Agama Oreo.

Lutfhi Khoiron Djauhari, Alumni PP Al Ustmani beddian Jambesari (Foto : Tim Kreatif)

"Diputer, dijilat, dicelupin."

Itu kira-kira bunyi iklan sebuah produk biskuit, Oreo. Narasi yang dikembangkan bukan lagi soal rasa biskuit, namun fantasi memakannya. Yang dijual bukan lagi manfaat dan citarasa, tapi gaya.

Beda halnya dengan makanan lokal, yang diwariskan turun-temurun. Tak perlu iklan, tapi selalu ada sebagai sajian di tiap kondangan dan hajatan. Higienis, fresh, alami dan tentu saja, enak. 

Sementara makanan olahan pabrik, selain mengandung unsur kimia dan racun, identitas kesuciannya juga tidak jelas. Rasanya juga memerlukan adaptasi khusus untuk orang Indonesia.

Jika diamati, strategi marketing perusahaan lebih banyak melabrak logika, demi memenangi persaingan melawan kompetitor. Terlebih jika produknya tak memiliki akar sejarah dengan lidah dan kebiasaan orang Indonesia. Sehingga pada aspek ini, semua ragam bisnis pada dasarnya hanya menggunakan satu pola untuk menarik konsumen, yaitu manipulasi.

Beberapa pebisnis amatir, menggunakan pola manipulasi data produk. Sebagian lagi, memanipulasi kemasan, karena produk mereka hanya olahan duplikasi. Sementara yang lain memanipulasi pikiran orang agar bersedia membeli. Kadang semua pola ini dipakai oleh pebisnis rakus.

Ada gejala, dimana beragama sudah 'disamakan' dengan bisnis dan dimanajemen dengan penuh manipulasi. Pola ini dibangun oleh kartel pengimpor ideologi. Mereka membangun narasi-narasi lebay untuk menjajakan keyakinan kepada muslim nusantara, berlagak sebagai agen pahala dan developer surga. Padahal ujung-ujungnya adalah ‘support anggaran’ dari induk semangnya di Najed, UEA, Tel Aviv, New York dan Britania Raya.

Tak tanggung-tanggung, mereka berani mendramatisir praktik agama, bahkan menggunakan kemasan bertulis 'original' untuk menjaring pengikut. Sebagian malah berani memanipulasi ajaran yang suci ini.

Sejatinya, agama tidak pernah berjalan di ruang kosong, selalu terikat oleh budaya. Kesucian agama dan fitrah budaya juga selalu seikat dan beriringan. Tak saling menegasikan. Sebab budaya mengandung moral, dan misi risalah Kanjeng Nabi didesain untuk menyempurnakan moral dengan agama.

Kemudian, esensi penting ini dimanipulasi. Beberapa kelompok dan ormas menjadikan ayat dan riwayat sebagai amunisi untuk mendesakralisasi budaya yang lestari secara turun-temurun. Padahal mereka tak pernah berdarah-darah ikut membangun bangsa ini, lalu menjajah negeri ini dari dalam dengan kedok agama.

Kelompok-kelompok penyamun ini terbagi dalam beberapa tipologi:

Pertama, Aliran Pemuja Teks.

Bagi kelompok ini, urusan selembar kain bernama gamis diblow-up habis-habisan agar memenangi kontes kostum melawan batik Nusantara. Soal ukuran jarak kain sarung dari tumit, bisa menjadi penggugur hak masuk surga. Belum lagi budaya ziarah kubur, dinilai sebagai tiket VIP ke neraka.

Alhasil, semua tradisi budaya yang sudah diwarnai dengan tinta emas, sehingga tampil sebagai corak khas Islam Nusantara dicap sebagai prilaku bid’ah.

Sepintas, kelompok ini nampak benar. Sebab mereka lihai merancang premis-premis dengan bantuan ayat Al-Quran dan sabda Kanjeng Nabi. Bahkan mereka terlampau boros dengan aneka teks dan kutipan.

Ciri utama kelompok ini adalah jargon kembali ke Sunnah. Ya, maksudnya Sunnah versi mereka. Silahkan cek kitab-kitab hadits, seperti 'Silsilah al-Ahadits'-nya al-Albani. Banyak hadits-hadits shahih dalam shihah as-sittah didhaifkan, kadang sebaliknya. 

Mereka juga mengakuisisi istilah-istilah yang digunakan oleh Islam Nusantara, seperti penggunaan nama "Pesantren Salaf", hingga penamaan lembaga-lembaga mereka dengan nama Imam Madzhab yang tak mereka anut.

Kelompok ini memaknai ayat secara artifisial, sehingga 'bekas sujud' mesti dalam bentuk tato religi di dahi. Dapat dimaklumi, sebab penggagas aliran mereka adalah Ibnu Taimiyah, yang menganut tajsim atau posturisasi Tuhan. Semua mesti berwujud materi, bukan maknawi.

Parahnya, mereka menderita penyakit narsis akut, yang dalam bahasa Mbah Tolchah Hasan disebut, “la yaqbalu al-khatha’ min nafsihi, wa la yaqbalu ash-shahwa minal ghair. Mereka tak pernah mengaku salah, sementara kelompok lain tidak pernah benar.” Ciri-ciri tersebut adalah syarat-rukun kelompok ini. Semua sama, mereka yang tinggal di gurun, atau yang mendiami Indonesia.

Kedua, Aliran Figurisme.

Kelompok kedua ini menggunakan potongan budaya Nusantara yang memosisikan tokoh agama sebagai sumber referensi hidup (kitab nathiq). Sepintas, tampilan mereka terlihat sama dalam menghormati ulama dan mengikuti petuahnya, namun berbeda dalam asas kompetensi keulamaan.

Figurisme yang terbangun secara natural di Nusantara adalah mata rantai dari gradasi kenabian. Ulama panutan umumnya memiliki dua jalur pewarisan dari Rasulullah, genealogi dan ideologi. Ilmu yang diajarkan juga memiliki silsilah sanad berkesinambungan. Sehingga institusi keulamaan (baca: NU) adalah representasi kenabian, dan menghormati ulama adalah bentuk gradasi penghormatan mereka kepada Baginda Nabi. 

Titik fundamental ini dimanfaatkan oleh aliran figurisme, dengan mengorbitkan figur 'pendatang baru'. Dipoles, dimakeup, sehingga tampak mewah. Beberapa figur yang dimunculkan sebagian memiliki keikatan genealogi dengan Nabi. Dari sini awal mula manipulasi licik mereka.

Kerja kelompok ini adalah mendelegitimasi peran ulama tradisional, yang melanjutkan perjuangan kakek buyut pendahulunya. Mereka membuat figur-figur sintesis yang diviralkan, diglorifikasi, kemudian memunculkannya sebagai 'ustadz Nasional' di televisi, platform YouTube dan berbagai lini medsos. Sebagian dari mereka ada yang mencapai level imam besar.

Kelompok ini juga piawai memprovokasi dan memobilisasi massa. Berbagai aksi dan demo berjilid-jilid adalah produk industri unggulan mereka. Tak heran, jika kini masyarakat kebingungan membedakan sosok ulama pewaris. Malah, ulama sintesis besutan mereka terlihat lebih eye catching, ceramahnya lebih memikat, bahkan basis massa-nya lebih solid.

Seperti apapun, kepalsuan tetaplah kepalsuan. Realitas menemukan momennya sendiri untuk membuka kesadaran publik. Hanya soal waktu.

Ketiga, Pengasong Khilafah

Gerombolan ini adalah bentuk mutasi virus ideologi. Organisme itu disebar oleh Inggris sejak pra runtuhnya Turki Ottoman, dan negeri Elizabeth itu pula yang meruntuhkan dinasti al-Fatih tersebut. Sebagian virus itu berevolusi menjadi penyamun yang membentuk Saudi Arabia dan negara-negara kroninya. Sebagian lagi didesain sebagai antitesa demokrasi, mengusung khilafah. 

Buku-buku seperti "Ahkam Sulthania" karangan Imam al-Mawardi, yang sejatinya ditulis untuk menyelamatkan dinasti Abbasiyah dari kehancuran, digunakan oleh kelompok khilafahis palsu sebagai hujjah pendukung, selain kitab-kitab induk karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani. 

Di belahan Mesir, pasca syahidnya Hasan al-Banna, Sayyid Qutub juga mengubah haluan Ikhwanul Muslimin menjadi sebarisan dengan kelompok ini. Meski beda latar belakang.

Faktanya, Pan Islamisme (Ittihad al-Islam) gagasan Jamaluddin al-Afghani dan Pan Arabisme ala Rifaat (meski belakangan terkuak itu adalah ide T.E Lawrence, dan gaungnya santer di era Jamal Abdunnaser) untuk membebaskan negara-negara Arab (dari Turki Ottoman) tak bisa membebaskan bangsa Arab dari jerat penjajahan Barat, hingga kini. Justru yang terjadi adalah porak-porandanya nasionalisme Arab dan kemesraan menjijikkan para pemimpin mereka dengan zionis. HTI mengkritik keduanya, bukan untuk membangun solusi, namun mengembalikan keemasan dinasti-dinasti.

***

Tiga kelompok ini melihat bumi Nusantara sebagai ladang subur untuk menyebarkan ideologi mereka. Maka mereka menyewa para pekerja asli Indonesia (pribumi dan keturunan) untuk mewujudkan agenda-agenda licik itu. Pada titik ini, mereka menjadi satu dalam mewujudkan agenda bersama. 

Bisa jadi, beberapa pekerja kasar dari kalangan mereka tidak memahami grand desainnya, karena hanya bermodal kain putih dan kepalan tangan. Selebihnya mampu meneriakkan takbir sebanyak mungkin. 

Tapi ini tentang Indonesia, tanah yang diberkahi dan dibangun dengan darah pendahulu. NU hanya punya satu seruan untuk mereka, "Lawan!"

Perjuangan NU jauh lebih berat dari pada mengangkat senjata, seperti para pejuang dulu. Karena mereka melawan anak bangsa sendiri, khususnya dalam membentengi Nusantara dari 'agama Oreo' yang dipropaganda oleh tiga kelompok di atas.

NU sendirian. Benar-benar sendirian. (*)


Penulis : Luthfi Khoiron, Alumni PP Al Ustmani Beddian Jambesari

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN