Menulislah dengan Energi Kesadaran

Dr. Sutejo, M. Hum (Penasihat LTN PWNU Jawa Timur)

Saya teringat filsuf Charles Hendy sebagaimana dikutip Rhenald Kasali dalam Disruption, yang mengungkapkan bahwa cara berpikir (mindset) kita dibentuk bagaimana kita “melihat” ruang-ruang di rumah (2018:304). Kawan saya tadi, “kedua matanya” terjebak pada kesuntukan membaca “ruang-ruang hidup keilmuan”.

Bukankah kebenaran itu dimensional? Sesungguhnya lagi, kebenaran itu “sungguh-sungguh sangat relatif”, tersebab, kebenaran mutlak hanyalah milik Si Maha Ilmu.

Bagi saya, menulis itu seperti perbuatan kehidupan kita yang lain, kembalilah pada kemurnian niat. Untuk apa menulis, apakah tujuan hakiki dari kepenatan kita dalam menulis? Sekali lagi, teringatlah saya, pada penjelasan Rhenald. Bahwa mindset adalah bagaimana manusia berpikir yang ditentukan oleh setting yang kita buat sebelum berpikir dan bertindak. Ini sama seperti ponsel yang kita setting bahasa, fitur-fitur, suara, dan lain-lain sebelum kita pakai. Ada yang setting-nya kiri-kanan, ada yang sentral (ke tengah), dan bebas kiri-kanan, ada yang membuat dirinya sempit di tengah dan dihimpit batas-batas kiri-kanan yang kaku (2018:305)

Baca Juga : 

Di tengah kita hidup di era digital yang sangat membutuhkan kecepatan eksponental, di mana manusia menuntut kesegaran, real time. Di sini, kita mestinya bisa memahami apa yang disebut dengan corporate mindset. Kok, masih mempertanyakan soal mata uang dan jenis uang, bumi datar atau bulat, dan tetek mbengek lain. “Yang penting, kita bisa hidup di dunia dengan bahagia, nggak mikir bumi itu datar atau bulat kan?” sahutku dalam dialog kepenulisan itu. “Kalau sudah tahu, bumi itu datar, untuk apa kaitannya dengan kehidupan kita?”

Susah jadinya, padahal hidup kini sudah beyond. Sangat sulit diprediksi, kecuali bagi mereka yang mampu mengenali karakter kehidupan di era digital. Bagi kawan saya, Masuki M Astro, era mutakhir sangat membutuhkan apa yang disebutnya dengan “makrifati kesadaran”. Mengapa masih terjebak, pada syariat pengetahuan yang mensesatkan?

Saya teringat, sebelum ke Bondowoso, sedang asyik-asyiknya mendaras godaan pemikiran Rhenald, tentang pentingnya karakter mindset berkecepatan eksponental. Baginya,  Karakter Mindset Kecepatan Eksponensial itu meliputi: (i) Adanya respon cepat: tidak terhambat; (ii) Real-time: begitu diterima, seketika diolah; (iii) Follow-Up: langsung ditindaklanjuti, tidak ditunda; (iv) Mencari jalan, bukan mati langkah; (v) Mengendus informasi dan kebenaran, bukan menerima tanpa menguji; (vi) Penyelesaian parallel, bukan serial; (vii) Dukungan teknologi informasi, bukan manual; (viii) 24/7 (24 jam sehari/7 hari seminggu), bukan eight to five (dari pukul delapan pagi hingga pukul lima sore; dan (ix) Connexted (terhubung), bukan terisolasi (2018:307).

Satu saja, jika kita terisolasi dari keterhubungan kehidupan, apa yang terjadi? Mencari kebenaran dengan “kaca mata” kuda, hanya menyakitkan karena kita telah menutup kebenaran dari berbagai arah, yang merupakan kodrat keberadaan ilmu.

***

Kembali, pada renungan awal, sesungguhnya yang akan membantu kita adalah apa sih sebenarnya tujuan awal kita menulis? Ingin tenar, kaya, kegagahan, keilmuan, atau hanya untuk menyampaikan kontroversi, yang sesungguhnya dalam kehidupan mutakhir menjadi kurang berarti untuk membangun kehidupan yang agung. Menulis itu panggilan jiwa (substilnya, bolehlah Anda menyebutnya: Ruh).

Jika boleh mengingatkan dalam teori kepenulisan dikenal beberapa tujuan menulis. Menurut Syafie’ie (1988:51-52),  tujuan menulis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (i) Mengubah keyakinan pembaca; (ii) Menanamkan pemahaman sesuatu terhadap pembaca; (iii) Merangsang proses berpikir pembaca; (iv) Menyenangkan atau menghibur pembaca; (v) Memberitahu pembaca; dan (vi) Memotivasi pembaca. Tetapi, ingatlah masing-masing tujuan diri dalam kepenulisan memiliki sejumlah risiko masing-masing yang lekat padanya.

Sementara, penekun dunia teori menulis lain, yang saya kenal sejak kuliah S1, Prof. Guntur Tarigan, pernah mengutip pendapat Hugo Harting (1994:24-25)  yang mengelompokkan tujuan menulis ke dalam: (i) Tujuan penugasan (assingnment purpose); (ii) Tujuan altruistik (altruistic purpose); (iii) Tujuan Persuasif (Persuassive Purpose); (iv) Tujuan penerangan (informational purpose); (v)Tujuan penyataan (self-expressive purpose); (vi) Tujuan kreatif (creative purpose); dan (vii) Tujuan pemecahan masalah (problem-solving purpose). Merenungkan kembali tujuan menulis dari dua ahli ini, barangkali menarik dan mengulik jiwa.

Di sinilah, yang menjadikan dunia menulis sebagai tempat kembali keilmuan yang mendamaikan, penting untuk disadari dan dijadikan pintu besar pengembangan kepenulisan kita, Sehingga, betul-betul jadi wasilah hidup yang meningkatkan keadaban dalam peradaban manusia kelak.

Halaman Selanjutnya : { 1 } { 2 } { 3 }

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?