Tawassul yang Disyirikkan dan Dibid’ahkan (Part 2)

Ilustrasi, Lukman mati kutu didepan Guru ngaji ketika ditanya penjelasan tentang kesyirikan orang yang bertawassul, (Foto : Tim Kreatif)
Mentari bersinar terang menerangi bumi. Petani pun sedari pagi sudah sibuk dengan cangkulnya di sawah dan ladangnya masing-masing meninggalkan anak dan istrinya di rumah. Salon di barat rumahku seperti biasanya mulai mengusik masyarakat. Tak kenal waktu memang. Entah pagi, siang dan sore tetap saja berbunyi dengan berbagai macam genre musik, kecuali di waktu adzan.

Banyak orang yang risih dengan suara musik itu dan bukan hanya satu dua kali saja pemilik rumah ditegor. Berkali-kali ditegor, tapi tetap saja begitu. Malah semakin ditegor, salonnya semakin dikeraskan volumenya. Keras kepala memang.

Sebentar lagi adzan akan berkumandang, tapi bunyi salon di barat rumahku masih berbunyi dengan kerasnya seperti ada hajatan di rumahnya. Padahal tidak. Pas ketika adzan berkumandang, salon itu dimatikan. Bunyi musik dangdut kini berubah menjadi lantunan adzan dengan suara serak.

“Tak apalah suaranya serak, yang penting adzan dan tidak ada yang salah kalimatnya,” kataku di dapur menikmati nasi goreng yang baru kusajikan.

Baca Juga :

Asyik menikmati nasi goreng, aku teringat pada Lukman. Apa ia menjalankan misinya hari ini? Bagaimana dengan Senol sahabat karibnya sejak SD? Apa ia sudah menerima tawaran Lukman dan mulai beraksi mencekoki masyarakat agar percaya dengan apa yang ia sampaikan?

“Ah, sudahlah. Makan aja dulu, baru mikirin mereka,” abaiku begitu saja.

* * *

“Assalamu’alaikum,” kata Lukman mengetuk pintu rumah Ibu Sari.

“Wa’alaikum salam. Eh, Lukman. Silahkan masuk.”

Lukman pun duduk dengan tenang sambil menunggu Ibu Sari keluar lagi dari dapurnya. Tadi ia berpamitan mau mengambilkan minum untuk Lukman.

“Ada apa, Man? kok bawa sembako segala?” Tanya Ibu Sari setelah dari dapur dan mempersilahkan Lukman untul meminum minuman yang ia bawa.

“Sembako ini untuk Ibu Sari. Ini sedekah saya, Bu. Semoga Ibu Sari mau menerimanya,” Lukman mulai beraksi dengan kelicikannya.

“Emang dari mana kamu dapat uang untuk beli sembako ini, Man?” Ibu Sari ragu untuk menerimanya karena sepanjang pengetahuannya, Lukman adalah seorang pengangguran.

“Saya diberi Ustadz Fuad, Bu. Tiap hari Ahad saya dapat uang, sembako dan lainnya.”

“Ustadz Fuad baik sekali ke kamu, ya? Emang kenapa harus kamu yang diberi, Man? Kok yang lain tidak?”

“Karena saya adalah murid di pengajiannya Ustadz Fuad, Bu. Ibu Sari juga bisa ikutan kalau mau. Tidak hanya ngaji loh, Bu, tapi juga ada bagi-bagi sembako usai pengajian,” hasut Lukman.

Tak kalah Menarik : Karomah Kiai As'ad Syamsul Arifin; Memecah Badan dan Mengetahui Turunnya Hujan

Ibu Sari belum menjawab. Pikirannya masih mengambang antara percaya atau tidak karena ia khawatir dibohongi oleh Lukman.

“Bagaimana, Bu?” Tanya Lukman mengagetkan Ibu Sari yang termenung.

“Ehh, iya. Kapan pengajiannya, Man?” Kata Ibu Sari salah tingkah.

“Tiap hari Ahad. Ibu Sari bisa bawa bapak dan anaknya kalau mau dapat sembako lebih banyak, hehehe,” Lukman girang bukan main karena Ibu Sari mulai masuk ke dalam perangkapnya.

Ibu Sari hanya mengangguk dan semakin terbayang dalam pikirannya bahwa ia tidak akan bersusah payah untuk makan sehari-hari dengan mendapatkan sembako itu. Melihat Ibu Sari yang senyum-senyum sendiri membayangkan banyaknya sembako yang akan segera ia peroleh, Lukman pun ikut tersenyum bangga.

“Saya tunggu hari Ahad ya, Bu. Saya pamit pulang,” kata Lukman kemudian pergi mencari target selanjutnya.

Sepanjang perjalanan Lukman tersenyum sumringah karena berhasil menghasut Ibu Sari. Seperti pesan yang disampaikan Ustad Fuad pada Lukman, semakin banyak orang yang ia ajak maka ia akan semakin banyak mendapatkan uang, sembako dan kebutuhan yang lainnya.

Sambil setengah berloncat-loncat dalam jalannya, Lukman terus menyusuri lorong-lorong menuju rumah Senol—sahabat karibnya sejak SD. 

Setelah pintu diketuk, bukan Senol yang keluar tapi ibunya. Lukman tidak langsung pergi walaupun sudah tahu kalau Senol tidak ada di rumah. Ia malah basa-basi menanyakan kepergian Senol kemudian merambat pada keadaan ekonomi ibunya Senol.

Dalam pikirannya, kalau Senol tidak bisa dihasut barangkali ibunya bisa dihasut. Dan benar saja, ketika ibunya Senol menceritakan keadaan ekonomi keluarganya, Lukman merasa dibukakan pintu. Ia langsung beraksi bagaikan Singa yang mendapat mangsa setelah tahu keadaan ekonomi keluarganya Senol.

“Saya sekarang tidak bingung lagi untuk urusan makan sehari-hari, Bu,” katanya dengan lembut.

“Soal makan, saya selalu mendapatkan sembako. Bahkan bukan hanya sembako, saya juga dapat uang perminggunya, Bu,” lanjutnya bersemangat.

Diceritakan demikian, siapa yang tidak mau seperti Lukman yang tiap Ahad selalu mendapatkan uang dan sembako sehingga untuk urusan makan pun ia tidak perlu bersusah payah mengeluarkan keringat. Cukup ikut pengajian, ia akan mengantongi amplop berisi uang dan membawa sembako.

Ibunya Senol yang tidak tahu maksut dan tujuan dari pengajian tiap Ahad seperti katanya Lukman itu sedikit demi sedikit mulai menunjukkan rasa keinginannya untuk mengikuti pengajian. Kini, pintu semakin dibuka lebar. Lukman melanjutkan hasutannya.

“Saya itu cuma datang, Bu. Setelah itu mendengarkan ceramah Ustadz Fuad lalu pulangnya diberi uang dan sembako. Enak sekali, kan?”

“Iyaa kalau hanya begitu enak banget, Man,” kata Ibunya Senol.

“Kalau Ibu mau seperti saya, ayo ikut pengajian tiap hari Ahad, Bu. Ajak juga Bapak dan Senol.”

“Kalau sendiri kenapa, Man? Bapak kan kerja.”

“Semakin banyak yang Ibu bawa, maka semakin banyak pula uang dan sembako yang akan Ibu dapatkan,” jawab Lukman dengan mantapnya.

“Wah, enak banget ini, Man. Iya sudah saya mau ikut hari Ahad, Man.”

Dalam hati Lukman berkata, “Yess.”

* * *

Dua orang sudah yang berhasil Lukman taklukkan. Ia kembali melanjutkan perjalanan mencari orang-orang yang menurutnya bisa diajak untuk mengikuti pengajiannya Ustadz Fuadz tiap hari Ahad.

Hari mulai sore, tapi Lukman belum puas mengajak orang-orang. Sasarannya sekarang adalah guru ngaji di barat jalan. Jadi, desaku ini terbagi menjadi dua yakni wilayah timur dan barat yang dipisah dengan jalan beraspal.

Sengaja ia memilih guru ngaji sebagai sasarannya sekarang. Ia ingin menguji dirinya sendiri sejauh mana ia dapat berdialog dan menghasut orang-orang—khususnya guru ngaji, untuk diajak mengikuti pengajiannya Ustadz Fuad.

Sesampainya di rumah guru ngaji, Lukman langsung dipersilahkan duduk. Dengan begitu percaya dirinya ia mulai mempertanyakan alasan umat Islam melakukan tawassul, tahlil, ziarah kubur dan lain sebagainya. Bukan hanya mempertanyakan, ia juga mengatakan pada guru ngaji itu bahwa menurutnya tawassul, tahlil, ziarah kubur dan lain sebagainya adalah perbuatan syirik dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW alias bid’ah.

“Siapa yang mengajarimu begitu, Man?” Guru ngaji itu kaget mendengar Lukman mengatakan begitu. Padahal, guru ngaji Lukman yang sudah wafat tidak pernah mengajarkan hal demikian dulu ketika masih hidup.

“Bukankah memang begitu, Ustadz?” Lukman malah balik bertanya tak memberitahu bahwa yang mengajarinya adalah Ustadz Fuad.

“Tawassul itu bukan perbuatan syirik, juga bukan bid’ah,” kata guru ngaji itu.

“Bukankah orang yang bertawassul itu menyekutukan Allah SWT? Kan orang yang bertawassul itu mengharapnya pada makhluk bukan pada Allah SWT. Seharusnya, hanya kepada Allah-lah kita berharap bukan yang lainnya,” jawab Lukman dengan mantapnya.

“Hahaha. Sebelum saya tanggapi pertanyaan dan pernyataanmu itu, saya mau bertanya. Kamu tahu tawassul itu apa?”

“Tawassul itu yaa mengharap sesuatu bukan pada Allah SWT, tapi mengharap kepada makhluk-Nya. Dan, anehnya lagi mengharapnya itu pada orang yang sudah mati. Begitu kebiasaan orang-orang, kan?” Kata Lukman terheran-heran dengan kebiasaan orang-orang yang melakukan tawassul.

“Kata siapa kamu yang dimaksud tawassul itu begitu?” Jawab guru ngaji itu tetap tertawa.

Lukman tidak menjawab kali ini. Ia bingung akan menjawabnya bagaimana karena ia sendiri tidak tahu referensi dari penjelasannya tadi. Ia hanya berkata seperti apa yang Ustadz Fuad ajarkan. Mau menjawab katanya Ustadz Fuad, ia merasa malu karena tidak mencari kebenarannya terlebih dahulu. Mau menjawab kata al-Qur’an atau Hadits, ia khawatir akan ditanyakan ayat atau haditsnya.

Mati kutu kali ini Lukman di hadapan guru ngaji itu. Ia tidak bergerak sama sekali, wajahnya menunduk mencari-cari jawaban untuk menutupi rasa malunya. Guru ngaji itu hanya memandang Lukman sambil tersenyum-senyum. Ia masih menunggu jawaban Lukman untuk mengetahui siapa yang mengajari Lukman begitu.

“Begini, Ustadz,” kata Lukman akhirnya mendongak.

“Tawassul itu yaa memang perkara syirik dan bid’ah…”

“Loh, iya siapa yang mengajarimu begitu?” Kata guru ngaji itu memotong perkataan Lukman.

“Iyaa al-Qur’an dan Hadits lah,” jawab Lukman spontan. Sepertinya Lukman mulai emosi.

“Hahaha. Ok lah kalau memang itu sudah dijelaskan di dalam al-Qur’an atau Hadits. Sekarang coba kamu sebutkan ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa tawassul adalah perbuatan syirik,” pinta guru ngaji itu.

Lagi-lagi Lukman tidak bisa menjawab. Ia menyesal karena sudah mengatakan bahwa penjelasannya ada di dalam al-Qur’an dan Hadits. Ia keceplosan tadi mengatakan begitu sehingga sekarang ketika disuruh menyebutkan ayat al-Qur’an, ia diam seribu bahasa.

Lumayan lama Lukman tak berkutik di hadapan guru ngaji itu. Akhirnya, guru ngaji itu pun mengalihkan permintaannya untuk menyebutkan salah satu Hadits yang menjelaskan bahwa tawassul adalah perbuatan syirik dan tidak ada pada masanya Nabi Muhammad SAW alias bid’ah.

Belum lagi Lukman mendapatkan jawaban untuk menyebutkan ayat al-Qur’an, ia sudah diminta untuk menyebutkan Hadits kalau memang tidak tahu ayat al-Qur’an yang menjelaskan tawassul adalah perbuatan syirik.

Lanjut Baca :

Semenit dua menit pun berlalu. Lukman masih berpikir. Ia mencoba mencari jawaban dengan melihat atap-atap rumah. Pikirnya, barangkali dengan menghadap ke atas dapat menemukan jawaban. Namun, usahanya gagal. Gagal total. Ia tak menemukan jawaban apa-apa dari atap-atap rumah itu. Ia hanya menemukan genting yang dipasang secara rapi untuk menaungi penghuni rumah.

Ketika guru ngaji itu mau berbicara, Lukman langsung berkata, “Ada Haditsnya, Ustadz,” dengan girangnya. Wajahnya berseri kembali setelah sebelumnya murung karena hampir tidak bisa menjawab pertanyaan guru ngaji itu.

“Bagaimana Haditsnya, Man?”

“Saya kalau arabnya tidak tahu. Intinya, setiap perkara yang tidak ada pada masanya Nabi Muhammad SAW adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Kemudian, setiap orang yang sesat tempatnya adalah di neraka,” ujar Lukman begitu percaya dirinya seakan-akan jawabannya adalah jawaban paling benar dan tidak mampu dibantah oleh guru ngaji itu.

“Hahaha. Kamu ini lucu, Man,” kata guru ngaji itu terpingkal-pingkal karena jawaban Lukman.

Tentu Lukman heran dengan sikap guru ngaji itu karena menurutnya jawabannya itu adalah jawaban yang paling benar, kenapa malah ditertawakan?

“Tadi saya minta kamu menyebutkan ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang tawassul yang katamu adalah perbuatan syirik, kamu tidak mampu menjawabnya. Sekarang saya minta kamu menyebutkan Hadits yang menjelaskan tentang tawassul yang katamu tidak pernah ada pada masanya Nabi Muhammad SAW, kamu malah menyebut hadits tentang bid’ah yang itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan tawassul. Dan juga, pemahamanmu terhadap Hadits itu juga keliru,” kata guru ngaji itu tetap terpingkal-pingkal.

Guru ngaji itu masuk ke kamarnya lalu keluar membawa kitab Jaami’us Shaghiir setelah terpingkal-pingkal dengan jawaban Lukman. Ia membuka halaman 59 lalu menunjukkan sebuah Hadits kemudian menyuruh Lukman untuk membacanya.

Lukman terperangah disodorkan dan disuruh membaca kitab kuning. Ia tidak pernah nyantri di pesantren sebelumnya, ia hanya santri langgaran seperti pada umumnya di pedesaan.

“Saya tidak tahu baca kitab, Ustadz,” kata Lukman jujur.

“Hahaha. Kamu tidak tahu baca kitab saja sok-sokan mengatakan tawassul itu syirik dan bid’ah, Man-man. Jangan sok tahu deh kalau memang tidak tahu,” ucap guru ngaji itu kemudian masuk ke kamarnya meletakkan kitab pada posisi semula.

Melihat guru ngaji itu masuk ke kamarnya, Lukman yang merasa sangat malu pun bergegas keluar. Ia tidak mau dipermalukan lagi. Sepanjang perjalanan dengan berlari ia berpikir, “Untung tadi tidak ada orang sama sekali. Kalau sampai aku ketahuan tidak bisa menyebutkan ayat al-Qur’an dan membaca kitab tadi, orang-orang pasti tidak akan mengikuti ucapanku.”

* * *


Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN