Story Santri ; Gerak Membahayakan

Ilustrasi, (Foto : Tim Kreatif) sumber, istimewa
Musala. Ya, musala. Tempatku melakukan salat dan mengais ilmu bersama para santri. Semuanya duduk sama rata. Tidak ada perbedaan antara senior maupun junior. Sekali duduk di musala, maka semuanya sama. Ya, sama-sama santri. 

Berbaur dengan junior itu perlu. Karena ilmu terkadang datang dari mereka. Namun begitulah senior. Selalu mengedepankan gengsinya untuk berbaur dengan juniornya. 

Mataku masih normal, target penglihatanku masih baik dan daya ingatku masih baik pula. Sering kutemui antara senior dan junior terpisahkan jarak. Penilaianku sebab gengsi, tapi entahlah. Mungkin saja penilaianku keliru atau bahkan salah. Husnudzon saja. Tapi, hal semacam itu tak berlaku bagiku.

Aku tak pernah malu berada di sela-sela tempat duduk bersila mereka. Bagiku, mereka adalah guru. Memang tidak pernah mengajari, tapi adanya mereka membuatku semakin berilmu.

Selalu kutemukan ilmu baru melalui sikap dan pertanyaan mereka. Sekali bertanya, sudah menuntutku untuk bisa menjawab. Dan, tentunya malu jika senior tidak bisa menjawab pertanyaan juniornya. Karenanya, melalui banyaknya pertanyaan mereka otakku selalu merespon cepat. Apa pun yang pernah kupelajari bisa kuingat dengan baik berkat segala pertanyaan mereka.

‘Teng, teng, teng.’ Nyaring sekali bunyi bel itu. Jam sudah menunjukkan pukul 20:00 Wib. Artinya, bel tadi mempunyai makna perubahan pemateri kajian kitab. Aku bergegas menuju musala, kemudian duduk dengan anteng.

“Kak, Ning Lukman meyos,” kata Ghesil.

“Loh, iya tah?”

“Iya, Kak Las. Sampean yang ngisi, ya?” pinta Ghesil.

Kugembalakan mataku ke semua santri. Istimewa sekali, mataku menangkap wajah yang manis, semanis gula. Wajahnya elok, matanya mulai memerah. Aku yakin, sebentar lagi ia akan tertidur.

Kuperhatikan yang lainnya, wajahnya sama. Sama-sama wajah ingin menuntaskan rasa kantuknya. Ah, manis doang, sekali mejamkan mata langsung tidur.

* * *

“Sebagai senior, seharusnya lebih paham dengan apa yang pernah dipelajarinya. Coba saja kalian bertanya pada senior kalian. Pertanyaan apa pun, bebas. Bisa bertanya pada ketua asrama, ketua daerah bahkan ketua pengurus harian. Kalau tidak tahu, katakan saja kalau senior kalian itu bodoh. Kalau mereka marah, berarti tidak punya rasa malu,” kataku sebelum bel benar-benar bunyi lagi.

Baca juga : 

Badanku tegap, amarahku mulai naik. Namun, bicaraku datar-datar saja tidak seperti orator pada aksi demonstrasi di depan Gedung DPRD atau Bupati itu. Berkoar-koar di musala rasanya tak pantas, pun tak pernah mataku melihat wajah santri saat marah seperti ini.

Sering kutemukan senior yang menjaga jarak dengan juniornya di musala. Seakan lebih cerdas, mereka memilih duduk di luar musala jika bukan keluarga pesantren yang mengisi kajian. Sudah tidak berbaur dengan juniornya, duduk di luar lagi. Seperti si Parta. Dengan asyiknya, duduk sambil tertawa di luar musala. Ketika ditanya perihal fiqh, dia tidak bisa menjawab.

“Ini harus diperhatikan oleh semuanya. Semakin meningkat jenjang kelas kalian, seharusnya kalian lebih paham dengan pelajaran yang pernah dipelajari itu. Jangan sampai kalian malah tidak tahu apa-apa. Ditanyakan ini itu oleh juniornya kalian tidak tahu. Malu, kalau sampai kalian tidak tahu ketika ditanyakan oleh juniornya. Makanya, persiapkan dari sekarang. Belajar yang rajin. Paham tidak paham yang penting belajar.”

‘Teng, teng…’

“Loh, sudah waktunya jam belajar ternyata. Baca qasidah lalu jam belajar,” perintahku.

Ruang kelas mulai disesaki para santri yang mengikuti kegiatan jam belajar. Mereka tidak satu ruang dalam kegiatan ini, mereka di pisah sesuai dengan jenis daerah asramanya. Ada daerah A, B, C dan D. Tempat jam belajarnya berbeda. Apalagi pengurus, selalu berbeda tempat jam belajarnya.

Kubuka kitab, hendak mengisi kajian kitab fiqh karya Syaikh Salim ibn Samir al-Hadhrami di serambi musala. Kajian ini bukan dariku, tapi permintaan beberapa pengurus.

Aku diminta untuk mengisi kitab itu pada kegiatan jam belajar. Sebagai senior, aku harus menuruti permintaan mereka. Sebelum mengisi kajian, selalu kuawali dengan bertawassul. Kemudian membaca basmalah dan berdoa sebelum membacakan isi kitab Safinatun Naja.

Sepanjang kajian, mereka tidak ada yang bertanya. Padahal, dari penjelaskanku seharusnya ada yang harus dipertanyakan. Dan, aku siap menjawab pertanyaan itu. Karena sebelum mengisi kajian, sudah kutelaah terlebih dahulu terkait apa yang ingin kusampaikan.

‘Teng, teng, teng.’

Bel berbunyi lagi, tandanya kegiatan jam belajar selesai. Santri pun mulai berbondong-bondong menuju asramanya. Tapi tidak denganku. Aku dicegat oleh pengurus lainnya. Katanya, ia ingin bertanya sesuatu padaku. Lagi-lagi sebagai senior, mau tidak mau harus menuruti permintaan juniornya.

“Kak Las, saya mau tanya sesuatu,” kata Zen. Ia di bidang pendidikan daerah asrama B dalam kepengurusan.

“Tanya apa, Lek?” jawabku setelah menutup kajian kitab fiqh bersama pengurus yang lain.

“Tentang sebab batalnya salat itu, Kak Las.”

“Kenapa dengan sebab batalnya salat, Lek?”

“Ini Kak Las. Ada yang bilang kalau sebab batalnya salat itu kan ada yang sebab bergerak sebanyak tiga kali. Nah, katanya, yang dimaksut bergerak sebanyak tiga kali itu dalam satu rukun…,”

“Loh, siapa yang bilang?” tukasku sebelum Zen selesai bicara.

Beberapa santri mendekat melihatku dan Zen tengah berbincang-bincang di serambi musala. Kuhiraukan saja para santri yang mendekat itu karena pikiranku tidak tertuju pada mereka. Pikiranku hanya tertuju pada pemahaman santri yang mengatakan bergerak tiga kali dalam satu rukun ini.

“Kurang tahu, Kak Las. Katanya, bergerak tiga kali dalam sebab batalnya salat itu ketika dilakukan dalam satu rukun. Misalkan, ketika membaca al-fatihah kemudian ada bagian tubuh yang gatal lalu digaruk satu kali. Tidak lama dari itu gatal lagi, digaruk lagi satu kali. Belum selesai membaca al-fatihah digaruk lagi satu kali karena masih gatal. Nah, tiga gerakan dalam satu rukun tadi itu katanya membatalkan salat, Kak Las,” ungkap Zen sambil mempraktikkan.

Santri yang memintaku mengisi kajian kitab fiqh belum beranjak dari tempat duduknya. Mereka sangat memperhatikan pertanyaan Zen. Bahkan, dahi mereka berkerut karena baru kali ini mendengar pemahaman seperti itu.

Baca juga : 

“Loh, kok bisa seperti itu, Lek? Duh angel iki wes,” kataku sambil menepuk dahi. Kuputar tubuhku menghadap Zen agar tidak selalu melirik menjawab pertanyaannya.

“Gini, Lek. Yang dimaksut bergerak sebanyak tiga kali dalam hal-hal yang menyebabkan batalnya salat itu bukan dalam satu rukun, melainkan gerakan sebanyak tiga kali yang dilakukan secara terus menerus atau dilakukan sekaligus. Paham, Lek?”

“Terus, Kak Las.”

“Misalkan, ketika membaca al-fatihah ada yang gatal kemudian digaruk sampai diulang sebanyak tiga kali. Maka, salatnya itu batal karena bergerak sebanyak tiga kali. Kalau ada jeda seperti contoh yang kamu jelaskan tadi itu tidak membatalkan salat, Lek.”

Aku tak habis pikir dengan pemahaman santri yang mengatakan batal salatnya jika melakukan gerakan sebanyak tiga kali dengan jeda dalam satu rukun. Entah gurunya atau muridnya yang salah aku tidak tahu pasti. Bisa saja gurunya yang salah menjelaskan atau memang muridnya yang memang gagal paham. Ah, entahlah.

“Itu siapa yang bilang, Lek?”

“Ali, Kak Las. Pas ditanya tahu dari siapa dia hanya bilang ada dulu yang bilang waktu ia jadi santri baru. Dan, yang buat khawatir itu katanya anak-anak banyak yang tahu, Kak Las.”

Begitu seriusnya Zen bercerita soal ini. Dan memang ini bukan hal sepele. Pemahaman seperti ini kalau tidak diluruskan bisa membahayakan. Bisa-bisa tidak jadi salat, kalau bergerak tiga kali dengan jeda dalam satu rukun saja dianggap batal salatnya.

Kudengarkan saja apa yang diceritakan Zen. Ia sependapat denganku. Bahkan, ketika ia bertanya pada Ali ketika mendengar hal itu, Zen bertanya tahu dariku apa dari orang lain. Tapi begitulah jawaban Ali, ia hanya mendengarnya dulu ketika menjadi santri baru dan lupa siapa yang menyampaikan hal itu.

“Las, langsung ke pertemuan. Bahas disana saja jangan disini,” kata Kiai di sela-sela perbincanganku dengan Zen.

Tidak ada alasan untuk menolak titah sang guru. Kitab kupegang erat, kaki kulangkahkan ke ruang pertemuan sesuai titah sang guru. Sayang, ruang pertemuan begitu dingin untuk kutempati karena memang tidak ada karpetnya, hanya lantai berkeramik saja.

Berhubung ruang pertemuan berdekatan dengan ruang kantor pengurus, kuajak Zen ke dalam kantor agar tidak kedinginan. Kuletakkan kitab di rakku sambil merapikan kitab dan buku-buku yang kubaca tadi sore.

“Kalau menurut saya, Kak. Yang dimaksut bergerak sebanyak tiga kali itu bukan tanpa jeda. Kalau ada jeda, itu tidak membatalkan salat. Hitungannya itu seperti ini, Kak Las,” kata Zen sambil melihatku merapikan kitab dan buku-buku. Aku berbalik memperhatikan Zen.

“Misalkan, ada salah satu anggota tubuh yang gatal ketika kita membaca al-fatihah. Posisi tangan kita kan seperti ini. Nah, dari menggaruk sampai meletakkan tangan ke posisi awal itu hitungannya dua gerakan. Satu gerakan menggaruknya itu dan dua gerakan mengembalikan posisi tangan ke tempat semula.”

Tak kutanggapi pernyataan Zen tadi. Kucari kitab Safinatun Naja yang memang menjelaskan tentang hal itu. Setelah kucari akhirnya ada. Kubuka beberapa halaman mencari fashal tentang sebab-sebab batalnya salat.

“Nah, kita coba lihat langsung dalam kitabnya, Lek, agar tidak salah pemahaman,” kataku tetap membuka lembaran-lembaran kitab.

“Coba ini lihat, Lek. Watsalaatsa harakaatin mutawaaliyaatin walau sahwan—dan tiga banyak-banyak gerakan yang terus menerus walaupun lupa. Sudah jelas, Lek. Bahwa yang dimaksut dengan tiga gerakan itu bukan dalam satu rukun dengan jeda, melainkan semua rukun yang dilakukan sekaligus. Jadi, ketika mushalli melakukan gerakan sebanyak tiga kali secara terus menerus dalam satu rukun atau dua rukun, maka salatnya batal. Paham, Lek?”

“Iya, Kak Las.”

“Nah, beda halnya jika ada jedanya. Seperti yang kamu contohkan tadi itu. Kalau tiga gerakan itu ada jedanya, maka salatnya tidak batal, Lek. Yang batal ini justru yang dilakukan secara terus menerus. Ini penjelasan di kitabnya seperti ini, Lek.”

“Iya, Kak Las. Paham sudah. Berarti memang santrinya yang gagal paham kalau seperti itu bukan gurunya,” kata Zen sambil mangguk-mangguk.

“Loh, iya. Guru itu tidak mungkin mengajari hal yang tidak ia pahami, Lek,” balasku sambil tertawa.

Zen pamit ke asramanya, sedang aku merapikan kitab dan buku-buku yang masih tersisa. Dalam pikiran, kok bisa ada santri yang mempunyai pemahaman seperti ini. Ah, entahlah. Besok harus kusampaikan terkait ini agar tidak ada santri yang gagal paham. Kalau sudah gagal paham kemudian diajarkan pada yang lain, bisa jadi dosa jariyah ini.

“Esok harus kusampaikan soal ini.”

Bondowoso, 27 Januari 2021


Penulis : Muhlas, Santri Ponpes Miftahul Ulum Tumpeng

Editor : Gufron

Posting Komentar

Berikan Komentar Untuk Artikel ini?

Lebih baru Lebih lama

IKLAN