Wadah Rezeki yang Dikesampingkan Part 1

Ilustrasi Seorang hamba bermunajat kepada Allah SWT (Foto : Tim Kreatif)
Hufts…

Lelahnya pikiran dan tenaga membuatku sedikit mengeluh. Efeknya bukan hanya tentang kepenatan, tapi juga kemalasan yang mengobrak-abrik semangat menulisku.

Pulang dari Bondowoso langsung kurebahkan badanku ke kasur untuk sejenak mengobati kepenatan. Banyaknya pikiran kuobati langsung dengan salat. Ya, salat. Tidak ada yang bisa kulakukan selain itu. Selain dengan mentafakkuri diri sendiri, mendirikan salat juga menjadi cara ampuh mengembalikan ketenangan hati dan pikiran.

“Sudah salat Maghrib, Cong?” Kata bapak.

“Enggeh sudah,” kataku berlalu ke kamar.

Baca Juga :

Kemeja kugantung di belakang pintu. Bapak dan ibu asyik menonton televisi. Entah apa yang ditontonnya aku tak memperdulikan, karena memang tidak terlalu suka menonton televisi. Yang kulakukan hanya di kamar mengotak-atik handphone dan laptop. Bolak-balik buka chat dan status WhatsApp.

Bosan tentu. Tapi, perhari ini yang membuatku tidak bosan adalah seorang perempuan yang tidak lama lagi akan kusunting sebagai pendamping hidup. Insyaallah, hehehe. Semoga Allah SWT memperlancar segala urusan ini. Aamiin. Aamiin-kan, ya. Hehehe.

Bantal guling menemaniku di kamar. Ia pendamping setiaku saat pulang dari pesantren atau sekadar mampir sepulang kuliah. Aku menyukainya, tapi aku lebih suka menulis walau tidak seperti dulu. Ya, dulu tiap hari satu tulisan, tapi sekarang berbeda. Hampir sebulan lebih laptop kubiarkan terbuka begitu saja tanpa aku isi dengan tulisan-tulisan hasil bacaan, diskusi dan pengalaman.

Selain bantal guling, yang setia menemaniku adalah gawai. Lengket sekali di tanganku seakan tidak ingin pergi. Kelengketannya di tanganku seperti yang kubilang di atas, karena perempuan. Hehehe. Selalu asyik, menggugah seleraku untuk terus menggenggamnya.

Dari saking asyiknya ditemani bantal guling dan gawai, tiba-tiba bantal berbentuk persegi panjang mendarat keras di bahuku. Kutengok siapa yang melakukannya, ternyata bapakku. Di sampingnya ada ibu ikut melihat aku yang dilempari bantal oleh bapak.

“Bangun!” Perintah bapakku.

Aku diam tak berkutik. Perintahnya langsung kulaksanakan.

“Sana salat Isya’! Jangan main HP terus,” perintahnya lagi.

Gawai kubiarkan begitu saja di kasurku. Tetap bercahaya menampilkan aplikasi WhatsApp yang kubuka sebelum pergi ke kamar mandi untuk wudlu’ kemudian menghadap Sang Pencipta. Dzikir-dzikir tetap kubaca layaknya di pesantren. Bagiku, apa pun yang biasa dibaca di pesantren usai salat harus tetap dilaksanakan. Selain mengamalkan ilmu, juga mengharap barokah masyayikh.

Di pesantrenku ada bacaan tertentu yang langsung diijazahkan kepada santri oleh al-Marhum al-Maghfurlah KH. Ahmad Bahruji, pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum Tumpeng keempat. Ijazah itu sudah kubuktikan sendiri khasiatnya, makanya tiap usai salat selalu kubaca.

Tak lama kemudian akupun beranjak dari kamar ku, karena kupikir bertempat di satu tempat pasti membosankan, makanya usai salat tak kuhinggapi lagi kamarku. Lebih nyaman memang jika di kamar, tapi aku tidak mau mendapat lemparan bantal lagi dari bapakku. Ke kamar aku hanya mengambil gawai kemudian rebahan di depan televisi.

Film IPA dan IPS menjadi tontonanku sekarang. Bapak dan ibuku berada di samping kananku, ikut menonton. Karena masih penat aku memilih rebahan, sedang bapak dan ibu duduk selonjoran. Mula-mulanya kulihat reaksi keduanya biasa-biasa saja. Lalu …

“Kamu sudah dewasa. Ingat baik-baik salatmu,” kata bapakku.

Aku diam. Mata dan badan kuhadapkan ke bapak, mendengarkan petuahnya.

Bersambung ......


Penulis : Muhlas 

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN