; (iv) Masa mukim mereka terhadap segala hal menjadi lebih pendek; entah terhadap tempat tinggal, keluarga, sekolah, pekerjaan atau kegiatan-kegiatan yang serius (semisal ideologi atau hal-hal terkait); dan (v) Mereka lebih mengutamakan kebebasan dan kebahagiaan ketimbang aturan-aturan yang membelenggu (Kasali, 2018: 467) Sudahkah kita memikirkan fenomena ini?

Mari menulis dalam konteks kekinian sehingga berdampak dan bermanfaat bagi kehidupan kekinian. Bukan mengulik filosofi ilmu masa lalu –yang sesungguhnya memiliki kerancakan konteks yang jelas kita tak mampu menjangkaunya. Betapa pun hebat kita berselancar ke ribuan buku dan kitab, bukankah ia kemudian hanya sekundar sifatnya?

Tetapi menggeliat di dunia kepenulisan dengan terus memperbaharui niat, agar kita tidak tersesat. Tugas penulis bagi saya, mencahayakan kehidupan bukan menggelapkannya. Menggerakkan dan menginspirasi kehidupan, bukan mengacaukannya. Mengiluminasikan segala persoalan hidup melalui jendela permenungan yang mengantarkan generasi menjadi bagian dari solusi, bukan sebaliknya, sebagai sumber persoalan kehidupan milenial.

Mari, merenungkan jalan kepenulisan milenial, mengambil peran, dan berkontribusi tiada henti. Ingat, hanya generasi yang memiliki mindset berkecepatan eksponental yang mampu berbicara, berkontribusi, dan berbahagia hati menempuh jalan kepenulisan secara istikamah. Istikamah menulis butuh integritas, komitmen, dan loyalitas utuh!

Hanya menulis dalam peluk energi kesadaran-lah yang mampu menyelamatkan kehidupan ke depan. Sebuah “istana  asing”, tempat kembali dari segala yang semu dan bersifat material belaka. Bukankah menulis menuntut hakikat kesadaran sebagaimana diisyarakatkan Tuhan lewat energi-filosofis Iqro’?[*]

Halaman Sebelumnya : { 1 } { 2 } { 3 }


Penulis : Dr. Sutejo, M. Hum (Penasihat LTN PWNU Jawa Timur)

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?