Wadah Rezeki yang Dikesampingkan Part 2

Ilustrasi, Sang Bapak tidak pernah bosan mengingatkan Anaknya tentang salat.(Foto : Tim Kreatif)
Mata dan badan tetap kuhadapkan pada bapakku, wajah yang penuh wibawa itu kutatap lekat-lekat. Tiba-tiba Bapakku bertanya lagi “Kamu tidak lupa salat kalau kuliah, kan?”

Dengan tenang sambil memperhatikan bapak kujawab pertanyaannya, “Tidak, Pak.”

“Jangan lupa salat, Nak. Jaga baik-baik salatmu. Dimanapun kamu berada, jangan lupa salat,” katanya dengan serius.

“Kalau salat sudah kau jaga baik-baik, apa pun yang menjadi impian atau cita-citamu pasti akan dipermudah oleh Yang Maha Kuasa untuk menggapainya.”

Baca Juga : 

Serius. Pembahasannya serius, seakan bapak tidak akan membersamaiku lagi. Seakan itu adalah pesan terakhirnya. Tapi, tidak mungkin. Tubuhnya masih kekar, wajahnya masih berseri, senyum manisnya masih kurasa walau petuahnya itu sedikit menggunakan nada tinggi.

Petuahnya sangat menekanku untuk tidak lupa melaksanakan salat. Aku yakin pasti ini karena usiaku yang baginya sudah cukup untuk menempuh hidup yang lebih serius lagi, menikah. Tapi, aku belum berpikiran tentang hal itu. Semangat belajarku masih tinggi. Kalau hanya sekadar tunangan boleh-boleh saja, tapi untuk nikah aku belum berpikir sejauh itu.

Kuperhatikan baik-baik raut wajahnya. Petuahnya kali ini seperti bekal hidupku untuk tidak seatap lagi dengannya. Masih kuingat betul ketika ibu mengatakan kalau aku menikah nanti harus ikut istri. Rumah yang kutempati sekarang akan ditempati oleh adik kandungku—Dik Ifan, dan orang tuaku.

“Bapak sudah berusaha untuk menjaga salat dan di setiap salat pasti Bapak berdoa untukmu, Nak. Berdoa untuk kebahagiaanmu, kesejahteraanmu dan kecukupan rejekimu …” Bapak tak melanjutkan kata-katanya. Matanya tertuju padaku, dan aku langsung menunduk melihat ke arah bantal guling yang kubelai di sampingku.

“Ibumu juga Bapak suruh untuk tidak lupa mendoakanmu. Bukan hanya kamu saja, Adikmu juga sama. Sama-sama didoakan agar menjadi orang yang bermanfaat, bahagia dan membahagiakan, barokah umur dan ilmunya, menjadi orang yang sukses,” katanya melanjutnya.

Ibu belum bicara. Aku hanya mengiyakan apa pun yang dikatakan bapak sambil meng-aamiin-kan doanya.

“Salat ini penting, Nak. Salat adalah kuncinya segala, salah satunya adalah rejeki. Kalau salatmu sudah dijaga dengan baik, insyaallah rejekimu akan lancar,” ujarnya.

“Iya, Pak,” jawabku singkat.

“Wadahnya rejeki yaa salat itu. Makanya Bapak kan sangat menekan kalau urusan salat yaa karena hal itu salah satunya. Kiai-kiai juga mengatakan begitu, salat yang utama intinya. Kalau salatnya sudah dijaga, apa pun akan menjadi mudah,” lanjutnya, menekan.

Sengaja tak kujawab panjang lebar petuah bapak. Kudengarkan baik-baik ucapannya, karena ini adalah salah satu bekal yang harus kupegang erat ketika menikah nanti. Tanpa salat, apa yang akan kita persembahkan pada Sang Pencipta? Aku meyakini ucapan bapak, bahwa salat memang wadahnya rejeki.

Selain itu, kata bapak, salat akan membuat orang tenang dan bahagia. Percuma katanya punya harta berlimpah kalau tidak salat, kalau tidak tenang dan bahagia.

“Dengan harta apa pun yang menjadi keinginan kita akan menjadi mudah, Nak. Pasti kita senang dan bahagia kalau punya harta yang banyak, tapi perlu kau ingat juga bahwa harta bukan segalanya. Kalau kamu tidak salat, apa guna harta yang banyak itu?”

“Tidak ada apa-apanya, Pak, dibandingkan dengan salat.”

“Kalau punya rejeki jangan lupa bersyukur, khususnya jangan lupa salat. Orang yang sukses itu karena salatnya dijaga dengan baik, makanya kamu juga harus menjaga salatmu agar rejekimu barokah dan bermanfaat.”

Sungguh aku tak berkutik kali ini. Petuahnya mengingatkanku ketika aku lupa melaksanakan salat. Ah, sungguh berdosanya aku. Di pesantren juga diajarkan begitu, bahwa salat adalah kunci segalanya. Ketika salatnya sudah baik, maka yang lainnya akan ikut baik.

Kutunggu bapak menyelesaikan petuahnya sampai selesai. Televisi kuhiraukan karena petuah bapak yang sangat penting bagiku. Ini bekal, dalam batinku. Bekal untuk hidup di masa depan, di rumah orang, tidak seatap lagi dengan orang tua.

Baca Juga  : Kisah Unik dan Refleksi Kehidupan

Film IPA dan IPS kembali dimulai. Bapak tak bicara lagi, sepertinya petuahnya sudah tidak ada lagi. Hanya salat yang kali ini ia titipkan padaku. Petuahnya sudah kurekam baik-baik dalam ingatan, bahkan akan kutulis di laptop agar ketika aku lupa bisa mengingat catatanku.

Bersambung ......


Penulis : Muhlas

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN